Konten dari Pengguna

Tax Ratio Meningkat: Langkah Menuju Perekonomian Indonesia Sejahtera

GHAITSA RAHMAN KARIM
Mahasiswa Program Studi Akuntansi, Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta
30 November 2024 17:46 WIB
·
waktu baca 7 menit
comment
14
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari GHAITSA RAHMAN KARIM tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Ilustrasi Perhitungan Pajak (sumber foto: https://pixabay.com/id/)
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi Perhitungan Pajak (sumber foto: https://pixabay.com/id/)
Pada saat ini, dalam proses penyusunan anggaran pendapatan dan belanja negara (APBN), sebagian besar pendapatan negara Indonesia masih bertumpu pada sektor perpajakan. Sebagai langkah untuk mendukung pembangunan ekonomi, pemerintah mengandalkan sektor pajak sebagai sumber pendapatan utama. Penerimaan pajak negara dari waktu ke waktu dapat dilihat melalui indikator tax ratio. Tax ratio merupakan ukuran yang membandingkan pendapatan pajak negara dengan total nilai barang dan jasa yang dihasilkan dalam satu negara selama satu tahun (Batubara et al., 2024). Meskipun tax ratio hanya merupakan salah satu indikator yang digunakan untuk mengukur kinerja perpajakan, dalam berbagai literatur, tax ratio dianggap mampu memberikan gambaran umum mengenai kondisi perpajakan suatu negara.
ADVERTISEMENT
Tax ratio yang optimal mencerminkan kemampuan negara dalam mengumpulkan pendapatan dari pajak, yang kemudian dialokasikan untuk pembangunan dan peningkatan kesejahteraan masyarakat. Sebaliknya, tax ratio yang rendah menunjukkan bahwa penerimaan negara dari pajak belum maksimal, sehingga berpotensi menghambat berbagai program pembangunan dan pelayanan publik yang seharusnya dirasakan masyarakat. Di Indonesia, tax ratio digunakan sebagai indikator kepatuhan membayar pajak oleh masyarakat. Dalam artian, jika masyarakat dalam suatu negara semakin patuh dalam membayar pajak, nilai tax ratio akan semakin tinggi.
Laporan belanja perpajakan yang dipublikasikan oleh Kementerian Keuangan tahun 2022 mengungkapkan bahwa tax ratio yang ada di Indonesia dari tahun 2012—2021 cenderung bersifat fluktuatif. Berdasarkan laporan Kementrian Keuangan, rasio pajak Indonesia pada tahun 2012 berjumlah sebesar 14,0% terhadap PDB nominal. Kemudian, rasio pajak tersebut mengalami penurunan pada periode 2013—2017 dalam rentang 13,6—10,7%. Pada tahun 2018, rasio pajak Indonesia mengalami peningkatan menjadi 10,24% dan menjadi 9,77% di tahun 2019, serta menurun ke angka 8,33% di tahun 2020. Namun, angka tersebut mulai meningkat pada tahun 2021 menjadi 9,11% dan mencapai rasio pajak ideal pada tahun 2022 sebesar 13,6%. Angka yang fluktuatif dan cenderung rendah ini mengindikasikan bahwa tax ratio di Indonesia hingga sekarang masih di bawah rata-rata 36 negara Asia Pasifik yang sebesar 19,3% dan lebih rendah 22 poin persentase bila dibandingkan dengan rata-rata OECD (Organization for Economic Cooperation and Development), yaitu sebesar 34% (Wildan, 2024).
ADVERTISEMENT
Mengapa Tax Ratio Indonesia Masih Tertinggal?
Ilustrasi Kekhawatiran terhadap Laporan Pajak (sumber foto: https://www.freepik.com/)
Rendahnya tax ratio suatu negara sering kali mencerminkan rendahnya tingkat kepatuhan pajak masyarakatnya. Kepatuhan pajak mengacu pada kesediaan individu atau organisasi untuk memenuhi kewajiban perpajakan dan melaksanakan hak perpajakannya sesuai dengan peraturan yang berlaku. Kepatuhan pajak memiliki dua indikator utama, yaitu kepatuhan formal dan kepatuhan material. Kepatuhan formal mengacu pada pemenuhan kewajiban perpajakan yang bersifat administratif, seperti penyampaian SPT, sesuai dengan ketentuan hukum. Sedangkan kepatuhan material adalah pemenuhan kewajiban perpajakan secara substantif, yang meliputi penghitungan, pembayaran, dan pelaporan pajak sesuai dengan ketentuan yang berlaku. Rendahnya kedua bentuk kepatuhan tersebut sering kali disebabkan oleh kurangnya kesadaran dan kepercayaan masyarakat akan pentingnya membayar pajak.
Menurut Juliani & Sumarta (2021), kesadaran wajib pajak meliputi pemahaman individu untuk mengerti, menerima, dan secara sukarela mematuhi peraturan perpajakan. Dalam praktiknya, perilaku individu yang patuh dalam memenuhi kewajiban perpajakannya dipengaruhi oleh beberapa faktor. Penelitian Pauji (2019) menunjukkan bahwa salah satu faktor utamanya adalah kurangnya pemahaman masyarakat akan manfaat yang sebenarnya diperoleh dari pembayaran pajak yang dilakukannya. Selain itu, optimalisasi pemeriksaan pajak, penegakan hukum, dan mekanisme pemerataan pajak juga mempengaruhi tingkat kepatuhan. Faktor lain yang tidak kalah penting adalah tingkat pendidikan dan pengetahuan pajak masyarakat, dimana individu yang memiliki pengetahuan dan pemahaman yang cukup tentang pajak cenderung lebih baik dalam memenuhi kewajiban perpajakannya. Faktor-faktor tersebut mengindikasikan adanya hubungan yang erat antara kesadaran dan kepercayaan masyarakat dalam membayar pajak dengan tax ratio. Dalam hal ini, tax ratio menjadi indikator penting untuk menilai sejauh mana administrasi perpajakan dapat dioptimalkan.
ADVERTISEMENT
Dampak Tax Ratio yang Rendah: Melangkah di Tempat atau Berlari ke Masa Depan?
Ilustrasi Infrastruktur yang tidak memadai (sumber foto: https://www.freepik.com/)
Tax ratio rendah bukan sekadar angka; ia adalah simbol dari keterbatasan suatu negara untuk bertumbuh. Tanpa penerimaan pajak yang memadai, pemerintah terpaksa berutang untuk menutup defisit anggaran. Dalam jangka pendek, utang mungkin tampak sebagai solusi, tetapi menjadi beban yang harus ditanggung bukan hanya generasi saat ini tapi juga generasi mendatang. Infrastruktur yang terhenti, layanan kesehatan yang minim, dan pendidikan yang tidak terjangkau adalah gambaran nyata dampak rendahnya tax ratio. Tidak hanya itu, rendahnya tax ratio menciptakan ketergantungan pada pendapatan sumber daya alam. Padahal, sumber daya alam adalah aset yang tidak dapat diperbarui dan sangat rentan terhadap fluktuasi harga global. Dalam kondisi seperti ini, Indonesia menghadapi risiko kehilangan momentum untuk membangun ekonomi berbasis inovasi dan teknologi.
ADVERTISEMENT
Negara-negara dengan tax ratio tinggi seperti Denmark atau Norwegia menikmati keuntungan dari kebijakan perpajakan yang adil dan sistematis. Mereka mampu menyediakan layanan publik berkualitas tinggi, dari pendidikan gratis hingga jaminan kesehatan universal. Bayangkan jika Indonesia dapat meningkatkan tax ratio hingga mendekati standar OECD. Kemungkinan besar, kita tidak hanya akan melihat jalan-jalan bebas lubang tetapi juga akses yang lebih baik ke layanan publik untuk semua lapisan masyarakat.
Melampaui Pendekatan Konvensional: Strategi Baru untuk Meningkatkan Tax Ratio
Pendekatan konvensional yang hanya mengandalkan reformasi sistem mungkin tidak selalu efektif. Yang lebih dibutuhkan adalah perubahan paradigma tentang bagaimana masyarakat memandang pajak. Pajak bukanlah sekadar kewajiban, melainkan investasi sosial. Untuk itu, diperlukan pendekatan yang kreatif dan inovatif dalam mengedukasi masyarakat.
ADVERTISEMENT
Pertama, pemerintah dapat menggunakan platform digital untuk menciptakan pengalaman pajak yang lebih personal. Dengan memanfaatkan big data dan kecerdasan buatan (AI), wajib pajak dapat diberikan gambaran konkret tentang bagaimana kontribusi mereka digunakan untuk mendanai proyek-proyek tertentu. Misalnya, aplikasi perpajakan dapat menunjukkan bahwa pajak yang dibayarkan oleh seorang guru digunakan untuk membangun sekolah di daerah terpencil. Pendekatan ini dapat meningkatkan rasa kepemilikan dan tanggung jawab sosial.
Kedua, reformasi sistem harus didukung dengan insentif. Alih-alih hanya memberikan sanksi kepada yang melanggar, pemerintah bisa memberikan insentif kepada wajib pajak yang patuh. Misalnya, pengurangan pajak untuk sektor UMKM yang aktif berkontribusi atau diskon pajak untuk individu yang membayar pajak tepat waktu selama tiga tahun berturut-turut.
ADVERTISEMENT
Ketiga, kampanye pajak harus bersifat emosional, bukan hanya informatif. Pemerintah dapat bekerja sama dengan influencer, artis, atau figur publik untuk menyampaikan pesan-pesan tentang pentingnya membayar pajak. Sebuah video pendek yang menunjukkan bagaimana pajak membiayai operasi penyelamatan bencana, misalnya, dapat meninggalkan dampak yang lebih besar dibandingkan poster-poster formal yang sering terlihat membosankan.
Keempat, Gamifikasi Pajak: pelaporan pajak diubah menjadi pengalaman seperti bermain game. Masyarakat bisa mendapatkan poin untuk setiap kepatuhan pajak yang dilakukan, dan poin tersebut dapat ditukar dengan insentif tertentu seperti diskon listrik atau subsidi pendidikan. Ide ini mungkin terdengar futuristik, tetapi dengan penetrasi teknologi yang semakin dalam, pendekatan ini sangat mungkin diterapkan.
Kelima, Transparansi Melalui Blockchain: Teknologi blockchain dapat digunakan untuk menciptakan sistem perpajakan yang transparan. Masyarakat dapat melacak kemana pajak mereka dialokasikan, sehingga tidak ada ruang untuk keraguan. Jika mereka melihat bahwa setiap rupiah digunakan untuk kebaikan bersama, kepercayaan masyarakat akan meningkat.
ADVERTISEMENT
Pajak untuk Masa Depan
Ilustrasi Laporan Pajak (sumber foto: https://www.freepik.com/)
Tax ratio adalah cermin dari sejauh mana kita sebagai bangsa mampu bersatu dalam membangun masa depan. Kita harus beralih dari mentalitas konsumerisme yang menuntut lebih banyak tanpa memberi ke mentalitas kontribusi yang menyadari pentingnya peran setiap individu dalam pembangunan negara.
Bayangkan Indonesia pada 2045, ketika tax ratio mencapai standar internasional. Jalan-jalan bebas macet karena infrastruktur yang memadai. Anak-anak dari Sabang hingga Merauke memiliki akses pendidikan berkualitas tinggi. Layanan kesehatan tersedia untuk setiap warga, tanpa memandang latar belakang ekonomi. Semua ini bukan sekadar impian tetapi bisa menjadi kenyataan jika kita bekerja sama untuk memperbaiki sistem perpajakan kita.
Dengan langkah-langkah yang strategis, pendekatan inovatif, dan komitmen bersama, Indonesia dapat menjadikan tax ratio sebagai katalisator utama untuk mencapai perekonomian yang sejahtera dan berkelanjutan. Mari kita jadikan pajak bukan hanya kewajiban tetapi juga wujud nyata cinta kepada tanah air.
ADVERTISEMENT