Konten dari Pengguna

Rolling Stones Altamont Free Concert 1969, Festival Woodstock Yang Distopia

Ghani Umar Altunayan
Mahasiswa Hubungan Internasional di Universitas Jenderal Achmad Yani, senang menulis tema terkait Budaya & Geografi.
24 September 2024 11:32 WIB
·
waktu baca 8 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Ghani Umar Altunayan tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Pada pertengahan dekade 1960an, terdapat kemunculan subkultur baru di Amerika Serikat bernama Hippie. Flowers Generation (di Indonesia biasa disebut generasi bunga) merupakan sebuah gerakan kontra budaya yang diprakarsai sekumpulan orang yang muak dengan keadaan sosial saat itu yang didominasi oleh budaya kolot & kaku. Gerakan sosial tersebut disinyalir mengadopsi gaya hidup nomaden ala gipsi yang berorientasi pada kehidupan bebas berbasis alam & mengampanyekan perdamaian.
ADVERTISEMENT
Bukan tanpa sebab, perilaku tersebut merupakan bentuk protes kepada pemerintah Amerika Serikat guna menyudahi invasi Vietnam yang telah merugikan banyak pihak, baik secara finansial maupun jumlah korban, serta tak jarang pula beban psikis para veteran yang pulang ke Amerika, termasuk keluarga para tentara yang gugur atau mengalami cacat akibat bertempur di medan perang.
Tren hippie semakin menyeruak ke seluruh penjuru Amerika bahkan Eropa, hal itu tergambar dari warna musik, kultur/kebiasaan pelaku nya. Seseoraang yang menganut gaya hidup hippies biasanya menggunakan pakaian warna-warni atau bahkan tak berbusana, berambut panjang, gemar mengonsumsi narkotika, budaya seks bebas.
Gambaran umum kaum hippies adalah bagaimana sekumpulan manusia di Festival Woodstock yang fenomenal pada bulan Agustus 1969. Konser "lebaran-nya" kaum hippies terbilang sukses meledakkan kultur hippie ke seluruh penjuru dunia, mengubah arah mata angin bermusik yang lebih ‘berwarna’ akibat efek senyawa aktif bersifat halusinogen yang mereka konsumsi.
Woodstock Festival 1969 yang menjadi acara besar hippies pada masa itu. Sumber: gettyimages.com
Konser tersebut memicu band tersohor masa itu berlomba melahirkan lagu bahkan mengadakan konser dengan tema serupa. Contoh paling terkenal, The Beatles ikut serta menggarap album psychedelic yang menjadi identitas musik hippies. Termasuk The Rolling Stones, band Rock n’Roll asal Inggris yang tengah naik daun tak mau kalah berencana ikut serta menjamah Amerika dengan merancang agenda tour dengan tujuan menandingi festival woodstock dengan skala & semangat yang sama di puncak acara/kota terakhir.
ADVERTISEMENT
Dalam memoar yang menceritakan acara tersebut dijelaskan bahwa sebelum woodstock sukses digelar, sebenarnya Rolling Stones juga menggelar konser bertema serupa di Hyde Park, London. Namun kurang lengkap rasanya menggelar konser dengan semangat hippies jika lokasi nya bukan di Amerika Serikat. Alasan lain, Rolling Stones hampir bangkrut, mereka berharap tur Amerika plus penggarapan film dokumenter akan meraup keuntungan dengan berselancar di atas gelombang hippies Amerika.
Poster konser Rolling Stones di Altamont yang menjadi tandingan Woodstcok 1969. Sumber: gettyimages
Dipilih lah California sebagai lokasi yang digadang sebagai Woodstock tandingan cabang pantai barat Amerika. Mengapa demikian? Karena venue woodstock sebelumnya berada di New York yang notabene berada di wilayah pantai timur Amerika, juga California adalah awal mula tercetusnya gerakan ini, bisa dipastikan jika konser Rolling Stones akan menjadi tandingan woodstock yang sangat fenomenal sekaligus melengkapi acara besar hippies di seluruh bagian negeri paman sam, dari Timur ke Barat.
ADVERTISEMENT
Pertunjukan tersebut menampilkan beberapa band pembuka yang sedang aktif-aktifnya dalam gerakan, seperti Santana, Grateful Dead, dan Jefferson Airplane yang sempat tampil ciamik di woodstock beberapa bulan sebelumnya, ditutup dengan Rolling Stones sebagai headliner.
Gejala Masalah Sebelum Acara
Kepastian venue baru ditentukan beberapa hari sebelum pertunjukan, akibat kekhawatiran dewan pemerintah lokal akan membludaknya massa yang diprediksi akan disambangi ratusan ribu orang, yang mayoritas di bawah pengaruh alkohol & obat-obatan terlarang. Altamont Speedway di pinggiran San Francisco ditunjuk sebagai tempat berlangsungnya konser akbar yang menutup dekade berkembangnya flowers generation di Amerika.
Acara woodstock versi pantai barat idealnya akan se-meriah woodstock sebelumnya di pantai timur Amerika, namun yang luput dari perhatian ialah segala persiapan menuju hari pertunjukan Rolling Stones jauh di bawah woodstock yang disiapkan dengan matang beberapa bulan sebelumnya. Rolling Stones terbilang tergesa-gesa tak mempersiapkan dengan baik hal ini dikarenakan persoalan budget di paragraf sebelumnya.
ADVERTISEMENT
Disebutkan bahwa pihak penyelenggara yang mengakomodir acara woodstock beberapa bulan lalu jauh lebih berpengalaman serta jauh lebih mempersiapkan daripada promotor konser gratis Altamont yang lebih mengandalkan improvisasi kurang cermat. Dari segi logistik, pertimbangan jalur lalu lintas, lokasi penempatan panggung, konser gratis Altamont terlalu mendesak dan mendadak. Bukti dari kacaunya persiapan adalah ketika Rolling Stones memutuskan untuk menggunakan jasa keamanan Hell’s Angels, sebuah organisasi geng motor legendaris Amerika, dengan bayaran tak kalah minim budget untuk ukuran acara/penampil sekaliber Rolling Stones, mereka dibayar dengan bir kaleng dengan total menghabiskan dana hanya 500 Dollar.
Anggota geng motor Hell's Angel yang disewa Rolling Stones menjadi jasa keamanan di konser Altamont. Sumber: gettyimages.com
D-Day
Hari di mana hingar-bingar dibalut kegaduhan pun dimulai, massa memadati Altamont Speedway sesuai dengan jumlah yang telah diprediksi, diperkirakan seluruh penonton yang mayoritas kaum hippies berjumlah lebih dari 300.000 orang, datang dari arah tak beraturan akibat minimnya koordinasi & jarak venue yang relatif terpencil dari pusat kota. Sebagian dari mereka datang sejak sehari sebelumnya untuk membuka shelter darurat/berkemah. Acara relatif kondusif di awal, namun ada ketidaknyamanan yang baru disadari oleh massa di bawah terik matahari.
ADVERTISEMENT
Sebagai perbandingan antara woodstock pantai timur dan pantai barat (Altamont). Woodstock sebelumnya diselenggarakan di atas area peternakan New York, yang merupakan wilayah padang rumput beriklim tak terlalu ekstrim di musim panas saat berlangsungnya woodstock. Sedangkan Altamont Speedway adalah sebuah lintasan balap yang merupakan lahan gersang di pedalaman California.
Sekedar informasi, California adalah wilayah beriklim tropis di Amerika Serikat, yang mana meskipun konser Altamont diadakan saat wilayah Amerika lain sedang mengalami musim dingin, namun di Altamont tetap mengalami cuaca panas, betapa tersiksanya jika 300.000 manusia berkumpul di atas sirkuit balap yang terik & tandus, sementara banyak dari mereka datang dari negara bagian Amerika lain yang tak diberkati pengetahuan mengenai cuaca di California.
ADVERTISEMENT
Mulai dari Santana, Jefferson Airplane, The Flying Burrito Brothers, serta Crosby, Stills, Nash & Young, satu-persatu performance memainkan lantunan beserta kemasan yang telah direncanakan, termasuk gagasan damai sesuai dengan orientasi sejati-nya. Meski dengan kondisi alam tak sesuai harapan, tetapi secara psikologi massa, ratusan ribu penonton terlihat menikmati suasana semarak di bawah terik, hingga sore menjelang, matahari secara konstan menghujam California sepanjang hari.
Pemandangan ini tentu berbeda dengan hujan lebat di woodstock yang menambah kadar keceriaan pengunjung. Sayangnya, benih kekerasan sudah mulai muncul sehingga band Grateful Dead menolak untuk perform dan kembali pulang ke San Francisco.
Ratusan ribu manusia berkumpul di sirkuit Altamont untuk menunggu konser Rolling Stones. Sumber: gettyimages.com
Sang Headliner, The Rolling, Stones!
Matahari mulai tenggelam, penonton tetap bertahan di sekitar Altamont Speedway, menanti apa yang mereka nantikan, sang penampil utama pada malam hari ini. Ketika seseorang di mikrofon menyerukkan “The Rolling…Stones!” para penonton semakin gila, berteriak, semakin berhimpitan ke depan, seorang jurnalis yang mengabadikan momen tersebut beranggapan jika lautan manusia semakin maju seperti busa yang ditekan, semakin padat. Hell’s Angels mulai sibuk, mewaspadai setiap gerak-gerik penonton yang terlihat mencurigakan. Bahkan dalam video ini diperlihatkan ketika penonton yang terlihat aneh di hadapan sang vokalis Mick Jagger langsung dibekuk anggota geng motor.
ADVERTISEMENT
Satu demi satu set list dimainkan stones, dengan ‘Jumpin Jack Flash’ sebagai lagu perdana yang menyelimuti lintasan balap, dilanjutkan dengan ‘Carol’ dan ‘Sympathy for the devil’, keadaan meriah namun belum terjadi sesuatu yang aneh, meski sudah banyak gelagat tak biasa yang kerap ditemukan pada seseorang yang sedang mengonsumsi zat penerbang seperti marijuana, tentu saja halusinogen LSD, magic mushroom. Getaran mereka berada di atas ambang kesadaran yang berbeda dari sekumpulan manusia normal, dipantik oleh marwah Mick Jagger sebagai pemantik semua tarian magis-nya, penggemar larut ke dalam kegilaan masif.
Puncak Eskalasi Masalah
Sampai pada Rolling Stones ingin memainkan lagu selanjutnya yang berjudul “under my thumb”, Mick Jagger dan para penggawa stones lain terlihat saling berbincang dan ogah langsung memulai intro, kondisi mulai memanas, Mick Jagger memperingatkan para penonton agar tetap tenang yang duduk dengan ‘relax’, terdengar juga ia memanggil ambulance. Namun setelah speech Jagger yang ikonik ia bersama band justru memulai memainkan musiknya secara perlahan dan ya! Pertunjukan dilanjutkan dengan kondisi yang semakin tidak karuan.
ADVERTISEMENT
Hell’s Angel, jasa keamanan geng motor yang telah disewa semakin waspada, penonton semakin memaksa naik ke atas panggung ingin meraih tubuh Mick Jagger, entah apa tujuannya, ada beberapa versi, ada yang berpendapat jika penonton ingin menyerang anggota band, atau hanya menyentuh seperti layaknya seorang idola. Satu lagi kesalahan penyelenggara yang baru disadari kemudian adalah ukuran panggung tak cukup tinggi untuk ukuran konser besar yang menyeret ratusan ribu penggemar. Bisa dilihat tinggi panggung pada foto di bawah hanya setinggi pinggang orang dewasa.
Tinggi panggung di altamont yang hanya setinggi pinggang orang dewasa. Sumber: gettyimages.com
Keadaan semakin tak terkendali, Mick Jagger frontman yang pada lagu sebelumnya masih bisa bergoyang dan berinteraksi melalui energi dengan penonton, di lagu Under My Thumb ia menyanyikannya dengan ekspresi datar, raut wajah Jagger penuh kekhawatiran akan terjadi sesuatu yang buruk.
ADVERTISEMENT
Puncaknya ketika Meredith Hunter, seorang biang keladi yang disinyalir membawa senjata api membuat kekacauan, Hell’s Angels yang mempunyai background kekerasan dengan sigap menghalau namun sekaligus bertindak lebih agresif dengan menusuk pria itu secara brutal dua kali menggunakan pisau, Meredith di tusuk Hells Angels hingga tewas.
Acara menjadi kacau, dilaporkan juga sebanyak total empat korban jiwa di Altamont Speedway malam itu. Hal yang paling disayangkan dan membuat gagasan damai seolah mati dalam keadaan ironi. Suatu konser berfokus pada perdamaian harus berakhir dengan kekerasan yang semakin meluas. Rolling Stones pun harus segera pulang menaiki helikopter seusai pertunjukan.
Pentas yang sejatinya dihelat atas nama kedamaian, berakhir dengan distopia di penghujung geliat hippies mengudara, tepat di akhir tahun, akhir dasawarsa, sebuah gagasan tak termanifestasi dengan nilai orisinal inisiatornya, penutup yang kurang ideal bagi subkultur yang tumbuh di tengah kekacauan dunia. Perang hampir usai, tirai telah jatuh sebagian, lampu pertunjukan telah padam, namun terlepas dari kegelapan itu semua, generasi telah berperan sebagai pelontar nomor antrian bagi subkultur yang timbul setelahnya, dari dekade 70an, hingga saat tulisan ini diterbitkan.
ADVERTISEMENT
Kerusuhan antara Keamanan dan massa. Sumber: gettyimages.com
Referensi:
Buku: Joel Selvin, Altamont: The Rolling Stones, the Hells Angels, and the Inside Story of Rock's Darkest Day, 2016
Jurnal: Zachary A. Graham, Shakedown Street: The Grateful Dead and the Commodification of Hippie Culture, Georgia Southern University, 2022
Film Dokumenter: Gimme Shelter, 1970. Director: Albert & David Maysles, Charlotte Zwerin