Konten dari Pengguna

Rupiah Melemah di Juli 2024: Bisakah Pasar Konsumen Bertahan?

Gheani Kirani
SEO Content Writer di startup event support dan Content Creator di perusahaan B2B. Lulusan S1 Sastra Indonesia UNJ.
8 Juli 2024 10:12 WIB
·
waktu baca 5 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Gheani Kirani tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Efek Melemahnya Nilai Tukar Rupiah Terhadap Daya Beli Masyrakat. Foto: Freepik.
zoom-in-whitePerbesar
Efek Melemahnya Nilai Tukar Rupiah Terhadap Daya Beli Masyrakat. Foto: Freepik.
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Isu melemahnya rupiah masih menjadi sorotan hingga Juli 2024, bahkan masyarakat harus menghadapi beberapa kabar buruk. Menurut data Bloomberg, rupiah melemah sebanyak 55 poin atau 0,34% pada Selasa (2/7/2024). Adapun laporan dari Jakarta Interbank Spot Dollar Rate juga menunjukkan hasil yang kurang baik. Nilai tukar rupiah mencapai Rp16.387 per dollar AS pada Rabu (3/7/2024).
ADVERTISEMENT
Apa efek dari isu ini? Jika melihat situasi perekonomian di tahun ini, kita pasti menyadari beberapa perubahan. Daya beli masyarakat mulai menurun, bahkan mencatat penurunan sejak awal tahun. Penurunan ini tercatat dalam data Badan Pusat Statistik (BPS) selama Januari sampai Maret 2024 yang menunjukkan tingkat konsumsi sebesar 4,91 persen saja.
Jika dilihat dari sudut pandang ekonomi, pertumbuhan ini jelas masih rendah. Konsumsi masyarakat bertumbuh sebesar 4,53 persen pada triwulan I di tahun 2023. Angka ini lebih tinggi dari triwulan IV di tahun 2023 yang mencatat kenaikan sebesar 4,47 persen. Akan tetapi, kenaikan di awal tahun ini masih di bawah 5 persen yang dianggap normal. Penurunan ini menandakan bahwa masyarakat makin sulit untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari.
ADVERTISEMENT
Apa yang terjadi? Situasi konflik dan geopolitik, serta iklim bisnis yang tidak stabil bisa dikatakan sebagai pemicu kondisi ini. Sejak awal tahun, masyarakat juga menghadapi beberapa momen penting, seperti hari raya Idulfitri dan pemilihan umum. Di tengah banyaknya faktor penyebab yang datang dari segala arah, kita pun mengalami situasi ekonomi yang kurang menjanjikan.
Sekarang kita kembali pada pertanyaan utama. Jika situasi ini berlanjut, bisakah daya beli masyarakat tetap stabil? Kita perlu menjawab pertanyaan ini dengan menilai efeknya ke bisnis di Indonesia.

Efek Melemahnya Nilai Tukar Rupiah Terhadap Bisnis

Saat ini, kita baru memasuki pertengahan tahun 2024. Dengan iklim politik yang berefek ke banyak hal, seperti persepsi masyarakat terhadap ekonomi. Ada banyak isu yang menjadi buah bibir dan sorotan, seperti kenaikan PPN sebesar 12%, TAPERA, hingga kenaikan UKT.
ADVERTISEMENT
Masyarakat tidak hanya berhadapan dengan kenaikan pajak saja, tetapi isu pendidikan yang mempengaruhi sudut pandang optimis kelas menengah ke bawah dan kelas menengah ke atas.
Lantas, apa dampak dari sudut pandang yang berubah pesimis ini?
Jika melihat situasinya, banyak orang dari kelas pekerja yang mencemaskan kestabilan dan keamanan finansial di masa depan. Belum cukup fenomena pengangguran yang menimpa Gen Z, kini muncul isu baru yang cukup mengkhawatirkan dan kita perlu menghadapinya di sisa tahun 2024.
Mari kita bedah secara kronologis terlebih dahulu. Melemahnya nilai tukar rupiah berpengaruh pada daya beli masyarakat. Di tengah harga bahan pangan yang terus naik dan upah pekerja yang stagnan, masyarakat dihantam badai isu dari aspek lain.
ADVERTISEMENT
Dalam kondisi ini, industri usaha akan menghadapi tantangan, terutama yang bergantung pada produksi barang. Tak hanya itu, perusahaan yang berbasis layanan pelanggan dan konsultasi bisnis pun merasakan tantangan yang sama. Perusahaan di bidang konsultasi bisnis, seperti IPSOS dan Morrigan Services harus berhadapan dengan situasi kritis dari berbagai bisnis.
Bisnis B2C misalnya, bisnis ini fokus pada daya beli konsumen dan umumnya memerlukan jasa evaluasi mystery shopping untuk menjaga kualitas layanan. Akan tetapi, daya beli konsumen yang kritis akan memangkas biaya untuk menyewa jasa dari perusahaan konsultasi bisnis, seperti Morrigan Services, Cekindo, dan Integrity Indonesia.
Dari sudut pandang ini, kita bisa melihat efek melemahnya nilai tukar rupiah yang ternyata berdampak ke semua jenis bisnis. Jika bisnis saja terdampak, bagaimana dengan pasar konsumen?
ADVERTISEMENT

Bisakah Daya Beli Masyarakat Meningkat di Kuartal III dan IV Tahun 2024?

Pertanyaan ini tidak akan langsung terjawab, tetapi kita dapat melihat prediksinya. Saat ini, banyak orang yang perlu memangkas biaya hidup normal demi sedikit penghematan. Persaingan kerja yang sengit juga menghambat banyak orang mencapai kestabilan finansial. Hal ini tentu saja mempengaruhi motivasi masyarakat mengedarkan uang di pasar, UMKM, dan usaha kecil.
Daya beli masyarakat memiliki potensi untuk meningkat, tetapi situasi saat ini dirasa tidak terlalu menguntungkan. Misalnya, kuarta II tahun 2024 dipenuhi tantangan dari segi pembiayaan pendidikan. Sekolah dan perguruan tinggi akan memasuki periode ajaran baru sehingga orang tua perlu menggelontorkan biaya baru.
Kuartal III dan IV pun tak lepas dari kekhawatiran karena terpaan isu Tapera dan PPN. Kenaikan PPN yang direncanakan paling lambat terealisasi pada Januari 2025 menjadi tantangan bagi peningkatan daya beli masyarakat.
ADVERTISEMENT
Dalam kasus ini, pemerintah perlu berperan untuk mencegah penurunan daya beli. Lantas, peran apa yang kita butuhkan dari pemerintah?

Apa yang Harus Pemerintah Lakukan?

Pemerintah tentu tidak bisa berdiam diri, tetapi harus mengambil langkah strategis untuk mengatasi penurunan daya beli masyarakat. Beberapa kebijakan fiskal dan moneter mungkin diperlukan untuk menstabilkan ekonomi di kuartal III dan IV ini. Misalnya, pemerintah bisa memberikan insentif bagi industri tertentu untuk mendorong pertumbuhan ekonomi. Pemerintah perlu menjaga harga bahan pangan agar tetap stabil sehingga tidak terlalu bergantung pada dana bantuan sosial.
Bank Indonesia juga perlu mempertimbangkan kebijakan suku bunga yang dapat menstabilkan nilai tukar rupiah.
Namun, semua upaya ini membutuhkan waktu untuk melihat hasilnya. Dalam jangka pendek, masyarakat perlu menghadapi kenyataan bahwa biaya hidup akan tinggi dan pajak tetap naik. Oleh karena itu, manajemen keuangan pribadi menjadi sangat penting. Masyarakat perlu lebih bijak dalam mengatur pengeluaran, bahkan mencari sumber pendapatan tambahan jika memungkinkan.
ADVERTISEMENT