Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2025 © PT Dynamo Media Network
Version 1.103.0
Konten dari Pengguna
Adat Menjadi Senjata Kekuasaan
12 Mei 2025 12:00 WIB
·
waktu baca 2 menitTulisan dari Ghina Aufa Maulida tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan

ADVERTISEMENT
Dalam dunia yang dibangun oleh laki-laki, kepada perempuan seringkali hanya diberi dua pilihan yang ada, patuh atau disingkirkan. Itulah yang berusaha disampaikan melalui novel "Kehilangan Mestika" karya Fatimah Hasan Delais yang terbit pada 1935. Kita bawa untuk menyusuri lorong-lorong gelap ketidakadilan sosial melalui sosok dari Hamidah, yakni sang tokoh utama. Ketidakadilan itu diselimuti dengan selimut halus bernama "adat".
ADVERTISEMENT
Akan tetapi Kehilangan Mestika bukanlah semata kisah perempuan dalam memperjuangkan cinta atau melawan pingitan. Sebagaimana dianalisis melalui lensa Karl Marx, kita menemukan sesuatu yang jauh lebih besar yaitu kisah tentang cara ideologi bekerja demi mempertahankan kekuasaan kelas dominan.
"Adat pingitan...! mereka mesti menunggu-nunggu saja di rumah sampai kepada waktunya dipinang orang." (Kehilangan Mestika, hal. 49)
Dalam masyarakat yang ada pada novel ini, adat serta patriarki bukanlah hanya sekadar tradisi, ideologi dominan adalah alat yang dipakai kelompok berkuasa untuk menundukkan perempuan serta kelas bawah. Perempuan dicegah untuk bekerja, dipingit, bahkan dicap "kafir" hanya karena ingin belajar atau berjalan tanpa selendang.
Hamidah menolak semua itu. Ia memilih untuk merantau, bekerja, dan membangun sekolah bagi anak-anak perempuan. Dia tetap kokoh berdiri meski dikecam oleh masyarakat serta keluarganya. Dalam teori Marxis, kesadaran kelas adalah saat tatkala individu sadar akan posisinya sebagai yang tertindas, lalu bangkit melawan.
ADVERTISEMENT
Hamidah bukan sekadar tokoh biasa. Ia merupakan wajah gambaran perempuan Indonesia yang banyak berjuang di tengah tekanan adat serta patriarki. Fatimah Hasan Delais, bukanlah pengarang yang sembarang, melainkan sebagai penulis juga. Perempuan yang berusia 19 tahun ini sudah berani menulis perlawanan ketika dunia sastra masih dikuasai oleh suara laki-laki.
Melalui novel Kehilangan Mestika, Fatimah menunjukkan bahwa perjuangan tidak harus dengan senjata. Terkadang, perlawanan dimulai dari ruang kelas, dari pena, dan dari tekad seorang perempuan yang ingin hidup merdeka.
"Adat inilah yang lebih dahulu yang harus diperangi." (Hamidah, Kehilangan Mestika). Dan dari situlah revolusi dimulai.