Konten dari Pengguna

BRICS+ Sudah, Sekarang Kejar Keanggotaan OECD

Ghina Nurzhahira Raudlatul Jannah
Mahasiswi program studi Hubungan Internasional di Universitas Islam Indonesia.
13 Januari 2025 11:57 WIB
·
waktu baca 5 menit
comment
1
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Ghina Nurzhahira Raudlatul Jannah tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Ilustrasi institusi ekononomi global (sumber: Ghina Nurzhahira Raudlatul Jannah)
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi institusi ekononomi global (sumber: Ghina Nurzhahira Raudlatul Jannah)
ADVERTISEMENT
Pada 6 Januari 2025, Indonesia secara resmi menjadi anggota BRICS (Brazil, Russia, India, China, South Africa) atau yang sekarang disebut BRICS+. Keanggotaan Indonesia dalam BRICS+ diumumkan oleh Brazil sebagai pemegang palu presidensi BRICS+ tahun 2025. Kabar ini membawa dinamika politik baru dalam kebijakan luar negeri Indonesia.
ADVERTISEMENT
Sejak 2023, BRICS telah menawarkan keanggotaan pada pemerintah Indonesia. Namun, Presiden Joko Widodo kala itu hanya menanggapinya dengan pernyataan “perlu adanya pengkajian terlebih dahulu” sebelum memutuskan untuk bergabung. Pada tahun yang sama, pemerintah telah mengajukan keanggotaan forum ekonomi yang lain, yakni Organisation for Economic Cooperation and Development (OECD). Ini menunjukkan perbedaan arah kebijakan luar negeri Indonesia di era kepemimpinan Presiden Jokowi dan Presiden Prabowo Subianto.
Namun, dengan status Indonesia sekarang yang merupakan anggota baru BRICS+, masih adakah urgensi untuk bergabung dengan OECD?

BRICS+ dan OECD: Serupa, tapi Tak Sama

Presiden Joko Widodo meresmikan “Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional 2025–2045” (RPJPN 2025–2045) pada tahun 2019 yang mencakup target pemerintah untuk Indonesia keluar dari middle income trap dan menjadi negara yang maju serta berkelanjutan. Dalam kampanyenya, Presiden Prabowo Subianto menyatakan akan banyak melanjutkan program pemerintahan Presiden Jokowi. Ini menimbulkan anggapan bahwa strategi-strategi dalam RPJPN 2025–2045 juga akan dipenuhi, termasuk bergabung dengan OECD.
ADVERTISEMENT
Akan tetapi, dengan resminya Indonesia menjadi bagian dari BRICS+, keanggotaan OECD yang telah diajukan dan ditargetkan selesai proses aksesinya pada 2027 nanti menjadi sorotan. Selain itu, perbedaan blok politik memicu pertanyaan terkait pertimbangan pemerintah saat ini yang memprioritaskan keanggotaan BRICS+ daripada OECD. Meskipun sama-sama forum ekonomi multilateral dan tidak ada larangan bergabung dengan keduanya, terdapat perbedaan signifikan antara BRICS+ dan OECD.
Pada pembentukan awalnya di tahun 2009, BRICS+ bertujuan untuk melihat peluang investasi kerja sama antarnegara berkembang, kemudian dipandang menjadi blok geopolitik guna melawan dominasi Barat. Hal tersebut dapat dilihat melalui program yang dirancang BRICS+ memiliki kemiripan dengan organisasi internasional yang didominasi Barat, termasuk program New Development Bank (NDB) yang mirip dengan International Monetary Fund (IMF). Perbedaan utamanya hanya terletak pada anggota dan siapa yang mendominasi dalam organisasi tersebut.
ADVERTISEMENT
BRICS+ juga memiliki tujuan untuk mengurangi ketergantungan pada dolar Amerika Serikat dan berencana membuat mata uang sendiri, seperti euro. Ini semakin menguatkan pandangan bahwasanya BRICS+ didirikan sebagai bentuk penentangan keberlangsungan hegemoni Amerika Serikat dan Barat dengan menyoroti peran negara-negara berkembang dunia Selatan.
Di sisi lain, OECD dikenal sebagai forum ekonomi negara elit karena 80% perdagangan dunia dikuasai oleh 38 negara anggotanya yang berkontribusi sebanyak 41,1% Produk Domestik Bruto (PDB) global. Prestise ini juga didukung dengan kebijakan yang mengatur pasar investasi internasional adalah salah satu dari sekian banyak kebijakan yang dikeluarkan oleh OECD. Hal tersebut menunjukkan pengaruh dan peran OECD dalam ekonomi global. Bergabung dengan OECD memberikan peluang yang lebih besar pada integrasi pasar ekonomi internasional bagi Indonesia.
ADVERTISEMENT

Indonesia dan OECD

Indonesia telah menjadi key partner OECD melalui Enhanced Engagement Program pada 2007 silam, bahkan kantor perwakilan OECD sudah ada di Jakarta sejak 2015, menyiratkan hubungan baik antara Indonesia dengan organisasi internasional tersebut.
Keseriusan pemerintah Indonesia–di bawah kepemimpinan presiden sebelumnya–untuk menjadi anggota OECD juga tampak dari diluncurkannya Keppres 17 Tahun 2024 untuk membentuk Tim Nasional OECD yang secara garis besar bertugas untuk mengkoordinasikan, menyelenggarakan, merumuskan, serta melaksanakan strategi penyesuaian kebijakan juga perundang-undangan yang dibutuhkan dalam rangka menyiapkan dan mempercepat keanggotaan.
Menurut analisis para ahli dalam kajian berjudul Bunga Rampai: Mengkaji Aksesi Indonesia Menuju Organisation for Economic Cooperation and Development (OECD) dalam Perspektif Masyarakat Sipil, memenuhi target selesai aksesi tahun 2027 adalah target ambisius karena dari 26 sektor kebijakan yang perlu diselaraskan, pemerintah baru mampu menyelaraskan 14% kebijakan Indonesia dengan instrumen OECD. Ini adalah tantangan yang harus dihadapi Indonesia dalam aksesi OECD.
ADVERTISEMENT

OECD Layak untuk Jangka Panjang

Salah satu alasan OECD dianggap organisasi internasional yang eksklusif adalah karena proses aksesinya yang rumit. Perlu waktu yang lama untuk negara-negara yang ingin menjadi bagian dari OECD mendapatkan status keanggotaan penuh. Namun, pakar menilai itu semua layak, terutama untuk target jangka panjang negara, karena sebagian besar penyelarasan kebijakan itu berbanding lurus dengan peningkatan kualitas hidup.
Dalam kajian Bunga Rampai, pakar menggarisbawahi potensi nilai kerja juga stabilitas ekonomi yang dibawa OECD lebih besar dibandingkan BRICS+ mengingat negara inti BRICS sendiri, yakni India serta Tiongkok, memiliki kepentingan yang berseberangan dan berkonflik satu sama lain.
Dominasi Tiongkok juga dapat membuat Indonesia semakin bergantung pada Negeri Tirai Bambu itu. OECD juga dapat menimbulkan fenomena itu. Namun, Indonesia masih bisa mengeksploitasi peluang yang ada guna meraih tujuan RPJPN 2025–2045.
ADVERTISEMENT

Hambatan Akan Selalu Ada, Begitu Pun dengan Peluang dalam

Relevansi keanggotaan OECD masih signifikan dalam rencana jangka panjang Indonesia. Indonesia dapat memperbaiki tata kelola domestik yang mengacu pada pedoman OECD, memaksimalkan daya saing internasional, serta membawa banyak investasi dari negara maju. Tantangan Indonesia untuk meraih keanggotaan OECD saat ini bukan hanya menyelaraskan kebijakan, tetapi juga posisi Indonesia yang telah menjadi bagian dari BRICS+.
Indonesia bukanlah satu-satunya negara BRICS+ yang dalam proses pengajuan keanggotaan OECD. Brasil telah menjadi kandidat anggota baru OECD pada 2022 dan masih belum mendapat status keanggotaan penuh sampai saat ini. Hal ini dikarenakan Brasil masih belum memenuhi syarat kebijakan yang mengatur kelestarian alam, meminimalisir emisi karbon, mencegah pelanggaran HAM dan eksploitasi oleh perusahaan, hingga kebijakan untuk menumpas korupsi.
ADVERTISEMENT
Kondisi Brasil tidak jauh berbeda dengan Indonesia. Apabila pemerintah ingin tetap mencapai target tahun 2027 nanti, maka perlu adanya reformasi domestik besar-besaran, baik dari sektor ekonomi, lingkungan, hingga pendidikan.
Masa depan Indonesia menarik untuk diperhatikan jika pemerintah mampu menyeimbangkan kepentingan di BRICS+ juga OECD secara bersamaan. Memanfaatkan sistem bantuan moneter NDB dari BRICS+ yang digadang-gadang lebih fleksibel dibandingkan IMF dapat membantu rencana jangka pendek yang memerlukan biaya yang besar. Sementara itu, reformasi struktural serta peleburan ke dalam pasar global melalui OECD mampu mengamankan kepentingan jangka panjang Indonesia dan mewujudkan visi "Indonesia Emas 2045".