Prinsip Keadilan dalam Pemotongan Zakat ASN

Abdul Ghofur
Direktur Eksekutif CSR Institute
Konten dari Pengguna
4 April 2021 10:03 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Abdul Ghofur tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Direktur PPPA Daarul Qur'an Abdul Ghofur (kenan)
zoom-in-whitePerbesar
Direktur PPPA Daarul Qur'an Abdul Ghofur (kenan)
ADVERTISEMENT
Wacana mendorong penerbitan perpres pemotongan zakat penghasilan dari ASN, Pegawai BUMN, TNI, dan Polri terus menguat. Presiden Joko Widodo disebut merespons baik ide ini.
ADVERTISEMENT
Ide regulasi pemotongan zakat dari ASN, pegawai BUMN, TNI, dan Polri lewat perpres sejatinya sudah dimulai sejak 2008 pada era Menteri Agama, Lukman Hakim Saifuddin. Wacana ini kembali menguat dengan semangat mengecilkan gap antara realisasi zakat dengan potensi zakat nasional yang sedemikian besar.
Pemotongan zakat diperuntukkan bagi ASN, pegawai BUMN, TNI, dan Polri yang sudah memenuhi nishab zakat penghasilan. Perhitungan nishabnya setara dengan 85 gram emas dalam setahun. Jika dihitung harga emas hari ini, maka nishab penghasilan yang wajib zakat adalah Rp 78,5 juta setahun atau pendapatan per bulan kurang lebih Rp 6,5 juta. Zakat yang wajib dikeluarkan 2,5 persen dari penghasilan bulanan yang memenuhi nishab.
Semangat mendorong realisasi potensi zakat nasional adalah hal baik. Zakat adalah kewajiban bagi setiap muslim. Negara hadir untuk memberikan fasilitas kepada warganya menunaikan ajaran agama adalah bentuk implementasi dari pelaksanaan Pancasila dan UUD 1945.
ADVERTISEMENT
Pasal 29 UUD 1945 menyatakan negara berdasar atas Ketuhanan Yang Maha Esa dan negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya masing-masing dan untuk beribadah menurut agamanya dan kepercayaannya itu.
Pelaksanaan ajaran agama yang diatur dalam konstitusi juga bentuk pelaksanaan Hak Asasi Manusia (HAM). Secara kaidah dan prinsip bernegara, kewajiban zakat yang diatur dalam regulasi pemerintah adalah langkah yang harus didukung semua kalangan.
Yang menjadi pekerjaan adalah penerapan aturan teknis. Sebagai produk hukum, amat penting melihat peraturan dalam konteks riil dan mempertimbangkan semua aspek teknis. Jangan sampai munculnya persoalan teknik impak dari sebuah regulasi, dimaknai sebagai persoalan ekses dari diaturnya norma agama dalam peraturan hukum positif.
Prinsip peraturan harus memenuhi kaidah keadilan, kemudahan, dan kepastian. Pada kaidah keadilan, terwakili hanya dengan ASN, pegawai BUMN, TNI, dan Polri yang memenuhi syarat yang akan dipotong zakat. Selain memenuhi nishab, peraturan ini hanya berlaku bagi pegawai muslim.
ADVERTISEMENT
Selain itu, regulasi UU Pengelolaan Zakat mengatur jika pembayaran zakat bisa dilakukan ke beberapa tempat yakni BAZ dan LAZ. Sehingga pembayaran zakat oleh ASN, Pegawai BUMN, TNI dan Polri juga bisa mengacu pada pembayaran zakat ke BAZ dan LAZ.
Hal ini juga menyangkut prinsip kemudahan. Adanya pilihan dalam berzakat ke lembaga yang sudah diatur seperti BAZ dan LAZ akan membuat semangat menunaikan zakat akan lebih maksimal.
Sebelum ada prinsip kepastian, ASN, Pegawai BUMN, TNI, dan Polri harus ditanya dan diberikan pilihan ke mana akan menyalurkan zakat. Setelahnya baru diterapkan pemotongan zakat secara otomatis dengan sistem payroll bagi muzaki dari kalangan ASN, BUMN, TNI, dan Polri
Sosialisasi Zakat Insentif Pajak
Wacana penerbitan perpres untuk pemotongan pajak bagi ASN, Pegawai BUMN, TNI dan Polri juga harus dibarengi dengan sosialisasi massif zakat sebagai pengurang pajak.
ADVERTISEMENT
Dalam konteks kekinian, tentu beban para ASN, Pegawai BUMN, TNI, dan Polri semakin tinggi di era pandemi. Kekhawatiran bertambahkan potongan di antara potongan wajib yang lain harus dijawab dengan berlakukan zakat sebagai pengurang pajak.
Peraturan ini termaktub dalam UU No. 23 Tahun 2011 tentang Pengelolaan Zakat pada pasal 22 dan Pasal 23 ayat 1-2.
Pasal 22: Zakat yang dibayarkan oleh muzaki kepada BAZNAS atau LAZ dikurangkan dari penghasilan kena pajak.
Pasal 23: Baznas atau LAZ wajib memberikan bukti setoran zakat kepada setiap muzaki (pemberi zakat), dan bukti tersebut digunakan sebagai pengurang penghasilan kena pajak.
Kemudian diatur juga dalam Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2008 Perubahan Keempat atas Undang-Undang Nomor 7 tahun 1983 Tentang Pajak Penghasilan, Pasal 4 Ayat (3) Huruf a 1 dan Pasal 9 Ayat (1) Huruf G yang menetapkan zakat ke BAZ atau LAZ yang disahkan oleh pemerintah bisa menjadi insentif pajak.
ADVERTISEMENT
Semangat munculnya insentif pajak ini adalah meringankan masyarakat yang ingin membayar pajak dan zakat. Aturan ini berlaku bagi seluruh penduduk Indonesia bukan hanya mereka yang berprofesi sebagai ASN, Pegawai BUMN, TNI, dan Polri.
Semangat dalam peraturan ini mesti kembali digaungkan. Bahwa ada kemudahan dalam menunaikan kewajiban kita sebagai individu Muslim dan sebagai warga negara.
Seperti halnya pajak, zakat sudah terbukti membantu pembangunan nasional. Banyak kebaikan yang telah dihadirkan lewat penyaluran dana zakat. Sehingga pengaturan dana zakat dalam regulasi pemerintah menjadi tepat. Tidak relevan lagi paham pemisahan kewajiban agama dengan peraturan hukum pemerintah. Sebab, zakat sebagai kewajiban dalam Islam telah memberikan manfaat luas ke bangsa Indonesia dengan berbagai model program penyaluran zakat baik di BAZ maupun LAZ.
ADVERTISEMENT
Kita berharap manfaat zakat bisa jauh lebih besar dirasakan masyarakat dan semangat berbagi sebagai naluri alami bangsa ini bisa terus terpatri. Tambahannya adalah hadirnya warga yang semakin mendapatkan ketenangan batin dan spiritual sebab sudah menunaikan salah satu perintah dari Allah SWT. Tenangnya batin individu secara komunal berarti tenangnya kita sebagai bangsa.
Oleh Abdul Ghofur
Professional Islamic Philanthropist
Direktur Utama PPPA Daarul Qur'an