Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.93.2
Konten dari Pengguna
Dunia Perguruan Tinggi Kita
1 November 2023 9:24 WIB
·
waktu baca 5 menitTulisan dari Ghozin Ghazali tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Pertanyaan (questioning) terhadap dunia perguruan tinggi di Indonesia, bisa diterangkan dari kenyataan sedikitnya ilmuwan yang lahir dari perguruan tinggi, yang ditunjukkan oleh sedikitnya akademisi dari perguruan tinggi itu yang mencurahkan hidup sepenuhnya untuk mengembangkan ilmu pengetahuan.
ADVERTISEMENT
Dan curahan hidup sepenuhnya ini merupakan ukuran seorang akademisi disebut ilmuwan! Prajogo, seorang ilmuwan pensiunan Institut Pertanian Bogor (IPB), pernah mengeluhkan ini; “seperti keadaannya sekarang masih sedikit sekali dosen yang memberikan bimbingan, karena banyak dari mereka dihinggapi pula demam memperbaiki nasib”(Sajogyo dan Pudjiwati, 1995).
Selain ukuran itu, seorang akademisi disebut pula ilmuwan jika memiliki karakter ilmuwan. Karakter ilmuwan tersebut antara lain ilmuwan adalah orang yang tepercaya (reliable) dan memiliki integritas.
Karakter Ilmuwan
Kualitas tepercaya adalah bahwa yang diucapkan itu benar, yang merupakan hasil pemikiran yang mendalam. Bukan sesuatu yang asal bunyi, bukan sesuatu yang mirip plat gramafoon! (piringan hitam yang diputar bunyi). Sedangkan integritas itu adalah kesesuaian antara apa yang diucapkan dengan apa yang dilakukan.
ADVERTISEMENT
Dan soal yang dilakukan adalah soal penting, seperti peribahasa Arab yang berbunyi; “Bahasa yang otentik adalah bahasa perbuatan”, atau seperti tesis Marx (Tan Malaka, 1999) bahwa perbuatan manusia adalah kenyataan itu sendiri, yang sebenarnya. Bukan sekadar impian belaka atau teori yang dijadikan pusaka di awang-awang, tetapi kemudian dipraktikkan menjadi bentuk perbuatan.
Hubungan antara yang diucapkan atau berupa teori dengan yang dilakukan atau berupa praktik kemudian berdialektika secara terus menerus. Sesuai dengan rumusan penelitian ilmiah (scientific research), yaitu proses belajar berulang yang terarah yang menggunakan deduksi dan induksi silih berganti (Box, Hunter, dan Hunter, 1987).
Melalui penggunaan deduksi bisa melakukan penalaran terhadap kenyataan baik realita alam maupun sosial yang kemudian dijadikan teori. Melalui penggunaan induksi, teori tersebut dibuktikan atau diujicobakan. Atau juga sebaliknya, yang berlangsung secara silih berganti dan terus menerus.
ADVERTISEMENT
Kondisi Dunia Perguruan Tinggi, Kasus IPB
Perhatian terhadap dunia perguruan tinggi pernah diamati oleh seorang ilmuan Belanda, yaitu Chris Baks. Dia pernah mengajar di IPB selama setahun. Amatannya lebih merinci kelakuan para akademisi sekaligus memperjelas keluhan Sajogyo. Berikut cuplikan penting Chris Baks (Nataatmadja, 1983) mengenai wajah dunia perguruan tinggi di Indonesia:
1. Mustahil aku bisa hidup dalam dunia akademis di Indonesia, dunia kuburan bagi penelitian ilmiah.
2. Tingkat ilmu pengetahuan para mahasiswa sangat menyedihkan dan dari para dosen sangat memprihatinkan. Hampir tiada bahan yang dibaca, hampir tiada sesuatu yang diterbitkan.
3. Memberikan kuliah sering terlambat, dosen absen atau meninggalkan ruangan sebelum waktunya. Sebagian besar kuliah diserahkan pada asisten yang masih duduk di bangku kuliah. Mereka membacakan saja keras-keras buku pelajaran ekonomi atau sosiologi. Mereka mewajibkan para pendengarnya untuk menghafalkan bahan-bahan ujian terdahulu berupa “pilihan ganda”.
ADVERTISEMENT
Tiada stimulasi belajar apa pun. Dosen menghendaki waktu senggang untuk mengerjakan proyek mereka. Ia harus berusaha untuk bebas atau membebaskan diri. Suatu proyek juga merupakan sumber penghasilan, dia bisa mengikutsertakan para mahasiswa sebagai pelajaran praktik.
4. Kewajiban mengajar menjadi tugas main-main belaka dan pendidikan menjadi onggokan sampah harapan. Kontribusi ilmiah dari proyek-proyek itu bisa dituliskan di balik selembar perangko.
5. Ilmu pengetahuan sosial, kalau tidak dilakukan sebagaimana mestinya, merupakan beban bagi pemerintah.
6. Penelitian dianggap cukup dengan sekadar menyertakan perincian teknis, dengan sekadar aspek mikro-ekonomis dalam arti yang teramat kabur. Pengenalan realita dihindari. Realita cukup dinyatakan dengan data dalam tabel dan grafik, informasi dalam bentuk angka-angka yang sebenarnya bisa kita buang saja.
ADVERTISEMENT
7. Kasihan sekali para orang tua dan mahasiswa. Ya? Yang sebenarnya mengetahui persis apa yang terjadi dan bagaimana duduknya perkara. Tidak, dari pihak ini pun kita tidak bisa mengharapkan apa-apa. Saya khawatir bahwa dengan sikap menunggu (agar perbaikan terjadi dengan sendirinya dari dalam) berarti kita menipu diri sendiri.
Kenyataan sedikitnya akademisi di perguruan tinggi menjadi ilmuan ini telah serta menyebabkan mandegnya pengembangan ilmu pengetahuan sehingga mengakibatkan keterpurukan dunia akademis di Indonesia. Kemandegan pengembangan ilmu pengetahuan juga berarti menyebabkan kemunduran peradaban. Ujung-ujungnya, Indonesia tetap dan terus menjadi bangsa terbelakang!
Masalah Kemiskinan
Kesertaan perguruan tinggi dalam keterpurukan itu, misal IPB, selain menjadi kasus amatan Chris Baks, juga IPB sebagai institut pertanian terdepan yang tentu (mestinya) berhubungan erat dengan pedesaan, ternyata pertanian dan pedesaan adalah gambaran nyata terbelakangnya bangsa ini.
ADVERTISEMENT
Terbelakangnya tersebut terutama masalah kemiskinan! Jumlah masyarakat miskin di Indonesia yang di antaranya sebagian besar hidup dari pertanian melebihi jumlah penduduk Malaysia atau hampir setengah penduduk Thailand (Tjondronegoro, 2005).
Kemiskinan di bidang pertanian dan di wilayah pedesaan sesungguhnya sebagai akibat kelanjutan penjajahan. Penjajahan berlangsung semenjak kolonialisme Belanda yang berawal dari VOC (perusahaan dagang)—atau bahkan jauh sebelum itu ketika feodalisme kerajaan-kerajaan nusantara—sampai saat ini!
Walaupun orang Belanda telah pergi dari negeri ini, namun watak penjajah melekat pada orang Indonesia yang menjadi pengendali negara dan perusahaan negara (BUMN), yang juga sebagai kelanjutan pewarisan feodalisme kerajaan itu. Dan penjajahan tetap belum juga bisa dihapuskan.
Diperparah lagi oleh kapitalisme global (neoliberalisme) yang dengan gampangnya masuk lewat perusahaan multi nasional (Multinational Corporation), untuk mengeruk habis kekayaan alam negeri ini.
ADVERTISEMENT
Selain memperparah penjajahan, kapitalisme global juga menciptakan masyarakat yang rapuh. Masyarakat rapuh ini dicirikan antara lain adanya masyarakat yang kering spiritual sebagai akibat hubungan mekanis antar masyarakat di kondisi kapitalis, seperti terlihat dari maraknya training-training motivasi dan spiritual, misal AMT (Achievement Motivation Training) dan ESQ (Emotional Spiritual Quotient) Training.
Kering spiritual ini kemudian membuat masyarakat yang cenderung mengandalkan hati, lupa menajamkan otak. Ujung-ujungnya susah diajak mikir! Susah mikir tercermin dari ungkapan easy going dan budaya instan.
Hubungan antar masyarakat yang hanya satu-satunya hubungan ekonomi menyebabkan hubungan antar masyarakat selalu diukur dengan untung dan keuntungan. Ujung-ujungnya hanya uang!
Melihat kenyataan keterpurukan dan keterbelakangan ini, untuk semua pihak yang memiliki concern terhadap persoalan tersebut, seperti disebutkan terdahulu, yaitu segera bersama melakukan perubahan, bukan sekadar teori, dan bukannya dengan sikap menunggu!
ADVERTISEMENT