Sandaran Teologis Kaum Hedon

Ghozin Ghazali
Fungsionaris Ikatan Cendekiawan Muslim Se-Indonesia (ICMI) Orwilsus Bogor Periode 2017-2022, Petani Mandiri, Penulis Rilis Press untuk personal atau organisasi seperti anggota DPR RI, Himpunan Alumni (HA) IPB, dan lain-lain.
Konten dari Pengguna
22 Oktober 2023 17:04 WIB
·
waktu baca 3 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Ghozin Ghazali tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Ilustrasi Hedon (Sumber Foto: pixabay.com)
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi Hedon (Sumber Foto: pixabay.com)
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Siapa pun akan selalu mencari sandaran dalam menempuh kehidupan. Tak terkecuali bagi kaum hedon. Dan sandaran itu kemudian berujung pada yang bersifat transendental—teologis.
ADVERTISEMENT
Inti keinginan kaum hedon hanyalah menikmati hidup. Kebebasan bergaya, "menjadi gue sendiri". Misal yang perempuan, "gue pengin merokok kayak laki-laki, gue pengen tampil menor, kenapa nggak boleh?"
Misal juga yang laki-laki, "gue pengin nyeruput minuman beralkohol seperti di Eropa, kenapa nggak boleh?" Baik yang perempuan maupun laki-laki, "kami pengin bergaul lebih bebas, kenapa nggak boleh?"
Seiring dengan itu, ada kalangan yang berlatar teologis yang kental dan terbiasa ketat dengan aturan. Kemudian berkeinginan yang sama seperti kaum hedon itu—kebebasan! Dicari-carilah sandaran teologisnya.
Selain berkeinginan yang sama dengan kaum hedon itu, bagi kalangan kental teologis itu, bidikannya itu sesungguhnya terdapat "keberkahan" ekonomi. Jika berdakwah, siapa tahu kecipratan keberkahan itu. Ujungnya hanyalah soal ekonomi. Juga hasrat tebar pesona, cakrawala pemikiran keagamaan. Gue bisa hipnotis elu! Sensasi yang luar biasa.
ADVERTISEMENT
Jika ditilik asal-usulnya, kaum hedon ini berasal dari kelas yang mendapat sedikit berkah dari kapitalisme, yang juga bagian sedikit dari komposisi penduduk negeri ini. Kaum hedon ini, kaum easy going dan pengin cepet-cepet (instan).
Titik temu (kalimatun sawa) antara kaum hedon yang butuh sandaran teologis dengan kalangan kental teologis yang juga sama ingin kebebasan dan keberkahan ekonomi, maka digulirkanlah keagamaan liberal. Inilah tipe pertama kaum hedon, kaum hedon liberal.
Keagamaan liberal memberikan keteguhan bagi kaum hedon liberal bahwa perilaku hidupnya itu direstui-Nya. Tidak gamang untuk mengarungi "berkah" kehidupan. "Enjoy this life guys!" ajakan mereka.
Serupa tapi tak sama, muncul juga kaum hedon lainnya. Berangkat dari kelas yang serupa dengan kaum hedon liberal, yaitu kelas berkah kapitalisme, justru menampilkan sebaliknya. Bukannya liberal, tapi konservatif.
ADVERTISEMENT
Dulunya, suka berpacaran bahkan gonta-ganti pacar, sekarang ber-ta’aruf. Dulunya suka telat salat, sekarang ketika tanggung beraktivitas pun harus break dulu, untuk beribadah. Dulunya, suka kongkow di kafe bahkan tempat hiburan malam, sekarang ber-i’tikaf di masjid bahkan berceramah. Dulunya, berucap "astaga", sekarang "astagfirullah". Bahkan saban hari sambil menjajakan bisnisnya, berteriak "Allahu Akbar!"
Bungkusan konsevatif ini tak mengaburkan yang sesungguhnya, yaitu bertabiat hedonis. Inilah tipe kedua kaum hedon, kaum hedon konservatif. Yang berbeda dengan kaum hedon liberal hanyalah ekspresinya. Dalih bisnis umat, padahal dalam rangka menumpuk-numpukan harta. Naik haji dan umrah berkali-kali. Berkali-kali juga gonta-ganti kendaraan mewah. Dan bahkan punya lebih dari satu.
Begitu pula istrinya. Lebih dari satu. Dipandu oleh kalangan keagamaan yang suka berebut (haus) kekuasaan yang juga sekaligus pemberi sandaran teologisnya. Bahwa kehedonannya itu diridai-Nya.
ADVERTISEMENT
Dalam jangkauan yang lebih luas, sandaran teologis itu baik liberal maupun konservatif, hanyalah melempangkan jalan kapitalisme. Kapitalisme sebagai sebab, dan akibatnya itu melahirkan kaum hedon.
Yang paling pengecualian adalah kapitalisme langsung menciptakan kaum hedon tanpa dilempangkan oleh sandaran teologis apa pun. Kaum hedon ini, sudah punya harta bertumpuk-tumpuk segunung, ingin pula mengebor dasar lautan. Lalu hidup berhura-hura. Inilah ateis sesungguhnya!