Konten dari Pengguna

Sekarat Keindonesiaan

Ghozin Ghazali
Fungsionaris Ikatan Cendekiawan Muslim Se-Indonesia (ICMI) Orwilsus Bogor Periode 2017-2022, Petani Mandiri, Penulis Rilis Press untuk personal atau organisasi seperti anggota DPR RI, Himpunan Alumni (HA) IPB, dan lain-lain.
4 Oktober 2023 6:55 WIB
·
waktu baca 4 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Ghozin Ghazali tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Pemadaman kebakaran di kawasan hutan di distrik Cacau Pirera, Iranduba, negara bagian Amazonas, Brasil pada Senin (25/9/2023). Foto: Michael Dantas/AFP
zoom-in-whitePerbesar
Pemadaman kebakaran di kawasan hutan di distrik Cacau Pirera, Iranduba, negara bagian Amazonas, Brasil pada Senin (25/9/2023). Foto: Michael Dantas/AFP
ADVERTISEMENT
Jika pertanyaan (questioning) diberikan kepada sebagian besar orang desa dan buruh kota, "bagaimana kondisi Indonesia sekarang?", maka sepertinya bagi mereka, Indonesia sudah sekarat. Jadi untuk apa dirawat?
ADVERTISEMENT

Kesekaratan Indonesia

Kesekaratan dimulai oleh sebelumnya dulu, yaitu feodalisme kerajaan. Juga kemudian terutama oleh kapitalisme. Seperti yang tercatat dalam Asal Usul Kapitalis Industri (Bab XXXI, Buku I Marx, 1965), kapitalis masuk dalam bentuk kapitalis brutal—primitif, dalam hal ini Belanda, bangsa kapitalis utama pada abad ke-17.
Primitif dengan cara membantai manusia. Misal jumlah penduduk Banyuwangi (di Pulau Jawa) pada tahun 1750 adalah lebih dari 80.000 orang, kemudian merosot pada tahun 1811 hanya tinggal 18.000 orang!
Dan ketika merdeka secara legal formal tahun 1945, kemudian mencoba menegakan kemerdekaan. Faktor utama ketidakterjajahan adalah kuasa sumber daya alam—agraria.
Namun ketika mencoba menata faktor utama ketidakterjajahan itu, dan berhasil memutuskannya (UUPA 1960) dan dalam proses melaksanakannya. Lagi-lagi kapitalis primitif kembali masuk lewat tangan-tangan entah siapa, kembali membantai manusia. Peristiwa G30S 1965 dijadikan dalih untuk pembantaian itu (Luthfi, 2016).
ADVERTISEMENT
Dengan contoh yang sama, yaitu Banyuwangi, yang merupakan salah satu daerah di Jawa Timur yang paling parah terjadinya pembantaian pasca peristiwa G30S 1965.
Menurut otoritas resmi militer tercatat 6008 orang dibunuh (making die). Juga 50.727 orang dibunuh secara perlahan-lahan (letting die), yaitu berupa tercerabut dari sistem produksi dan kewarganegaraan (Luthfi, 2016).
Dan setelah itu, negara benar-benar kapitalis yang dijalankan secara otoriter. Modal asing dipersilakan masuk berikut juga perusahaannya untuk mengeruk habis kekayaan alam negeri ini.
Di bidang pertanian, program green revolution dijalankan. Bukannya menata agraria dulu, namun swasembada pangan saja. Dibangunlah pabrik pupuk dan pestisida kimia. Perusahaan pertanian asing pun dipersilakan masuk.
Memang sempat berhasil mencapai swasembada pangan—dalam hal ini beras (tahun 1984), namun swasembada semu, yang kemudian kembali impor juga didapati kelaparan. Konfirmasi terakhir Indonesia menduduki tingkat kelaparan serius dengan nilai Indeks Kelaparan Global sebesar 21,9 (katadata.co.id, 2016).
ADVERTISEMENT
Dan kini kesekaratan Indonesia teridentifikasi. Kerusakan lingkungan yang hebat dan kemiskinan. Bagi sekitar setengah penduduk negeri ini—dengan patokan pengeluaran 2 US dolar per hari—masih berada dalam kubangan kemiskinan.
Juga—seperti yang pernah dikemukakan Ghazali (Radar Bogor, 23/6/2006)—terciptanya masyarakat rapuh, yaitu masyarakat yang kering spiritual. Tesis ini diajukan dengan adanya masyarakat kering spiritual sebagai akibat hubungan mekanis antar masyarakat di kondisi kapitalis.
Untuk menyirami spiritual kemudian dicarilah panutan spiritual yang memungkinkan keliru. Kekeliruan spiritual itu bisa terjadi karena yang diberikan ibaratnya hanyalah obat penenang.
Layaknya obat penenang, hanya menenangkan sementara yang kemudian bisa kembali kering spiritual dan harus disirami lagi dan begitu seterusnya. Hal ini menyebabkan hubungan ketergantungan, dibuat manut dan tumpul otaknya. Diadu domba kabar burung pun bisa terjadi. Masyarakat yang tidak memiliki pijakan yang kuat.
ADVERTISEMENT
Ketika masyarakat tidak memiliki pijakan yang kuat akan terombang-ambing yang berujung pada keengganan untuk melakukan perubahan yang hakiki. Yang dikejar hanyalah kesenangan sementara (hedonisme) yang sifatnya individual, kebahagiaan bersama tak peduli.
Pengejaran kesenangan itu berkesesuaian dengan nilai profesionalisme dalam artian mengejar bayaran (Wiradi, 2009), mengejar bayaran yang lebih tinggi walaupun sampai menjual harga dirinya—termasuk harga diri bangsa.
Jika pun memiliki kepedulian terhadap kebahagiaan bersama misal pelenyapan kemiskinan, hanya sekadar kepedulian palsu. Menebar uang recehan—terkadang dengan angkuhnya, sedangkan sumber daya alam (juga pabrik-pabrik) dipegang sepenuhnya.
Menebar uang recehan ini yang marak kini berupa kegiatan Corporate Social Responsibility (CSR), yang kemudian diilmiahkan dalam sosok ilmu pengembangan masyarakat (comunnity development).
Kondisi demikian yang melahirkan akademisi sosial perlente—jauh dari sifat zuhud, mengambil bagian uang recehan sebagai bentuk bayaran selaku perantara uang recehan itu.
ADVERTISEMENT
Kaum miskin selain hanya sebagai objek belas kasihan, juga sebatas sebagai objek teropong, paling banter diajak ngobrol (diskusi). Bukannya hadir di tengah-tengah kaum miskin itu (mengintegrasi). Lantas, bagaimana bisa memperjuangkannya?

Merdeka Sesungguhnya

Bendera merah putih berkibar saat terjadinya Halo Matahari di Kayu Aro Barat, Kerinci, Jambi, Jumat (28/8/2020). Foto: Wahdi Septiawan/ANTARA FOTO
Jika sudah sekarat dan ingin merawatnya, maka berjuanglah memerdekakan Indonesia sesungguhnya! Bukan sekadar legal formal.
Merdeka artinya menghapuskan penjajahan. Dan ciri suatu bangsa terhapuskan dari penjajahan adalah hilangnya penindasan atas manusia oleh manusia (exploitation of man by man). Hakikat kemerdekaan ini juga ditegaskan oleh Tan Malaka pada tahun 1925.
Bentuk paling primitif akibat dari penindasan atas manusia oleh manusia adalah kemiskinan. Maka kemudian memerdekaan Indonesia sesungguhnya adalah melenyapkan kemiskinan!
Dan kemudian jika agama diyakini sumber spiritual, maka haruslah ditangkap esensinya terutama esensi progresifnya. Esensi progresifnya itu yang kemudian dicoba diamalkan, bukan hanya sekadar mengamalkan ibadah formalnya saja.
ADVERTISEMENT
“Tahukah yang mendustakan agama, yaitu yang menghardik anak yatim dan tidak peduli terhadap orang miskin. Maka lalailah salatnya!” (Al-Qur’an, Surat Al-Ma'un).