Konten dari Pengguna

Merajut Kebahagiaan dengan Kebajikan

Ghulam Mujadid
Staff Umum di Kantor Perusahaan Kontraktor WIKA - BRP. KSO Bendungan Jragung Paket 2
28 April 2025 13:38 WIB
·
waktu baca 4 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Ghulam Mujadid tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ssumber gambar https://pixabay.com
zoom-in-whitePerbesar
ssumber gambar https://pixabay.com
ADVERTISEMENT
Kebahagiaan (eudaimonia) sejak lama menjadi tema sentral dalam filsafat, khususnya dalam pemikiran etika. Tulisan ini mengkaji keterkaitan erat antara kebahagiaan dan kebajikan (virtus), dengan menelusuri gagasan-gagasan etika klasik hingga kontemporer. Dalam perspektif Aristotelian, kebajikan bukan sekadar perilaku baik, melainkan disposisi moral yang dibentuk melalui latihan dan refleksi, yang pada akhirnya mengarahkan individu pada kehidupan yang bermakna dan utuh. Melalui pendekatan filosofis-kualitatif, kajian ini menekankan bahwa kebahagiaan sejati tidak dicapai melalui kenikmatan sesaat atau pencapaian material, melainkan melalui hidup yang selaras dengan kebajikan: seperti keadilan, keberanian, temperansi, dan kebijaksanaan. Kebajikan menjadi benang penenun yang menyatukan aspek-aspek kehidupan dalam harmoni batin, sehingga kebahagiaan yang lahir darinya bersifat mendalam dan tahan uji. Dengan demikian, virtus bukan hanya jalan menuju kebahagiaan, melainkan esensinya itu sendiri.
ADVERTISEMENT
Pada buku Psikologi Positif; “Memumpuk Kebahagiaan dan Pengembangan Diri” Garvin Goei pada halaman 6 dijelaskan, Salah satu pendekatan yang signifikan dalam menginterpretasi kebahagiaan adalah prinsip eudaimonia yang dicetuskan pertama kali oleh Aristoteles. Menurut Aristoteles, tidak semua kesenangan layak untuk dikejar. Alih-alih mengejar kesenangan, hidup yang bahagia adalah hidup yang berbudi luhur (virtuous life). Hidup berbudi luhur yang dimaksud adalah kehidupan yang mengaktualisasikan diri kita, memaksimalkan potensi diri kita, dan melakukan sesuatu yang memang pantas untuk dilakukan.
Ketahuilah tujuan daripada manusia itu hidup atau diciptakan untuk membangun jiwanya sebaik mungkin. Karena pada dasarnya kebahagiaan itu bisa dicapai apabila manusia mengetahui, memahami dan merefleksikan pengaktualisasian prinsip kebaikan. Berbicara tentang kebajikan (virtues), kita bisa melihat dari konsep Aristoteles bahwa setiap sesuatu itu mempunyai kebaikan (kebajikan) utama yang unik dan mempunyai maksud dan tujuan segala sesuatu. Suatu misal kita menggambarkan bentuk dan rasa dari garam yang asin yang memiliki fungsi rasa sebagai bumbu atau penguat gurih masakan, begitu juga gula sebagai pemanis dan penguat rasa dalam setiap minuman yang menjadikannya nikmat. Begitu juga kita sebagai manusia, tentu kehadiran secara eksistensinya mempunyai tujuan dan maksud dari kebaikan/kebajikan utama (virtues).
ADVERTISEMENT
Pada dasarnya manusia memiliki atau mempunyai tujuan hidup yang sama yaitu meraih kebahagiaan dan dalam literatur-literatur Yunani disebut sebagai eudaimonia secara harfiah dapat diartikan sebagai “jiwa yang baik.” Kondisi atau keadaan jiwa yang baik dapat diusahakan dengan upaya-upaya manusia dalam mengemban atau meraih suatu ilmu atau pengetahuan dan dari padanya pula manusia mampu menerapkan dan mengaktualisasikan pada perilakunya. Pada buku Psikologi Positif; Pendekatan Saintifik Menuju Kebahagiaan Iman Setiadi Arif pada halaman 22, dijelaskan, menurut Seligman, kebahagiaan yang diperoleh dari realisasi virtues dalam kehidupan adalah kebahagiaan yang autentik. Kebahagiaan autentik-yang dilandasi eudaimonia-akan ditandai oleh flourishing, yaitu berkembang penuhnya pribadi seseorang karena telah menjalani hidup yang baik.
Berbicara tentang eudaimonia (jiwa yang baik), disini kita akan menemukan tentang suatu hal dimana ada yang dimaksud dengan esensial-nya yaitu jiwa. Dalam buku Fahruddin Faiz, Filsafat Kebahagiaan halaman 23,”Bahwa manusia punya esensi. Apa esensi manusia? Jiwa. Jadi kata Plato , hakikat manusia adalah jiwanya.” Jiwa adalah “sesuatu” yang bergerak, menggerakkan dirinya sendiri, dan termanifestasikan lewat badan. Dimana apabila fungsi jiwa dapat berjalan optimal dengan daya guna yang baik dan tepat serta terpenuhi aspek fungsi optimalnya maka akan menjadikan suatu bentuk daya jiwa yang berfungsi indah atau cakep. Pada dasarnya Plato menganjurkan untuk meningkatkan kapasitas akal budi manusia yang luhur untuk mencapai suatu kebahagiaan. Dengan optimalnya akal budi manusia akan mencapai keseimbangan antara tiga unsur jiwa manusia yaitu epithumia, thumos dan logistikon-nya. Ditambah apabila logos (Ilmu/logika) bertemu dengan Eros (Cinta) maka akan lahir keutamaan-keutamaan pada jiwa. Jadi melakukan keutamaan atau kebaikan didasari oleh ilmu dan hasrat apa yang hendak di amalkannya maka akan menumbuhkan gelora kebaikan dan kebahagiaan pada jiwa dan aspek-aspek yang meliputinya.
ADVERTISEMENT
Apabila jiwa dapat terpenuhi dengan pas dan selaras maka akan tumbuhlah arête (keutamaan) atau berfungsinya sesuatu secara penuh dan menyeluruh. Dalam buku Psikologi Kebahagiaan; Membedah Kebahagiaan dalam Perspektif Psikologi Positif , Taufik Kasturi dan Yeni Mulati, pada halaman 20 dijelaskan, bila manusia ingin meraihnya (kebahagiaan), maka ia akan mendapatkannya dengan cara melakukan usaha-usaha ke sana yaitu melalui cultivation of virtues (penanaman kebaikan-kebaikan). Apabila pengaktualisasian dalam ranah manusia atau individu dalam menerapkan kebaikan mampu di optimalisasi maka kesejahteraan akan menjadi suatu pokok yang mampu diraih dan dikembangkannya.