Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2025 © PT Dynamo Media Network
Version 1.102.2
Konten dari Pengguna
N. Riantiarno Sebagai Dramawan Multidimensional
7 Desember 2020 12:29 WIB
Tulisan dari Gia Kemala tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT

Pengarang merupakan sebab utama lahirnya karya sastra. Sebuah karya sastra diciptakan oleh sastrawan untuk dinikmati, dipahami, dan dimanfaatkan oleh khalayak (Damono, 2002: 1). Melalui karya sastra, seorang pengarang mengungkapkan problema kehidupan yang pengarang sendiri ikut di dalamnya (Wellek & Werren, 1990: 94).
ADVERTISEMENT
Tanpa adanya pengarang karya sastra tidak mungkin tercipta. Karya sastra dan pengarang memiliki hubungan yang erat dan tak terpisahkan. Terlepas dari itu, antara karya sastra dan pengarang terdapat sebuah hubungan yang dapat mencerminkan segi-segi kejiwaan, filsafat hidup, bahkan pandangan sosial yang ada dalam diri pengarang terdapat dalam hasil karyanya. Berhasil tidaknya suatu karya sastra sangat tergantung dari luas tidaknya wawasan yang dimilikinya.
N. Riantiarno adalah salah satu sutradara, aktor panggung, dan penulis lakon ternama di Indonesia. Nano Riantiarno menulis sastra drama sejak tahun 1970-an. Sampai saat ini tidak kurang dari 40 naskah sastra drama yang telah dibuatnya dan dipentaskan oleh grup teater binaannya, yaitu Teater Koma.
Nano Riantiarno, sebagai penulis sastra drama sekaligus sutradara, menunjukkan pandangan dunia yang dapat dikatakan multidimensional. Salah satunya adalah dimensi mendunia (global), yaitu ditunjukkan melalui karya-karya khazanah sastra duia yang disadurnya ke dalam situasi dan suasana keindonesiaan (lokal). Perkawinan dua dimensi itu tak urung melahirkan sebuah wacana baru dalam kehidupan teater modern Indonesia dan tradisi penulisan sastra drama di Indonesia. Seperti Sampek dan Engtay, sebuah kisah klasik yang tragis sekaligus romantik dan merupakan khazanah cerita rakyat Tiongkok, telah disadur oleh Nano, diadaptasi dengan kebudayaan serta keadaan masyarakat di Indonesia tanpa mengubah cerita di dalamnya, menjadikannya sebuah bentuk akulturasi melalui kesenian yang justru memperkaya khazanah budaya masyarakat Indonesia.
ADVERTISEMENT
Dalam pementasannya, penonton tidak diarahkan untuk berjarak dan bersikap kritis terhadap realitas panggung, tetapi penonton disuguhi sebuah tontonan kocak dan menghibur. Tontonan yang kocak dan menghibur itulah salah satu ciri keberhasilan Nano Riantiarno dari setiap karya dan pertunjukannya. Dalam hal itulah, karya-karya Nano Riantiarno menjadi sebuah wacana yang mengingatkan kembali bahwa akulturasi lokal-global yang mampu memberikan pencerahan dan membuka kreativitas yang sangat luas.
Dari sikap kepengarangan tersebut dapat ditemukan bahwa Nano memanfaatkan potensi khazanah budaya global dan lokal yang digunakan untuk mengusung gagasan-gagasannya dalam setiap karyanya.
Sumber:
M. Yoesoef, Nilai-nilai Ideologi dan Sikap Kepengarangan: Sebuah Kajian atas Sastra Drama Karya N. Riantiarno dalam Seminar Antarbangsa Kesusastraan Asia Tenggara (SAKAT). 2010.
ADVERTISEMENT