Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.89.0
Konten dari Pengguna
Kasepuhan Ciptagelar: Pembangunan dan Nilai Adat dalam Satu Tarikan Napas
1 Juni 2023 18:05 WIB
·
waktu baca 10 menitTulisan dari Gibraltar Andibya Muhammad tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Setidaknya dalam kurun dua hingga tiga dekade terakhir, narasi kebijakan pembangunan yang berkelanjutan mulai bermunculan dalam forum-forum internasional. PBB sebagai institusi internasional terbesar pun bahkan memiliki badan khusus yang menaungi berbagai inisiatif kerja sama pembangunan berkelanjutan di tingkat internasional, yakni UNDP (United Nations Development Programme) yang telah tersebar di 170 negara di dunia–termasuk Indonesia.
ADVERTISEMENT
Namun demikian, satu hal yang patut dipikirkan kembali adalah seberapa besar pengaruh dari tata kelola dan norma pembangunan berkelanjutan global mampu mendorong satu bentuk kebijakan yang konkret di Indonesia dalam kerangka perlindungan terhadap masyarakat adat?
Artikel ini berargumen bahwa pelibatan masyarakat adat menjadi sangat penting dalam konteks pembangunan di Indonesia yang sering kali mengancam keberadaan praktik-praktik adat dan hajat hidup masyarakat lokal. Berkaca dari 'Kasepuhan Ciptagelar', masyarakat adat dengan sistem nilainya sendiri nyatanya mampu menghadirkan satu bentuk pembangunan yang berhasil menyelaraskan nilai adat dan modernisasi dalam satu tarikan napas.
Narasi Pembangunan Modern sebagai Dogma Barat-sentris
Definisi dari apa yang disebut sebagai “pembangunan” sarat diperdebatkan di kalangan akademisi. Dalam bukunya yang berjudul “Development as Freedom” (1999), Amartya Sen menjelaskan pembangunan sebagai upaya untuk membuka akses sehingga kebebasan (freedom) dapat lebih mudah diraih.
ADVERTISEMENT
Definisi ini menjadi satu penjelasan yang paling sederhana karena pada akhirnya diskursus serta implementasi ideal dari proses pembangunan akan tergantung pada perspektif mana yang digunakan. Sejauh ini, terdapat dua perspektif dominan dalam studi pembangunan, yaitu paradigma modernisme dan paradigma strukturalis (neo-marxis).
Tidak bisa dipungkiri, modernisasi menjadi suatu diskursus pembangunan yang sangat dominan–tak terkecuali di Indonesia. Indikator-indikator kuantitatif, seperti misalnya pertumbuhan/pembangunan ekonomi, peningkatan GNP, perkembangan teknologi, pembangunan infrastruktur dll menjadi tolok ukur yang sangat lumrah digunakan ketika kita ingin mengukur tingkat pembangunan di suatu negara.
Paradigma modernis ini juga secara dominan digunakan dalam studi ekonomi di Indonesia sendiri. Tentu kita sama-sama ingat bagaimana studi Ekonomi di Indonesia dilekatkan dengan ide-ide pembangunan modern yang implementasinya kita kenal dulu sebagai “Ekonomi Pembangunan”.
ADVERTISEMENT
Dengan demikian, rasanya tidak berlebihan jika penulis menyebut ide pembangunan dengan paradigma modernisasi ini muncul sebagai satu alat (means) yang digunakan secara universal. Bahkan, pada batas tertentu indikator-indikator ini seringkali dipahami secara sempit sebagai satu-satunya indikator untuk menilai tingkat pembangunan di suatu negara.
Sejak muncul sebagai satu paradigma dominan, modernisme telah menghadapi sejumlah kritik, salah satunya datang dari gerakan intelektual neo-marxisme. Para pemikir neo-marxis dalam hal ini berupaya meletakkan pemahaman marxisme yang menjelaskan bentuk eksploitasi kelas borjuis terhadap kelas proletar ke dalam suatu konteks yang terjadi di tingkat global melihat kegagalan modernisme dalam mendukung suatu proses pembangunan yang inklusif.
Alih-alih, modernisme justru “mensponsori” ketimpangan global di mana ini terlihat pada relasi kuasa antara “negara utara” dan “negara selatan”. Kritik dari kelompok strukturalis ini muncul dalam berbagai teori Teori Dependensi dan Teori Sistem Dunia, misalnya di mana kedua teori menggaris bawahi praktik eksploitasi dari negara maju terhadap negara berkembang sebagai proses yang dilanggengkan. Alhasil, proses ini melahirkan blok-blok negara yang tertinggal (underdevelopment).
ADVERTISEMENT
Rusaknya Ekologi dan Terpinggirnya Masyarakat Adat
Industri sebagai penggerak pertumbuhan ekonomi dalam ide pembangunan modern pada akhirnya memunculkan satu permasalahan lain, yakni marjinalisasi terhadap aspek ekologi. Dengan demikian, depolitisasi (pemisahan antara aspek politik dan kebijakan pembangunan) narasi pembangunan modern menjadi ancaman besar bagi entitas yang paling penting bagi keberlangsungan peradaban manusia modern, yakni bumi kita sendiri.
Secara intelektual, upaya untuk menjembatani inkorporasi kajian lingkungan dan pembangunan baru muncul pada dekade 1970-an yang diinisiasi oleh dua penulis, yakni Barbara Ward dan Rene Dubois. Melalui artikel yang berjudul “Only One Earth”, keduanya menjelaskan tentang konflik antara teknologi dan manusia yang terjadi dalam biosfer (lapisan di mana kehidupan berada).
Di satu sisi, upaya untuk mengubah berbagai macam aspek ekologis bisa jadi sangat bermanfaat untuk menjamin banyak hal, seperti misalnya keamanan pangan, ketahanan energi dan pasokan pakaian. Namun, di sisi lain bila proses ini terus berlanjut bukan tidak mungkin pencemaran lingkungan yang terjadi akan melebihi aspek-aspek positif tersebut.
ADVERTISEMENT
Dalam artikel yang berjudul “The Limits to Growth” yang ditulis oleh Meadow, dkk pada 1972 menyebut bahwa apa yang kemudian harus dilakukan adalah membatasi proses yang selama ini kita sebut sebagai pembangunan yang di dalamnya marak proses industrialisasi.
Tidak hanya soal ekologi, masyarakat adat juga menjadi entitas yang kemaslahatannya sangat terancam dengan proses pembangunan meskipun di tingkat internasional pengakuan atas keberadaan masyarakat adat terus dilakukan. Selama 20 tahun terakhir, hak-hak Masyarakat Adat semakin diakui melalui adopsi instrumen internasional seperti Perjanjian Regional tentang Akses ke Informasi, Partisipasi Publik dan Keadilan dalam masalah Lingkungan di Amerika Latin dan Karibia (Perjanjian Escazú) pada tahun 2021, Deklarasi Perserikatan Bangsa-Bangsa tentang Hak-Hak Masyarakat Adat (UNDRIP) pada tahun 2007, Deklarasi Amerika tentang Hak-Hak Masyarakat Adat pada tahun 2016, dan Konvensi Masyarakat Adat dan Suku dari tahun 1991.
ADVERTISEMENT
Pada saat yang sama, mekanisme kelembagaan global telah dibuat untuk mempromosikan hak-hak masyarakat adat seperti Forum Permanen Perserikatan Bangsa-Bangsa tentang Masalah Adat (UNPFII), Mekanisme Ahli tentang Hak-Hak Masyarakat Adat (EMRIP), dan Pelapor Khusus (special rapporteur) PBB tentang Hak-Hak Masyarakat Adat (UNSR).
Masyarakat Adat: Musuh Pembangunan di Indonesia?
Secara umum, terdapat kecenderungan bahwa pada masa pemerintahan Joko Widodo Indonesia menghadapi penyusutan ruang sipil. Hal ini dapat terlihat, misalnya dalam kasus-kasus seperti represifitas aparat terhadap pers, pengesahan UU ITE, dan tak terkecuali pembungkamanbagi kelompok aktivis lingkungan.
Mengacu pada riset dari Amnesty International Indonesia, sepanjang 2019 hingga Mei 2022 terdapat 133 kasus serangan terhadap pers di mana 225 menjadi korban. Lalu, dalam periode yang sama terdapat 37 kasus pembungkaman di mana 168 orang dari kalangan aktivis lingkungan menjadi korban. Kondisi Pandemi Covid-19 dalam konteks ini sedikit banyak mempengaruhi.
Diskusi mengenai masyarakat adat dalam konteks pembangunan di Indonesia menjadi satu hal yang dilematis mengingat inkonsistensi pemerintah untuk menjamin keberadaan mereka. Bila ditelusuri aspek legal dan formal, Indonesia mengakui keberadaan komunitas adat dalam Pasal 18B Undang-Undang Dasar 1945. Dalam pasal tersebut, komunitas adat disebut juga sebagai masyarakat hukum adat, yakni sekelompok masyarakat yang memiliki hubungan dengan leluhur dan memiliki sistem adat tersendiri dalam mengelola tanah dan sumber daya mereka.
ADVERTISEMENT
Meskipun dijamin UUD, keberadaan masyarakat adat seringkali terancam dengan adanya berbagai proyek pembangunan di Indonesia. Di Kendeng misalnya, pemerintah daerah dan BUMN bekerja sama untuk mengalihfungsikan Pegunungan Kapur di Kawasan Kendeng, Batang, Jawa Tengah untuk pembukaan pabrik semen baru. Lalu, di Papua area perkebunan dibuka di atas tanah masyarakat adat tanpa adanya kesepakatan yang dalam prosesnya seringkali melibatkan kekerasan terhadap masyarakat adat.
Padahal, di Papua selain sebagai sumber mata pencaharian, tanah adat juga seringkali dijadikan sebagai sumber pangan dan energi. Maraknya pencemaran atas lingkungan dan perampasan tanah adat juga semakin didukung dengan kebijakan-kebijakan formal, seperti misalnya Omnibus Law dan UU Minerba yang di dalamnya memuat aturan izin untuk terus mengendurkan perlindungan terhadap lingkungan.
ADVERTISEMENT
Kasepuhan Ciptagelar: Membangun dan Menjaga di saat Yang Bersamaan
Setidaknya, berbagai “proyek pembangunan” modern ini belum sepenuhnya menyentuh satu desa bernama Desa Sirnaresmi yang terletak di Kecamatan Cisolok, Kabupaten Sukabumi tempat di mana masyarakat adat “Kasepuhan Ciptagelar” tinggal. Kasepuhan Ciptagelar didirikan sebagai hasil dari kehidupan nomaden nenek moyang mereka dan sejarah lisan menyatakan bahwa komunitas tersebut mulai mempraktikkan tradisi nomaden pada tahun 1368 dari pemukiman pertama mereka di Kasepuhan Cipatat Urug dan migrasi terakhir mereka adalah pada tahun 2000 ke Kasepuhan Ciptagelar. Komunitas ini berusaha untuk mempertahankan nilai-nilai kelestarian alam alam yang berakar pada sejarah budaya Sunda Indonesia yang juga dipengaruhi oleh nilai-nilai Hindu dan Buddha.
Hingga 2018, diperkirakan tidak kurang dari 29.000 jiwa hidup di tanah seluas 5.000 hektare dengan total 568 kampung. Di tengah sulitnya mengimplementasikan kebijakan pembangunan berkelanjutan dalam aspek ketahanan pangan dan energi, Kasepuhan Ciptagelar justru telah mempraktikkannya selama lebih dari 20 tahun. Desa yang terletak di kaki Gunung Halimun ini berhasil mengamankan pasokan padi mereka selama 5 tahun ke depan melalui 8.000 buah lumbung padi dengan hanya proses panen yang hanya sekali dalam setahun.
ADVERTISEMENT
Tidak hanya ketahanan pangan, Kasepuhan Ciptagelar juga dikenal dengan kemampuan mereka beradaptasi dengan teknologi di saat yang bersamaan juga terus menjaga nilai-nilai adat leluhur mereka. Abah Ugi, pemimpin adat Kasepuhan Ciptagelar dibantu dengan masyarakat setempat berhasil membuat pembangkit listrik tenaga air (mikrohidro) pada tahun 1990 silam.
Melimpahnya air karena kesadaran masyarakat untuk menjaga hutan mereka memberi manfaat tersendiri karena menjadi sumber utama listrik–meskipun desa-desa terluar sudah mendapat pasokan dari PLN. Mikro-hidro yang dibuat Abah Ugi berhasil menerangi hampir seluruh rumah warga Kasepuhan Ciptagelar, lebih dari itu mereka bahkan kini memiliki stasiun TV lokalnya sendiri. Di saat stigma “primitif” melekat ke pada masyarakat adat, Kasepuhan Ciptagelar berhasil membuktikan bahwa ada titik kompromi antara modernisasi dan nilai-nilai adat.
ADVERTISEMENT
Bagi penulis, Kasepuhan Ciptagelar adalah contoh konkret dari apa yang disebut sebagai pembangunan berkelanjutan. Keberhasilan swasembada pangan dan ketahanan energi yang diperoleh tidaklah datang dari ruang hampa, melainkan didorong oleh motivasi untuk menempatkan keselarasan yang bijak antara modernisasi dan nilai-nilai adat. Salah satu praktik yang bijak tersebut adalah penggunaan SDA yang dialokasikan berdasarkan kebutuhan, alih-alih eksploitasi secara masif.
Dari luas 5.000 hektare, 70% nya merupakan “Hutan Titipan” kawasan hutan yang dilindungi dan tidak dipergunakan. Barulah 20% sisanya dipergunakan untuk lahan dan pemukiman. Bagi warga Kasepuhan Ciptagelar, padi merupakan sumber alam yang sangat disakralkan sehingga mereka melarang beras untuk diperjualbelikan. Kemudian, warga Kasepuhan Ciptagelar menolak mekanisasi pertanian (penggunaan traktor bahkan pestisida). Sistem panen dan tanam serentak yang dipraktekkan secara gotong royong berhasil menghadirkan efisiensi waktu sekaligus tenaga serta memutus siklus hama.
ADVERTISEMENT
Selain kepatuhan terhadap nilai adat, resiliensi masyarakat adat Kasepuhan Ciptagelar tidak lepas dari penghargaan yang tinggi terhadap komunalitas. Sistem kelembagaan adat dikembangkan berdasarkan silsilah keluarga dan penduduk mengidentifikasi diri mereka sebagai keluarga besar.
Kepala suku disebut 'Abah' karena ia adalah bapak masyarakat adat yang memastikan praktik berkelanjutan dari semua kegiatan sehari-hari yang dibatasi oleh budaya dan tradisi yang kuat. Istrinya disebut 'Emak' atau ibu dari komunitas, di mana ia akan bekerja sama dengan ‘Abah’. Kepala desa juga didukung oleh tetua desa yang dikenal sebagai Rendang Kande dan pejabat pemerintah desa yang disebut Rorokan. Rorokan memiliki tanggung jawab yang berbeda.
Misalnya, Rorokan Padukunan bertanggung jawab untuk memimpin semua ritual adat, sedangkan Rorokan Pamakayaan bertanggung jawab atas semua kegiatan pertanian. Namun demikian, satu hal penting yang patut digarisbawahi, meskipun mereka memiliki sosok pemimpin adat, sistem yang dipraktekkan nyatanya mampu menjamin keuntungan bersama. Hebatnya lagi semua tata nilai dan cara hidup ini mampu mereka jalankan sebagai suatu sistem "alternatif" yang terpisah dari kebijakan negara.
ADVERTISEMENT
Perlukah “Membangun”? Sebuah Refleksi dan Kesimpulan
Memaknai pembangunan maka kita perlu untuk memaknai kembali apa yang kemudian menjadi definisi dari pembangunan itu sendiri. Dalam tataran global, penulis melihat bahwa narasi pembangunan modern hingga kini masih terus mendominasi yang pada batas tertentu menempatkan indikator-indikator kuantitatif seolah sebagai satu-satunya tolok ukur dalam pembangunan.
Lambat laun, pada akhirnya banyak yang menyadari bahwa pembangunan justru gagal menghadirkan ruang kebebasan yang inklusif karena terkungkung pada satu gagasan yang terlampau positivistik. Tidak hanya gagal merancang satu sistem yang dapat menyokong kesejahteraan kelompok marjinal, narasi pembangunan arus utama yang menitikberatkan industrialisasi juga mengancam entitas lain yang selama ini telah menyediakan sumber daya untuk hajat hidup peradaban manusia, yakni ekologi–dan juga mengancam mereka yang menggantungkan hidup darinya.
ADVERTISEMENT
Namun demikian, di tengah hegemoni ide pembangunan modern tersebut kita masih dapat menemukan sebuah cara “alternatif” yang dipraktekkan salah satunya oleh Kasepuhan Ciptagelar. Resiliensi dan kemandirian yang terbangun oleh keteguhan dalam memegang satu sistem kolektif terbukti berhasil mencapai target-target pembangunan berkelanjutan yang konkret bahkan, dalam hal ini lepas dari campur tangan dan tata kelola negara–sebagai entitas yang punya wewenang untuk mengelola kepentingan publik (public goods).
Penghargaan yang tinggi terhadap nilai adat dan kelestarian lingkungan nyatanya berbanding lurus dengan taraf pembangunan (baca: kebebasan dan kesejahteraan) yang dirasakan oleh seluruh warga di Kasepuhan Ciptagelar. Di tengah semakin maraknya ide-ide pembangunan berkelanjutan, seperti misalnya SDGs (Sustainable Development Goals), Green Economy (Ekonomi Hijau), dsb sudah seharusnya pemerintah dapat membuat kajian satu bentuk kebijakan pembangunan yang tidak seharusnya menjadikan masyarakat adat sebagai korban.
ADVERTISEMENT
Lebih dari itu di tengah berbagai macam permasalahan yang ditimbulkan oleh pembangunan, konsiderasi terhadap wacana pembangunan alternatif yang dalam konteks ini dapat kita pelajari dari tata kelola adat yang diciptakan Masyarakat Kasepuhan Ciptagelar menjadi satu hal yang penting menuju pembangunan yang berbasis pada perlindungan terhadap kekayaan nilai & budaya Nusantara.