Konten dari Pengguna

Politik Identitas: Multikulturalisme di Tengah Tantangan Elektoral

Gibraltar Andibya Muhammad
Research Fellow in Indonesian Institute of Advanced International Studies (INADIS)
23 Oktober 2023 16:01 WIB
·
waktu baca 5 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Gibraltar Andibya Muhammad tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Ilustrasi Gerakan Sosial berbasis Identitas, "Black Lives Matter" Sumber: Unsplash
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi Gerakan Sosial berbasis Identitas, "Black Lives Matter" Sumber: Unsplash
ADVERTISEMENT
Seyogyanya di tengah cita-cita penerapan demokrasi yang substantif, politik identitas mesti dipahami sebagai suatu bagian yang komplementer. Politik identitas seharusnya dilihat sebagai upaya untuk memahami perbedaan tantangan struktural yang dihadapi beragam kelompok di Indonesia, terutama kelompok minoritas.
ADVERTISEMENT
Hal ini merupakan suatu bentuk penghargaan terhadap multikulturalisme yang memiliki arti lebih dari sekadar mengakui adanya perbedaan, melainkan juga menghargai perbedaan tersebut.
Memasuki tahun pemilu 2024, politik identitas seolah menjadi satu memori buruk yang menghantui banyak orang terlebih mereka yang merasakan sendiri bagaimana fragmentasi sosial yang timbul pada dua episode pemilu sebelumnya, yakni pemilu 2014 dan 2019.
Tidak mengherankan memang bila pada akhirnya politik identitas acap kali terasosiasikan dengan gerakan sosial-politik yang cenderung ekstrem, terutama kelompok sayap kanan dengan ideologi yang eksklusif.
Opini singkat ini akan berupaya menyoroti dua hal. Yang pertama, politik identitas mesti dipahami sebagai konsekuensi dari penerapan demokrasi sehingga upaya untuk membatasi hal tersebut dapat berimplikasi pada pelanggaran hak kebebasan berpendapat bahkan diskriminasi.
ADVERTISEMENT
Dan yang kedua, politik identitas mesti dipahami sebagai wadah untuk merekognisi hambatan struktural yang dihadapi beragam kelompok.

Politik Identitas sebagai Gerakan Sosial: Konsekuensi Politik Elektoral

Ilustrasi politik identitas. Foto: Shutter Stock
Politik elektoral secara sederhana dapat diartikan sebagai sistem di mana suara terbanyak—yang dihimpun melalui pemilihan umum—muncul menjadi basis berubahnya kepemimpinan politik.
Dalam demokrasi, pemilihan umum (pemilu) tentu menjadi suatu proses yang sangat fundamental karena menandakan adanya pergantian pemerintahan yang dikehendaki oleh rakyat secara periodik sehingga otoritarianisme dapat dicegah.
Konsekuensi dari penerapan politik elektoral ini adalah setiap kandidat yang mengajukan dirinya untuk memimpin lembaga politik tertentu nantinya akan membutuhkan massa (suara orang banyak).
Dalam konteks politik identitas, penggunaan identitas dalam sebuah pemilu yang demokratis terjadi karena pada akhirnya identitas—baik etnis, agama, dll—terbukti cukup menonjol dalam struktur sosial masyarakat di dalam beberapa kasus.
ADVERTISEMENT
Hal ini terjadi karena ada kecenderungan bahwa dalam sebuah masyarakat yang heterogen kemenangan suatu faksi politik tertentu menjadi momentum eksklusi (yakni ketika kemungkinan akan kemudahan berbagai akses kebijakan akan cenderung dirasakan oleh kelompok yang diwakilkan oleh faksi politik yang memenangkan pemilu).
Oleh karena itu, proses politik elektoral sering kali mengarah pada sebuah kondisi in group dan out group dalam artian identitas menjadi “jaminan” akan keterlibatan yang lebih besar bagi individu atau kelompok tertentu.
Lalu, penggunaan berbagai atribut identitas tersebut dianggap menjadi sebuah cara yang paling mudah dalam mengidentifikasi kelompok mana yang harus harus diinklusi dan kelompok mana yang perlu dieksklusi.
Praktik politik identitas akan lebih efektif karena pada akhirnya individu—yang nantinya menjadi basis pendukung (voters)—tidak mungkin dapat dikarakterisasi secara atomistik (berdiri sendiri tanpa ada pengaruh eksternal dari lingkungan sosialnya yang pada akhirnya membentuk identitas diri individu tersebut).
ADVERTISEMENT
Oleh karena itu, diasumsikan bahwa setiap individu terasosiasi ke dalam suatu kelompok etnis atau kelas tertentu,
Dalam tulisannya, pakar politik John D. Huber melihat kedua unsur tersebut menjadi faktor penting yang mempengaruhi cara pandang, tingkat kesejahteraan, dan pilihan politik seorang individu.
Dalam masyarakat yang heterogen, tentu komposisi satu kelompok etnis satu dan lainnya tidak proporsional dalam artian pada akhirnya akan selalu ada kelompok mayoritas dan kelompok minoritas.
John D. Huber (2017) lalu melihat penggunaan identitas perlu dilakukan untuk pada akhirnya menggaet suara dari kelompok mayoritas melalui narasi yang menyatakan dukungan pada suatu kelompok tertentu—yang menjadi mayoritas baik dalam spektrum etnis maupun kelas.
Bila diilustrasikan sebagai sebuah kue pie, kue pie tersebut pada akhirnya harus dibagi secara proporsional kepada masing-masing kelompok etnis/kelas tertentu.
ADVERTISEMENT
Namun, pada akhirnya politik elektoral tentu mengharuskan koalisi politik memperoleh suara dari spektrum dengan jumlah mayoritas demi sumbangan suara terbanyak.

Kelindan Sosial-Ekonomi di Balik Gerakan yang Politis

Ilustrasi politik identitas. Foto: Shutter Stock
Kehadiran kelompok-kelompok dengan ide-ide yang intoleran tentu patut direkognisi sebagai suatu ancaman terhadap mozaik keberagaman yang telah lama dibangun.
Namun demikian, satu hal yang patut disadari pula adalah kemunculan kelompok-kelompok yang sering sekali mendapatkan cap "radikal" atau "tidak toleran" ini tidak terjadi di dalam ruang hampa sebab banyak kegelisahan yang berakar dari permasalahan struktural juga disuarakan oleh kelompok-kelompok tersebut.
Penulis mengambil contoh, misalnya gerakan kemerdekaan Papua yang hingga kini terus eksis. Beberapa dari kita tentu akan sangat mudah terpengaruh oleh diskursus nasionalisme yang dibangun.
ADVERTISEMENT
Dengan mudahnya kita melihat bahwa tuntutan akan kemerdekaan rakyat Papua sebagai suatu hal yang tidak beralasan sehingga kita lupa pada tantangan struktural yang dihadapi rakyat Papua, seperti misalnya kesenjangan ekonomi, pelanggaran HAM, pembatasan ruang sipil, bahkan eksploitasi tanah adat.
Lalu, contoh lainnya adalah gerakan kelompok islam sayap kanan yang sangat populer menuju pemilu 2019. Tentu, dengan narasi ekslusivitas yang dibawa, akan sangat sulit bagi sebagian besar orang untuk kemudian dapat melihat bahwa tuntutan yang disuarakan bukanlah sepenuhnya omong kosong.
Misalnya, dalam poin ketergantungan Indonesia terhadap Tiongkok di mana hal ini sebenarnya merupakan suatu hal yang riil sedang dialami. Ketergantungan tersebut salah satunya dapat dilihat, misalnya dari beragam proyek infrastruktur, mulai dari kereta cepat, pembangkit listrik tenaga uap (PLTU) Batang, dan proyek-proyek lainnya.
ADVERTISEMENT

Menghargai Demokrasi, Memaknai Politik Identitas Secara Lebih Bijak

Ilustrasi politik identitas. Foto: Shutter Stock
Di akhir tulisan ini, saya berupaya untuk membingkai politik identitas sebagai suatu konsekuensi yang lumrah dari penerapan demokrasi. Meskipun akan muncul perdebatan tentang sudah sejauh mana demokrasi di Indonesia diterapkan secara substantif.
Satu hal yang perlu digarisbawahi adalah janji demokrasi sebagaimana yang termaktub dalam semangat reformasi dengan sendirinya memberikan ruang lebih untuk berbagai macam kelompok dengan atribut identitasnya masing-masing untuk menyuarakan apapun yang menjadi aspirasinya.
Oleh karena itu, tulisan ini mengajak para pembacanya untuk tidak berhenti pada anggapan politik identitas sebagai "alat pemecah belah" semata karena justru melalui politik identitas-lah keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia dapat diwujudkan.