Bisakah Kita Benar-benar Hidup Tanpa Topeng?

Gideon Budiyanto
Sarjana Teologia (S.Th.) di bidang pastoral/konseling. Profesi : Karyawan Swasta dan Penulis. Anggota Persatuan Wartawan Nasrani Indonesia (PEWARNA) Tangerang Selatan dan ISP NULIS
Konten dari Pengguna
1 Juli 2022 17:11 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Gideon Budiyanto tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Image from Pixabay
zoom-in-whitePerbesar
Image from Pixabay
ADVERTISEMENT
Masih ingat lagu berjudul Topeng yang pernah dibawakan oleh grup musik Peterpan dan kemudian dibawakan ulang oleh Ariel Cs dengan grup musik Noah. Lagu tersebut sukses merebut hati para penikmat musik di tanah air.
ADVERTISEMENT
Adapun lirik di bagian refrainnya adalah seperti berikut :
Tapi buka dulu topengmu
Buka dulu topengmu
Biar ku lihat warnamu
Kan kulihat warnamu
Lagu tersebut ingin mengajak para pendengarnya untuk hidup tanpa memakai topeng atau hidup jujur, apa adanya karena kalau tidak pasti akan mengecewakan banyak orang.
Idealnya memang seharusnya kita semua hidup tanpa memakai topeng, tapi apakah itu mungkin? Sudah siapkah kita dan sudah siapkah lingkungan sekitar kita?
Sedari kecil, kita sudah dibiasakan untuk memakai topeng, misalnya seorang anak laki-laki tidak boleh menangis dalam keadaan apapun karena nanti bisa dianggap tidak jantan atau kebiasaan untuk menyuruh seorang anak bersikap baik dan memasang wajah manis apabila bertemu dengan orang tertentu supaya mendapatkan sesuatu.
ADVERTISEMENT
Selain itu, ada juga norma kesopanan dan etika yang harus dijaga di dalam bersosialisasi sehingga ada hal-hal tertentu yang dapat membatasi seseorang dalam melakukan sesuatu untuk menjaga kesopanan dan etika tersebut.
Ambil saja contohnya kita tidak dapat berbuat seenaknya ketika bertamu di rumah orang tidak seperti ketika di rumah sendiri, bukan?
Bahkan beberapa waktu lalu saya pernah berada dalam sebuah lingkungan yang masih menganggap kalau memakai pakaian yang terbuat dari bahan jeans itu sebagai pakaian yang kurang sopan.
Cukup sulit memang kalau mau hidup benar-benar membuka semua topeng kita jika melihat hal-hal di atas.
Selain itu, pasti ada perasaan tidak yakin kalau kita benar-benar membuka topeng maka lingkungan sekeliling dan teman-teman kita akan menerima kita apa adanya.
ADVERTISEMENT
Mungkin kita pernah mencoba membuka diri namun malah dijauhi, dipergunjingkan dan dianggap aneh sehingga menimbulkan trauma tersendiri, jadi rasanya malas untuk melakukan hal itu lagi.
Akhirnya kita kembali memilih hidup dengan topeng karena dengan begitu hidup rasanya lebih tenang meski di dalam hati penuh dengan pertentangan.
Karena hampir mustahil hidup tanpa topeng yang bisa kita lakukan hanya memilih seberapa tebal atau tipisnya topeng yang kita kenakan.
Untuk beberapa orang tertentu, topeng yang kita kenakan harus tebal karena menyangkut citra diri yang jikalau sampai runtuh akan berakibat fatal.
Untuk orang-orang tertentu lainnya, topeng yang kita kenakan bisa agak tipis karena mereka katanya bisa menerima kita apa adanya, tentunya ini memang harus diuji dengan waktu dan dalamnya sebuah hubungan atau pertemanan.
ADVERTISEMENT
Sebenarnya kita seharusnya bisa membuka semua topeng kita ketika bersama keluarga kita sendiri karena mereka bagian dari kita secara darah dan daging.
Namun balik lagi ke pertanyaan sebelumnya, apakah mereka siap dan apakah kita juga siap dengan segala konsekuensinya?