Marah dan Status Sosial

Gideon Budiyanto
Sarjana Teologia (S.Th.) di bidang pastoral/konseling. Profesi : Karyawan Swasta dan Penulis. Anggota Persatuan Wartawan Nasrani Indonesia (PEWARNA) Tangerang Selatan dan ISP NULIS
Konten dari Pengguna
15 September 2022 13:36 WIB
·
waktu baca 3 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Gideon Budiyanto tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Image from Pixabay
zoom-in-whitePerbesar
Image from Pixabay
ADVERTISEMENT
Beberapa waktu lalu jagat maya dihebohkan dengan sebuah video seorang wanita yang mengendarai mobil mewah ketahuan mencuri beberapa barang di sebuah minimarket.
ADVERTISEMENT
Pegawai minimarket merekam momen tersebut lalu mengirimkannya ke group WhatsApp kantor. Tidak berapa lama, video tersebut menjadi viral di dunia maya mengakibatkan wanita yang ketahuan mencuri itu menjadi marah dan mengancam si pegawai.
Singkat cerita, kasus ini berakhir damai dengan saling memaafkan.
Tidak lama, jagat maya kembali diramaikan dengan video tindakan pemukulan yang dilakukan oleh seorang oknum pejabat di sebuah pom bensin terhadap seorang wanita.
Sampai saat ini belum jelas akhir dari kasus tersebut.
Beberapa hari yang lalu, beredar rekaman di media sosial yang memperlihatkan oknum ASN menendang seorang wanita yang terlihat sedang mengendarai motor sampai terjatuh.
Kasus ini juga masih belum jelas akhirnya.
Selain beberapa kasus di atas, kita tentu sering melihat atau bahkan merasakan sendiri kesewenang-wenangan orang-orang yang merasa memiliki status sosial tertentu di masyarakat.
ADVERTISEMENT
Entah karena kekayaannya, jabatannya, keturunannya dan lain sebagainya. Mereka suka gampang sekali mengumbar kemarahannya, tidak peduli dengan perasaan dan dampak dari perbuatannya itu terhadap orang lain.
Status sosialnya itu seakan melegitimasi perbuatannya sehingga buat mereka melakukan hal-hal seperti itu wajar saja karena mereka merasa lebih tinggi dan berkuasa dari orang lain.
Selain gampang mengumbar kemarahan, mereka biasanya gampang juga menyatakan maaf atau khilaf dan minta dimaklumi.
Semua orang diharuskan mengerti dan memahami bahwa apa yang mereka lakukan semata-mata bagian dari kelemahannya sebagai manusia.
Namun hal ini tentu saja tidak berlaku sebaliknya.
Sebenarnya, apa yang menjadi pokok permasalahan sehingga semua hal ini bisa terjadi.
Salah satunya adalah pendidikan, di rumah dan sekolah.
ADVERTISEMENT
Berapa banyak orang tua di rumah yang sering sekali mengatakan kepada anaknya bahwa dengan memiliki uang atau jabatan tertentu sang anak bisa lebih dihormati dan dipandang di lingkungannya.
Akibatnya, apabila sang anak sudah mendapatkan semua itu akan memandang orang lain yang tidak memiliki hal yang sama seperti yang ia punya sebagai pihak yang tidak layak dihormati dan dipandang.
Sekolah juga kerap mengajarkan bahwa nilai tertinggi adalah segalanya, baru bisa dianggap pintar dan pandai bahkan menjadi murid kebanggaan.
Meski tindakan bully senior terhadap junior, kekerasan verbal dan bahkan fisik sering terjadi tetapi hal-hal itu tidak dianggap sepenting nilai akademik yang luar biasa.
Jarang sekali kita mendengar ada sekolah yang memberikan penghargaan terhadap murid-murid yang dianggap berprestasi dalam hal keteladanan dan kebaikan hatinya terhadap teman-temannya meski tentu saja ada juga sekolah yang memberikan penghargaan semacam itu.
ADVERTISEMENT
Dengan mengubah gaya mendidik, niscaya bisa mengubah karakter dan cara pandang seseorang.
Pendidikan moral yang baik harus diajarkan di dalam rumah dan sekolah.
Ajarkan bahwa sesama manusia harus saling menghormati dan menghargai bukan karena apa yang mereka punya tapi karena kemanusiaan itu sendiri.
Manusia yang sama-sama punya perasaan dan hati, menghirup udara dan tinggal di bumi yang sama.
Mungkin butuh beberapa generasi agar bisa mengajarkan dan mengubah perilaku arogan di dalam masyarakat, maukah kita mulai dari sekarang?