Mengusahakan Ekspektasi

Gideon Budiyanto
Sarjana Teologia (S.Th.) di bidang pastoral/konseling. Profesi : Karyawan Swasta dan Penulis. Anggota Persatuan Wartawan Nasrani Indonesia (PEWARNA) Tangerang Selatan dan ISP NULIS
Konten dari Pengguna
23 Mei 2023 19:24 WIB
·
waktu baca 2 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Gideon Budiyanto tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Image by Syaibatul Hamdi/pixabay
zoom-in-whitePerbesar
Image by Syaibatul Hamdi/pixabay
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Kita pasti pernah mengalami perasaan kecewa karena ekspektasi kita ternyata tidak terwujud atau menjadi nyata. Sebenarnya wajar saja apabila sebuah ekspektasi tidak menjadi kenyataan karena sebenarnya itu hanyalah sebuah harapan, bukan sebuah kenyataan. Sebuah harapan bisa saja tidak terpenuhi, bukan?
ADVERTISEMENT
Sebagai manusia yang tidak sempurna, manusia yang tidak bisa mengetahui masa depan secara seratus persen akurat, kita tentu tidak bisa menyalahkan siapapun termasuk diri sendiri atau keadaan apapun apabila ekspektasi kita tidak menjadi nyata.
Karena itulah kita sebaiknya bisa berlapang dada dan ikhlas serta tidak terlalu terlarut dalam penyesalan yang tidak berujung. Kalau istilah masa sekarang, kita harus bisa move on.
Namun ternyata tidak semudah itu. Banyak faktor yang menyebabkan kita tidak mudah move on dari kegagalan ekspektasi kita. Salah satunya adalah menaruh ekspektasi itu sebagai satu-satunya tempat di mana rasa keberhargaan diri kita letakkan.
Ketika harapan itu hancur, maka otomatis hancur juga keberhargaan diri kita. Kita seperti tidak punya arah dan tujuan hidup lagi. Akibatnya, kita akan menjadi orang yang mudah terluka, takut melangkah dan tidak mau mengambil risiko karena takut pengalaman traumatis masa lalu terulang kembali.
ADVERTISEMENT
Padahal ketika kita berhenti melangkah dan berjuang sebenarnya kita sedang melewatkan banyak kesempatan emas yang seharusnya bisa diraih. Sungguh sangat disayangkan apabila itu terjadi.
Sebenarnya yang salah bukan ekspektasinya sendiri karena itu hanyalah sebuah harapan bukan kenyataan. Itu akan menjadi masalah ketika sebuah ekspektasi tidak berbanding lurus dengan kenyataan yang ada.
Bukankah harapan itu harus digantungkan tinggi, setinggi langit? Ekspektasi yang tinggi tidak menjadi masalah asalkan kita juga mau mengusahakan realita yang ada sehingga bisa berbanding lurus dengan ekspektasi itu.
Ambillah contoh, ada seseorang ingin menjadi penyanyi terkenal namun tidak ada satu pun dari keluarganya yang menjadi penyanyi sehingga ia bingung darimana ia harus memulai langkahnya karena tidak ada yang bisa dimintai pendapat ataupun saran.
ADVERTISEMENT
Jika dia hanya diam saja menunggu kesempatan datang, dia pasti akan kecewa karena ekspektasinya tidak akan menjadi nyata. Namun apabila dia mulai berusaha, dari mulai belajar di kursus bernyanyi sampai mengikuti ajang perlombaan menyanyi dari tingkat daerah sampai nasional bahkan internasional maka ekspektasinya lambat laun akan menjadi nyata.
Ekspektasi itu harus diusahakan, bukan hanya diimpikan. Tapi bagaimana seandainya kita sudah berusaha namun ekspektasi itu tetap tidak terwujud?
Mungkin saatnya kita mengganti ekspektasi kita sesuai dengan kenyataan yang ada. Lebih baik kita mengganti ekspektasi daripada harus hidup tanpa ekspektasi. Setidaknya kita masih punya alasan untuk apa kita berjuang di dalam kehidupan ini.