Self-Awareness dalam Berkomunikasi

Gideon Budiyanto
Sarjana Teologia (S.Th.) di bidang pastoral/konseling. Profesi : Karyawan Swasta dan Penulis. Anggota Persatuan Wartawan Nasrani Indonesia (PEWARNA) Tangerang Selatan dan ISP NULIS
Konten dari Pengguna
24 Juni 2022 16:21 WIB
·
waktu baca 3 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Gideon Budiyanto tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Image by Pixabay
zoom-in-whitePerbesar
Image by Pixabay
ADVERTISEMENT
Pernahkah kita merasa sangat lelah dan capek ketika berkomunikasi dengan seseorang? Entah karena topiknya yang hanya membicarakan diri orang itu sendiri, gosip yang tidak penting, isi cerita yang itu-itu lagi dan sebagainya.
ADVERTISEMENT
Tetapi hanya untuk menghormati si pembicara maka kita akhirnya harus meladeni sampai pembicaraan berakhir. Tidak enak dan tidak sopan rasanya kalau di tengah pembicaraan kita malah pergi.
Dan hal itu harus kita alami terus menerus seperti tidak ada pilihan. Energi kita pun rasanya seperti terhisap habis dalam pembicaraan itu. Rasa frustrasi lalu menyerang sampai akhirnya kita memilih untuk menghindari orang tersebut dalam setiap pertemuan.
Sebenarnya bagaimana seharusnya etika dalam berkomunikasi? Apa hal penting dan utama yang harusnya ada di dalamnya?

Self awareness atau kesadaran diri

Kesadaran diri itu penting, bukan hanya untuk si pembicara melainkan juga untuk yang mendengarkannya.
Untuk yang kebetulan saat terjadinya komunikasi itu menjadi pihak yang berbicara, kita hendaknya dapat melihat siapa yang diajak berbicara dengan bijaksana.
ADVERTISEMENT
Janganlah menanyakan mengenai anak kepada pasangan suami istri yang sedang mengupayakannya. Atau menanyakan tentang kapan menikah kepada orang yang umurnya menurut kita sudah saatnya menikah. Lalu, berbicara mengenai politik dan teori konspirasi kepada orang yang tidak memahami dan mengerti.
Semua hal itu bukan hanya akan membuat orang yang diajak bicara menjadi sebal tapi juga membuat suasana komunikasi menjadi tidak seimbang.
Kita akan mendominasi pembicaraan dan lawan bicara kita biasanya akan diam saja atau terpaksa mendengarkan.
Kalau seperti itu namanya kita bukan sedang menjalin komunikasi tetapi berpidato.
Kita juga harus bisa melihat bahasa tubuh lawan bicara kita, kalau memang mereka sudah tidak nyaman dengan kita sebaiknya segera hentikan pembicaraan itu.
ADVERTISEMENT
Ini juga akan melatih rasa empati dan tenggang rasa kita kepada orang lain.
Untuk yang kebetulan saat terjadinya komunikasi menjadi orang yang diajak bicara, kita juga harus bisa memahami siapa yang sedang mengajak kita bicara.
Kalau memang saat itu kita merasa bahwa si pembicara sedang butuh di dengarkan curahan hatinya, berikan perhatian seutuhnya. Jangan kita mendengarkan dia sambil sibuk membalas teks di telepon genggam kita atau bahkan menguap lebar-lebar di hadapannya.
Bagi sebagian orang, untuk bisa menceritakan masalahnya kepada orang lain itu tidak mudah, butuh keberanian yang cukup, apalagi jika masalahnya itu sempat menimbulkan trauma di dalam kehidupannya.
Oleh sebab itu, jika seseorang sudah mempercayai kita untuk membagikan kisahnya, hormati keputusannya dan jadilah pendengar yang baik tanpa perlu ditanggapi dengan nasihat apabila ia tidak menanyakannya. Karena kadang seseorang itu hanya perlu di dengarkan keluh kesahnya dan itu sudah lebih dari cukup.
ADVERTISEMENT
Sebaliknya, kalau memang saat sedang berkomunikasi, kita merasa pembicaraan sudah melebar ke mana-mana dan kita sudah merasa tidak nyaman, sebaiknya segera undur diri dengan sopan.
Dengan begitu kita bisa belajar berani berkata tidak dan berani bersikap dalam segala situasi pembicaraan agar kita tidak selalu merasa menjadi korban yang tanpa daya ketika menjadi lawan bicara seseorang.
Mari kita melakukan komunikasi dengan kesadaran diri agar komunikasi menjadi seimbang dan berdampak positif, bagi yang berbicara maupun yang mendengarkan.