Terjebak Toxic Productivity di Masa Pandemi

Gideon Budiyanto
Sarjana Teologia (S.Th.) di bidang pastoral/konseling. Profesi : Karyawan Swasta dan Penulis. Anggota Persatuan Wartawan Nasrani Indonesia (PEWARNA) Tangerang Selatan dan ISP NULIS
Konten dari Pengguna
17 Juli 2021 21:05 WIB
·
waktu baca 3 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Gideon Budiyanto tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Image by Mohamed Hassan from Pixabay
zoom-in-whitePerbesar
Image by Mohamed Hassan from Pixabay
ADVERTISEMENT
Dulu, sebelum masa pandemi Covid-19 terjadi, kita seringkali merasa malas untuk memulai kembali hari monoton di kantor terutama pada hari Senin setelah menikmati liburan kecil di Sabtu-Minggu, itulah sebabnya ada istilah I Love Monday untuk sekadar menimbulkan semangat memulai aktivitas di hari Senin.
ADVERTISEMENT
Bukan hanya di hari Senin rasa malas itu timbul, di hari-hari biasa pun terkadang rasa itu menyerang. Akibatnya, kita sering memakai alasan sakit untuk sekadar bermalas-malasan di rumah atau me-time di bioskop.
Namun kini semua berubah. Justru kita dilarang untuk masuk ke kantor dan harus tetap di rumah atau istilah kerennya Work From Home (WFH).
Kita pikir dengan WFH ritme hidup akan lebih santai sehingga bisa menikmati waktu bersama keluarga, sesuatu yang dulu sepertinya sangat langka karena beban pekerjaan juga kemacetan di jalan raya.
Ternyata kenyataannya berbanding terbalik.
Terlalu lama berada di dalam rumah ternyata dapat membuat stress dan depresi. Jam kerja pun semakin panjang karena si Boss bisa menghubungi kita di jam dan hari apa saja. Tidak ada lagi office hour, nine to five.
ADVERTISEMENT
Saat terlalu lama di rumah, kita juga dapat mengalami yang namanya low productivity atau malah over productivity. Rasa malas yang berlebihan atau rasa mau meningkatkan kapasitas dan produktivitas secara membabi buta.
Kebetulan, saya mengalami yang kedua yaitu over productivity.
Bolak-balik di dalam rumah ketika pekerjaan kantor sudah usai membuat saya berpikir keras harus melakukan sesuatu supaya waktu tidak terbuang percuma.
Kalau dulu sebelum pandemi, setelah jam kerja saya masih bisa bertemu teman di mal atau restaurant, hanya untuk sekadar berbincang atau tertawa bersama, itu cukup membuat jiwa saya merasa refresh kembali setelah kesibukan di kantor.
Tapi kini, hal itu belum dapat dilakukan.
Akibatnya, saya selalu mencoba mencari kesibukan atau belajar hal-hal baru untuk membunuh waktu.
ADVERTISEMENT
Dari mulai mau jualan online, belajar menulis yang baik, dan hal-hal lain.
Sebenarnya semua itu bagus karena dapat memacu saya untuk mengeksplor diri lebih lagi agar semakin kreatif.
Tapi yang menjadi masalah adalah saya akan merasa sangat bersalah ketika hanya duduk diam menonton televisi atau tidak melakukan apa-apa.
Saya akan merasa seperti manusia yang tidak berguna.
Apalagi masa pandemi ini membuat semua menjadi serba tidak pasti, dan kalau saya hanya diam saja tanpa melakukan kegiatan yang berarti, saya seperti tidak ada persiapan tertentu untuk ketidakpastian itu.
Hal ini lama kelamaan menjadi toxic dalam diri saya.
Saya menjadi susah tidur karena overthinking menyerang, gelisah, selalu merasa tidak aman, dan perasaan-perasaan negatif lainnya.
ADVERTISEMENT
Saya lalu tersadar bahwa saya telah terjebak dengan yang namanya toxic productivity.
Semua yang berbau toxic tentu tidak baik buat kesehatan mental kita. Begitu pula halnya dengan toxic productivity.
Memang sepertinya terkesan baik karena seolah-olah mampu meningkatkan kualitas kita sebagai manusia tapi kualitas itu disertai dengan perasaan-perasaan yang menggerogoti emosi dan jiwa kita.
Mental menjadi tidak sehat dan akibatnya hidup pun tidak berkualitas.
Setelah merenung panjang, akhirnya saya memutuskan untuk menarik diri dari toxic productivity.
Saya mulai membiarkan diri saya bersantai menonton televisi ketika semua pekerjaan sudah selesai.
Saya mulai kembali menata apa yang mau saya lakukan dan pelajari secara lebih terarah dan teratur.
Ritme kerja pun saya usahakan tidak membuat saya kehilangan waktu bersama keluarga dan diri sendiri.
ADVERTISEMENT
Saya juga belajar berserah lebih lagi kepada kekuasaan Tuhan Sang Maha Pengatur.
Intinya, belajar hidup lebih fleksibel dan tidak memaksakan diri.
Hasilnya, rasa bersyukur selalu ada dalam diri saya ketika melewati hari-hari di masa pandemi ini.