Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.88.1
Konten dari Pengguna
Keyakinan Politik
26 Mei 2022 10:18 WIB
Tulisan dari Ferdiyan Ananta tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Mungkin sekitar penghujung tahun 2015, sebuah video amatir meledak dan ramai dibincangkan di berbagai platform media sosial. Video itu merekam seorang penceramah agama yang sedang menggebu-menggebu menyampaikan khutbah jumat di sebuah masjid. Dalam khutbahnya, dengan sangat meyakinkan ia mengatakan bahwa umat Islam hari ini layaknya itik yang kehilangan induknya; limbung karena tidak ada rumah bernaung; tersungkur di antara puing-puing peradabannya sendiri. Penyebabnya tak lain dan tak bukan ialah runtuhnya kekhalifahan Turki Usmani yang dianggap sang ustadz sebagai pemersatu umat Islam. Biang keladinya tak lain ialah Kemal Attaturk. Bagi sebagian umat Islam, mungkin sebagian kecil, Kemal adalah tokoh sekuler titisan dajjal yang menjatuhkan paksa kekhalifahan Turki Usmani setelah belasan abad berkuasa.
ADVERTISEMENT
Umat Islam menjadi terpecah belah. Peradaban yang dulu begitu dielu-elukan kini seolah menjadi peradaban yang diremehkan. Perang terjadi di mana-mana. Pendek kata, umat Islam di dunia menuju ketidakberdayaan, kelumpuhan dalam berbagai sektor.
Namun, masih menurut sang Ustadz, di tengah gelapnya langit umat Islam, muncullah satu bintang cemerlang dari tanah tempat terakhir kali kekhilafahan Islam itu menyerah pada ide-ide demokrasi. Orang itu ialah Erdogan. Bagi sang ustadz, Erdogan adalah sosok pemimpin karismatik yang dibesarkan dari sekolah agama, yang juga masih menyimpan genetika kekhalifahan Turki Usmani: Imam Hatip School. Menurutnya, sekolah tersebut mendidik Erdogan menjadi sosok pemimpin yang ditakuti dunia, “Eropa dan Amerika gentar ketika disebut namanya” begitu ucapnya.
Tidak dikatakan secara eksplisit apa maksud sebenarnya ia memasukan kata kunci kemunduran umat Islam-runtuhnya kekuasaan-munculnya Erdogan- dalam khutbahnya itu. Apakah ia ingin mengatakan bahwa kita perlu mendirikan kembali kekhilafahan Islam untuk membuat umat ini maju dan Erdogan adalah sosok yang tepat untuk menjadi khalifah/pemimpin? sekali lagi, ustadz ini tidak mengatakannya dengan terang benderang. Namun bagi saya, kerinduannya terhadap masa-masa emas kekhilafahan turki usmani nampak begitu jelas.
ADVERTISEMENT
Video khutbah itu viral. Begitu banyak masyarakat Internet yang memuji dan menyanjung beliau dalam komentar-komentar. Apakah masyarakat Indonesia merasakan kerinduan yang sama dengan sang ustadz atas hadirnya kembali kekhalifahan Islamiyah? Bisa jadi iya, bisa jadi tidak. Yang jelas, umat muslim yang kini terombang-ambing di tengah kebuntuan ekonomi, sempitnya lapangan kerja, jurang antara si kaya dan si miskin yang semakin tajam, suara-suara protes tidak didengar, maka bisa jadi sebagian orang merasa butuh alternatif, butuh keyakinan politik lain yang mungkin bisa membela kepentingan mereka.
Setelah Video itu viral, sang ustadz banyak diundang untuk mengisi ceramah-ceramah agama. Pada mulanya, materi yang disampaikan terkesan moderat. Ia juga sangat humoris. Bahkan, ia seolah bisa menjadi jembatan antara dua organisasi besar Islam di Indonesia; NU dan Muhammadiyah. Sebagian orang menjulukinya Kyai Sejuta Umat, seperti gelar yang sama disematkan kepada Almarhum KH. Zainudin MZ.
ADVERTISEMENT
Namun, kemoderatan beliau kembali dipertanyakan ketika aksi-aksi bela Islam meletus pada tahun 2016. Keberpihakannya begitu tampak. Bahkan ia sempat didaulat sebagai calon wakil presiden mendampingi Prabowo oleh para leader aksi-aksi tersebut. Walaupun kemudian pilihannya sangat bijaksana. Ia menolak.
Setelah itu, begitu banyak skandal menimpa dirinya. Ia pernah dituding melecehkan umat kristen. Pernah juga dituduh menyebarkan ajaran ekstrimis, dan lain-lain. Isu-isu miring tersebut meledak utamanya setelah keberpihakan sang ustadz terhadap salah satu kubu politik. Sampai di sini, kita harus sangat hati-hati menyaring informasi tentang beliau. Berita tentang dirinya bisa jadi benar, bisa jadi hanya gorengan lawan politik.
Baru-baru ini, ia kembali ramai dibincangkan publik karena lawatannya yang ditolak oleh sebuah negara. Ada tiga hal yang menjadi alasan mengapa ia ditolak oleh negara tersebut; Pertama, ia dituduh sebarkan ajaran ekstrimis. Kedua, pernah membenarkan bom bunuh diri dalam kasus tertentu. Ketiga, merendahkan agama lain. Ini menjadi kali kesekian ia ditolak di negara orang. Namun demikian, jamaahnya menolak apapun alasan penolakan terhadap sang ustadz. Berhari-hari media dipenuhi dengan berita tentang aksi-aksi dukungan terhadap sang ustadz. Bahkan ada ormas yang mengancam akan mengadakan demonstrasi besar jika dalam waktu 2x24 pihak negara yang menolak sang ustadz tidak meminta maaf.
ADVERTISEMENT
Benar bahwa di tengah menguatnya politisasi agama-agamaisasi politik sangat sulit membedakan mana orang yang mendukung sang ustadz, mana orang yang sekedar cari panggung. Namun, kali ini sang ustad memang benar-benar marah. Video-videonya di medsos menunjukan itu. Ia cenderung menuntut negara yang telah mengusirnya meminta maaf. Ia merasa tak terima diperlakukan seperti itu.
Apakah ia benar-benar radikal? Sampai detik ini saya tak punya kesimpulan. Namun peristiwa penolakan itu menghantarkan saya kembali pada video khutbah yang membuatnya viral 2015 lalu. Di ujung khutbahnya, ia mengatakan bahwa Jika Indonesia tidak memiliki lembaga pendidikan agama yang kuat seperti Imam Hatip School, maka umat Islam yang mayoritas ini tidak akan ada artinya. Kita akan gampang dibeli dengan orang-orang non-Islam. Baginya, tanda-tandanya sudah semakin jelas. “Orang-orang yang tak bersunat dan tak mandi besar itu berani-beraninya memimpin kita yang mayoritas” begitu ucapnya seraya menunjukan bahwa umat Islam di Indonesia kehilangan kedaulatannya sendiri. Tentu kita paham merujuk ke siapa ucapan ini.
ADVERTISEMENT
Semangat pan Islamisme sang ustadz memang sangat kental. Namun, sekali lagi, tidak ada statement yang gamblang bahwa ia mendukung Khilafah. Seandainya pun sang ustadz mendukung bangkitnya khilafah Islamiyah, bagi saya itu tak masalah. Bagi saya itu keyakinan politik orang yang juga berhak dihargai. Sampai hari ini, keyakinan politik saya mengatakan bahwa apa yang dipilih oleh bangsa Indonesia sudah tepat. Dalam kondisi masyarakat yang amat majemuk ini, demokrasi adalah pilihan yang paling mungkin. Jika ada orang yang memiliki keyakinan politik lainya, ya silahkan saja. Asalkan bertanggung jawab dan tidak membuat kerusakan. Akan tetapi, revolusi mana yang tidak memakan korban?
Sang ustadz itu kita kenal dengan sebutan UAS, Ustadz Abdul Somad.