Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.88.1
Konten dari Pengguna
Mengapa Populisme Islam Masih Akan Populer pada Pemilu Mendatang?
19 Maret 2022 15:14 WIB
·
waktu baca 7 menitTulisan dari Ferdiyan Ananta tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Perpecahan masyarakat akibat politik identitas Islam pada perhelatan pemilu 2019 masih hangat kita rasakan. Ketika agama dijadikan komoditas untuk kepentingan politik sesaat, masyarakat pada lapisan bawah menjadi korban atas pertumpahan darah di antara mereka sendiri. Pertanyaannya, apakah populisme Islam masih akan dimainkan pada kontestasi politik mendatang? Setidaknya ada tiga faktor yang memungkinkan munculnya kembali populisme Islam pada perhelatan politik mendatang. Pertama, kegagalan pemerintah dalam merespons gerakan kelompok Islamist. Kedua, kegagalan tersebut mendorong tampilnya kembali tokoh-tokoh politik lama yang ‘hobi’ memainkan identitas politik Islam. Ketiga, menguatnya kelompok Islam kelas menengah perkotaan yang cenderung terafiliasi dengan organisasi-organisasi ekstremis kanan.
ADVERTISEMENT
Marcus Mietzner (2018) dalam sebuah artikel yang berjudul Fighting Illiberalism with Illiberalism, memetakan tiga upaya yang umumnya dilakukan oleh sebuah negara dalam mengatasi gerakan populisme anti demokrasi. Tiga upaya tersebut antara lain; pertama, militansi Demokrasi (militant democracy), kedua mengakomodir aktor-aktor anti demokrasi (the accommodation of non-democratic actor), dan ketiga ialah memahami masalah utama yang dipersoalkan oleh para pemilih populis (understanding the issue motivated populist voters).
Secara sederhana, upaya pertama mengharuskan pemerintah untuk bersikap tegas dalam mengatasi gerakan populisme anti demokrasi namun tetap dalam koridor demokrasi itu sendiri. Artinya, upaya represif yang dilakukan pemerintah harus setia pada sarana yang dipakai oleh sistem demokrasi (legal).
Dalam sejarah persinggungan antara kelompok islamis dan negara di Indonesia, pendekatan melalui sarana demokrasi ini cenderung gagal. Presiden Soekarno dengan demokrasi terpimpinnya bersikap sangat tidak demokratis kepada partai-partai Islam. Mereka ditekan hingga dibubarkan secara semena-mena, sebagaimana yang dia lakukan kepada Masyumi. Hal serupa dilakukan juga oleh Soeharto utamanya pada masa dekade pertama pemerintahannya. Ruang gerak organisasi dan partai-partai Islam dipersempit bahkan dihabisi. Hal tersebut tidak membuat kelompok-kelompok ini padam. Justru dia menjadi seperti api dalam sekam. Ketika keran demokrasi dibuka oleh BJ Habibi, kelompok islamis populis kembali tumbuh dan makin menguat. Organisasi-organisasi sayap kanan garis keras seperti HTI dan FPI berkembang pesat. Bagaimana dengan masa pemerintahan Jokowi?
ADVERTISEMENT
Dalam artikelnya, Mietzner (2018) menunjukkan kegagalan Jokowi dalam menghadapi gerakan islamis populis. Alih-alih berhasil mengatasi gerakan ini dengan sarana-sarana demokrasi, dia justru cenderung menggunakan cara-cara yang represif dan tidak demokratis. Sepanjang kepemimpinannya sejak 2014, dia gencar melakukan kriminalisasi terhadap tokoh-tokoh agama Islam yang menentang pemerintahannya. Bahkan, pada periode kedua kepemimpinan Jokowi, dia membubarkan dua organisasi besar yang menjadi leading actor dalam gerakan islamist populis, dua organisasi tersebut ialah HTI dan FPI. Sebagaimana yang telah dilakukan oleh rezim-rezim sebelumnya, cara-cara seperti ini tidak akan memadamkan gerakan kelompok populis. Justru, dia akan bermetamorfosa dalam bentuk lain dan kembali hadir dalam kontestasi politik.
Gagal dalam pendekatan yang demokratis, Jokowi juga nampaknya gagal untuk mengakomodasi dan menjawab masalah mendasar yang dipersoalkan oleh pemilih populis. Secara umum, para pengikut kelompok islamis populis membawa isu-isu tentang kesejahteraan, dan keberpihakan terhadap agama Islam. Akan tetapi hal tersebut belum mampu direalisasikan oleh pemerintahan Jokowi. Ketimpangan perekonomian masyarakat masih sangat curam. Terlebih lagi ketika wabah Covid-19 melanda. Persoalan-persoalan kemanusiaan yang diakibatkan olehnya belum juga terselesaikan.
ADVERTISEMENT
Hal tersebut diperburuk oleh kebijakan-kebijakan Jokowi melalui kementerian agama yang seolah-olah memojokkan komunitas Islam. Contohnya ialah soal aturan mengenai speaker masjid. Meskipun aturan ini bisa dibilang cukup beralasan, namun sebagian kelompok Muslim menganggap aturan itu tidak patut dibuat. Di YouTube bertebaran video-video pemuka-pemuka agama yang mengkritisi aturan tersebut. Oleh karena itu, bisa disimpulkan bahwa Jokowi tidak berhasil meredam gerakan ini dengan baik.
Mencari Rumah Bernaung
Sikap repressive-undemocratic Jokowi terhadap kelompok islamis populis ini secara permukaan memang telah menghancurkan organisasi-organisasi penggerak utama populisme Islam. Namun pada hakikatnya mereka belum bisa diredam. Jumlah konstituen pemilih islamis populis masih sangat besar. Mereka makin sulit dikontrol. Sebagian mereka melakukan gerakan underground dengan mendirikan organisasi ‘serupa tetapi tak sama’. Sebagian lagi mencari “rumah bernaung” terhadap tokoh politik atau partai politik yang mampu menampung aspirasi-aspirasi mereka.
ADVERTISEMENT
Inilah kemudian yang terus dimanfaatkan oleh elite-elite politik. Mereka dengan sengaja membangunkan rumah bagi asylum seeker yang rumahnya telah dihancurkan oleh pemerintahan Jokowi. Partai-partai baru yang muncul seperti Partai Ummat, atau partai Masyumi (Reborn) dengan jelas ingin menampung konstituen islamis populis dengan meledakkan narasi-narasi masyarakat muslim yang tertindas. Jumlah konstituen mereka mungkin tidak sebesar partai-partai lainnya, namun propaganda mereka melalui media sosial untuk menggerakan komunitas muslim perlu dipertimbangkan.
Selain bernaung pada partai politik, kelompok islamis populis juga menitipkan harapan mereka pada tokoh-tokoh politik yang mereka anggap bisa menampung aspirasi mereka, atau setidak-tidaknya berpihak pada mereka. Di akhir tahun lalu, sejumlah ulama dan habaib yang menyebut perkumpulan mereka sebagai ‘ijtima ulama’, dan juga Pelajar Islam Indonesia (PII) mendeklarasikan Sandiaga Uno sebagai calon presiden 2024 di berbagai daerah (Sumatra Utara, Jakarta, hingga Jawa Barat). Sandi mereka dorong karena dianggap dekat dengan ulama. Selain Sandi, Anies Baswedan juga mendapatkan dukungan dari kelompok islamis hanya karena dia dianggap berpihak kepada komunitas Islam.
ADVERTISEMENT
Dari sini, kita bisa tarik sebuah kesimpulan, kelompok islamis populis tidak hanya dimobilisasi oleh elite-elite politik, akan tetapi juga memobilisasi diri mereka sendiri untuk tampil dengan mendukung sosok yang mereka anggap kelak bisa mewakili kepentingan mereka. Ini menjadi alasan yang cukup kuat mengapa populisme islam akan popular dalam kontestasi pemilu yang akan datang.
Ormas Islam dan Kekuasaan
Faktor penting lainnya yang menjadi alasan mengapa gerakan islamis populis masih akan mewarnai kontestasi politik yang akan datang ialah makin mengecilnya pengaruh organisasi-organisasi Islam moderat, khususnya di kalangan kelompok muslim kelas menenengah perkotaan. Beberapa Minggu yang lalu, Hamzah Fansuri (2022) dalam artikelnya di The Conversation menyebutkan bahwa dua organisasi Islam terbesar di Indonesia, NU dan Muhammadiyah, sebagai organisasi yang membawa nilai-nilai moderat, makin ditinggalkan khususnya oleh muslim kelas menengah perkotaan. Dua hal yang menjadi indikasi mengapa dua organisasi besar ini makin ‘diabaikan’. Pertama, dua organisasi tersebut dianggap kurang tanggap dalam mengatasi persoalan sehari-hari yang dihadapi oleh muslim perkotaan.
ADVERTISEMENT
Persoalan-persoalan tersebut antara lain pendidikan dan kesehatan yang layak. Baik NU atau Muhammadiyah terlalu fokus pada isu-isu politis seperti Islam dan demokrasi, toleransi, dan atau moderasi beragama. Kegiatan-kegiatan volunteer atau filantropi untuk membantu meringankan beban masyarakat muslim baik dalam hal pendidikan, atau pun kesehatan justru dimotori oleh organisasi-organisasi yang tidak secara langsung terafiliasi dengan NU atau Muhammadiyah.
Alasan kedua ialah karena baik NU atau Muhammadiyah terlalu dekat dengan kekuasaan. Tidak bisa dimungkiri bahwa pemerintahan Jokowi membangun kedekatan dengan dua organisasi Islam terbesar di atas. Beberapa orang penting dalam kabinetnya berlatarbelakang NU dan atau Muhammadiyah, termasuk wakil presiden, menteri agama, dan lain-lain. Bahkan beberapa tokoh dari dua organisasi besar tersebut menempati posisi strategis dalam beberapa BUMN. Misalnya, Said Aqil Siraj, mantan ketua PBNU, yang kini menepati posisi komisaris di PT KAI.
ADVERTISEMENT
Kedekatan ini membuat sebagian masyarakat muslim perkotaan mulai mengambil jarak dengan NU dan Muhammadiyah. Terlebih lagi kelompok yang terlibat dalam aksi-aksi ‘bela Islam’ yang residunya masih bisa kita rasakan hingga hari ini. Mereka cenderung mengikuti komunitas-komunitas Islam lain yang dipelopori oleh ulama-ulama yang tidak terafiliasi dengan NU atau Muhammadiyah. Sebut saja, misalnya, kelompok-kelompok yang dipimpin oleh Felix Siaw, Hanan Attaki, atau juga Hasan Haikal yang kita sangat mafhum bagaimana arah pilihan politik mereka. Tentu saja, ini akan menjadi faktor penunjang yang menguatkan bangkitnya kembali politik identitas Islam pada kontestasi-kontestasi politik berikutnya.
Kondisi-kondisi yang saya paparkan di atas menjadi alasan mengapa populisme Islam masih akan terus mewarnai kontestasi politik kita pada masa yang akan datang. Lalu bagaimana seharusnya ini diatasi? Tentu saja ini pertanyaan yang tidak mudah dijawab. Akan tetapi, saya sepakat dengan gagasan dari Mietzner (2018). Dua hal yang paling mungkin dilakukan oleh pemerintahan hari ini. Pertama, gerakan-gerakan populisme Islam harus diatasi dengan cara yang paling demokratis. Pemerintah harus adil dalam menggunakan sarana demokrasi. Jika seorang ulama dipenjara karena kasus hukum tertentu, maka pemerintah harus membuktikan bahwa golongan lain juga akan mendapatkan hukuman yang sama. Kedua, pemerintah harus berupaya keras mengatasi isu-isu yang menjadi narasi utama para simpatisan gerakan islamis populis, yang adalah soal kesejahteraan masyarakat. Barangkali, jika pemerintahan Jokowi mampu dengan cepat mengatasi berbagai krisis yang diakibatkan oleh pandemi ini, maka kepercayaan masyarakat bisa kembali berpihak pada pemerintah alih-alih kepada aliansi elite politik dan tokoh islamis populis yang membawa penyakit pada tubuh demokrasi kita.
ADVERTISEMENT