Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.93.2
Konten dari Pengguna
Ketika Murid Menghukum Guru
26 November 2022 16:59 WIB
Tulisan dari Gigih Imanadi Darma tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
"Ich bin nicht eint Gott, ich mache fehler"
Kalimat pendek dalam bahasa Jerman itu kira-kira artinya, "Hanya Tuhan yang maha sempurna. Manusia selalu bikin kesalahan."
ADVERTISEMENT
Dan itu sudah cukup jadi pegangan Juergen Klinsmann saat Jerman kalah menggenaskan (1-4) di babak semifinal dari Italia di Piala Dunia 2006.
Kala itu Italia memang sedang moncer, untuk menyegarkan ingatan biar saya sebut beberapa nama, ada Gianluigi Buffon, Alesandro Nesta, Andrea Pirlo, Del Piero, Luca Toni, Gattuso, Filippo Inzaghi, dan lainnya.
Namun Jerman juga tidak terdiri dari sederet pesepakbola kacangan. Jens Lehhman, Michael Ballack, Sebastian Schweinsteiger, Lukas Podolski, dan lainnya.
Dengan komposisi pemain yang rekatif berimbang, kalah dengan skor yang mencolok sudah pasti waktu itu banyak yang terkejut sekaligus iba. Marwah Jerman sebagai tuan rumah runtuh ---- Sesuatu yang mereka lakukan pada Brasil di Piala Dunia 2014.
Ironi Jerman vs Jepang
ADVERTISEMENT
Berpuluh-puluh tahun kemudian, justru tidak mengejutkan melihat Jepang mengalahkan Jerman. Akan terdengar ganjil kalau kemenangan comeback itu terjadi pada 2004 atau 2006. Tahun ketika Jepang masih belum menemukan formula untuk mengatasi kedigdayaan sepak bola Eropa.
Sekarang 2022. Jepang sudah bukan anak bawang di sepak bola. Dan empat bintang yang ada di logo Jerman hanya masa lalu.
Jepang tidak lagi diolok-olok sebagai kesebelasan yang terdiri dari penonton dan tiba-tiba ditawari bertanding melawan raksasa sepak bola.
"Jepang mengalahkan kami dengan permainan yang lebih efisien." Kata Hansi Flick usai laga pembuka grup E itu bubar.
Komentar yang sangat jujur, ada ironi didalamnya. Dari situ juga kita bisa merumuskan bahwa unggul secara statistik tak ubahya lantai mengkilap yang licin. Bagus tapi berbahaya.
ADVERTISEMENT
Jerman memang menghasilkan 26 sepakan dengan 9 di antaranya mengarah ke gawang, tapi mereka bermasalah di finishing dan final pass, sampai akhirnya terpleset lewat 4 sepakan on target dengan 2 di antaranya lolos dari tangkapan Manuel Neuer.
Begini, titik balik Jepang terjadi pada 45 menit kedua. Kita perlu memberikan kredit khusus untuk kejelian Hajime Moriyasu, ia merubah taktik yang semula 4-2-3-1 menjadi 3-4-3 dengan memasukkan pemain-pemain dengan gaya Eropa, Takehiro Tomiyasu, Takumi Minamino, Kaoru Mitoma, Ritsu Doan, dan Takuma Asano.
Lini tengah Jepang terasa lebih bernyawa dan sisi sayap makin Hidup. Serangan-serangan 'Mercedes Benz' dengan tangkas dihadang oleh 'Mitsubishi', dengan kata lain para pemain Jerman kerap kehilangan bola dan pemain Jepang tak ragu melakukan tekel dan intersep lalu bersegera mengirim bola kedepan dengan cepat dan tingkat akurasi yang menggambarkan seorang Samurai.
ADVERTISEMENT
Itulah yang dilakukan oleh Ritsu Doan (75') dan Takuma Asano (83'), dua gol supersub itu lebih satire dari satire yang pada gilirannya membuat Jerman kembali tutup mulut.
Dua nama itu sesungguhnya tak begitu asing di telinga dan mata publik sepakbola Jerman. Ritsu Doan dan Takuma Asano adalah dua pemain yang meniti karier di Bundesliga, kompetisi kasta tertinggi sepakbola Jerman itu adalah penghidupan bagi pemain SC Freiburg dan VFL Bochum.
Fakta lainnya, 8 dari 26 pemain Jepang di Piala Dunia 2022 berasal dari klub-klub Bundesliga, 7 di antaranya berkontribusi langsung saat menjungkalkan Jerman.
Selain dua pencetak gol ada kapten tim yang memompa motivasi rekan-rekannya Maya Yoshida (Schalke 04), lalu pemutus arus Wataru Endo (VfB Stuttgart), motor serangan Daichi Kamada (Eintracht Frankfurt) kemudian si pemberi asisst Ko Itakura (Borrusia Monchengladbach), dan yang mematikan pergerakan Jamal Musiala ada Ao Tanaka (Fortuna Dusseldorf). Hanya Hiroki Ito (VfB Stuttgart) yang tidak dimainkan.
ADVERTISEMENT
Ketika Murid Menghukum Guru
Jerman memang telah menjadi rumah nyaman bagi para talenta sepak bola Asia tak terkecuali Jepang, bukan cuma ada di beranda para pemain dari negeri matahari terbit itu selama bertahun-tahun menempati ruang paling nyaman di sepak bola Jerman.
Ada begitu banyak pesepakpola Jepang yang meninggalkan kesan harmonis di Jerman. Sebut saja Shinji Kagawa (Borrusia Dortmund), Makoto Hasabe ( Eintracht Frankfurt), Yoshito Okubo (Wolfsburg), Shinju Okizaki (VfB Stuttgart).
Mari kita ajukan beberapa pertanyaan, sejak kapan hubungan sepak bola Jerman dan Jepang terjalin? Sejak kapan matahari terbit di Bundesliga? Apakah itu bermula dari dongeng?
Pemain pertama yang membuka jalan tentu saja Yasuhiko Okudera, legenda sepakbola Jepang yang dibawa oleh Dettmar Cramer, pelatih Timnas Jepang berkebangsaan Jerman medio (1960-an).
ADVERTISEMENT
Setelah membintangi Furukawa Electric pada 1970, Okudera meninggalkan segala kenyamanannya di Jepang, di mana sejak 1977 ia merintis karier di FC Koln, lalu ke Hertha BSC, dan Werder Bremen.
Semasa di Jerman Okudera menjalin relasi yang luas, ia tak ubahnya seperti duta besar untuk Jepang. Alhasil karibnya semasa di FC Koln, Thomas Kroth, selepas gantung sepatu langsung menjadi agen pemain yang memperkenalkan dan membuka jalan berikutnya bagi penerus Okudera, antara lain bagi pemain-pemain yang disebutkan di atas.
Mereka tidak digaet semata untuk memperluas market penonton Asia, para pemain di atas, seperti juga Ritsu Doan dan Takumi Asano diberi kepercayaan lebih dan bahkan menjadi primadona klub, itu memungkinkan karena kualitas mereka memang jempolan, etos kerja dan karakter pesepakbola Jepang cocok dengan nuansa sepak bola di Jerman.
ADVERTISEMENT
Kekalahan Jerman dari Jepang beberapa hari yang lewat itu adalah sebuah ironi.
Tabik!