Mengutuk dan Merayakan Carok

Gigih Imanadi Darma
Nostradamus. Homo ludens.
Konten dari Pengguna
26 Januari 2024 12:51 WIB
·
waktu baca 6 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Gigih Imanadi Darma tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Carok berdarah di Perkebunan Kalitlepak, Desa Barurejo, Kecamatan Siliragung, Banyuwangi, satu warga tewas. Foto: Dok. Istimewa
zoom-in-whitePerbesar
Carok berdarah di Perkebunan Kalitlepak, Desa Barurejo, Kecamatan Siliragung, Banyuwangi, satu warga tewas. Foto: Dok. Istimewa
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Di setiap rumah orang Madura, ada celurit yang disiapkan untuk sewaktu-waktu ditebaskan. Bukan pada rumput untuk pakan hewan ternak atau berguna untuk urusan domestik melainkan sebagai salam pemanggil malaikat maut untuk sesama insan.
ADVERTISEMENT
Dan entah sudah berapa banyak orang Madura yang menghadap Tuhan. Ribuan mungkin jutaan orang. Mereka wafat tanpa dibicarakan oleh orang-orang yang berada di luar Pulau Garam itu dan statistik tak mencatatnya.
Namun beda halnya dengan 4 orang Madura Bangkalan yang wafat lewat jalur perkelahian jalanan.
Almarhum Matterdam, Mattanjar, Najehri, dan Hafid masuk dalam daftar ingatan pendek nasional, meski hanya dipajang nama, sebab media merekam dan menyajikan itu sebagai menu cuci mulut belaka di tengah keseruan debat capres-cawapres.
Saya agak terlambat mengetahui peristiwa berdarah 15 Januari lalu itu yang berujung pemenjaraan bagi kakak beradik yakni Hasan Busri dan Mochamad Wardi.
Kemarin, kawan dan sekaligus bos saya, Faksi Pahlevi, seorang Madura Sumenep, menceritakan duel 2 vs 10 orang dalam peristiwa yang disebutnya carok itu dengan sangat bersemangat dan sedikit provokatif dan bahkan yang saya tangkap ada nada kebanggaan purba.
ADVERTISEMENT
Mata Faksi merah menyala, entah karena semalam suntuk berdzikir dengan tasbih di tangan atau sehabis menyantap bebek atau memang terbawa suasana cerita soal carok yang emosional.
Pengetahuan saya soal carok amatlah tipis, dan saya beruntung mendapat cerita-cerita dari Faksi yang membantu saya untuk masuk ke dalam corak berpikir orang Madura dan bagaimana mereka memandang carok.
Dari obrolan kami saya sekurang-kurangnya meringkas dua pandangan soal carok. Ada yang mengutuk tetapi lebih banyak yang merayakan carok.

Mengutuk Kekonyolan Carok

Dari yang receh seperti pertanyaan Gibran ke Mahfud MD, sampai yang berat dan prinsipil seperti saat Anies menyindir Prabowo soal etik, api pemantik dari terjadinya carok, konflik berujung kematian itu selalu menyangkut pride alias harga diri, ‘Tade’ ajlina’.
ADVERTISEMENT
Rujukan utama ketika membicarakan carok tentu saja bukan Faksi Pahlevi tapi Latief Wiyata, di mana dalam bukunya Carok: Konflik Kekerasan dan Harga Diri Orang Madura terbitan LKIS, Latief menungkap motif yang memicu meletusnya carok; perempuan, kesalahpahaman, utang piutang, dan tanah warisan. Dalam beberapa kasus juga ada sentimen agama. Dan yang terjadi dalam konteks ini adalah karena kesalahpahaman.
Tapi apa pun itu motifnya, banyak yang berposisi tidak sepakat dengan carok, mengutuk gelut kesukuan yang merampas nyawa itu. Zawani Imron, penyair berjuluk Celurit Emas, adalah satu di antara figur yang vokal menyerukan betapa tidak relevannya lagi carok. Ya, Zawani Imron bagian dari suara yang mengutuk carok, mengapa?
Pertama, carok dipandang sebagai sesuatu yang konyol. Mereka yang terlibat dalam carok, baik yang ditanam dalam tanah atau yang hidup dan malah menyunggingkan senyum sama-sama konyolnya, sebab gampang tersulut emosi dan abai pada pertimbangan resolusi konflik.
ADVERTISEMENT
Kedua, bukankah Madura hari ini bukan lagi tanah koboi seperti di film Wild Wild Est. Madura bukan lagi kawasan terisolasi dan gersang. Seiring dengan bergantinya generasi dan akses pendidikan yang lebih ideal di mana melahirkan alternatif pekerjaan (banyak kasus carok terjadi karena perebutan lahan pertanian) dan itu juga yang membuat kerangka berpikir dalam menyelesaikan masalah idealnya jadi lebih jernih. Dan memang frekuensi carok tak sebrutal seperti tahun 90-an.
Tapi tetap saja, kenyataan tak penuh, tak seindah puisi-puisi Zawani Imron, seperti yang terjadi dalam konteks kasus carok ini, yang menunjukkan latar belakang pendidikan dan sosial dan budaya yang kelewat awet memudahkan orang melakukan carok, yang oleh Sigmund Freud orang melakukan carok karena berada dalam psikologi amuk eksternal yakni instink thanatos atau lebih tepatnya dalam teori dari Isabel Briggs Myers tentang hostile aggression.
ADVERTISEMENT
Ketiga, bagi Zawani Imron sebenarnya tak ada yang diuntungkan dalam carok. Karenanya harus disudahi. Ketimbang terjebak dalam pemaknaan yang sempit tentang harga diri, pria yang besar di ujung pulau Madura itu mendorong pentingnya budi pekerti luhur seperti sikap saling memaafkan dan menebar kasih sayang.
Harusnya inilah falsafah yang dipegang, bukan ‘pote tulang, pote mata’ yang dimaknai secara ekstrem; lebih baik mati ketimbang hilang harga diri.

Merayakan Kebanggaan Palsu Carok

Lepas dari menjalani hukuman pidana, seorang pelaku carok tetap berpotensi mengulangi lagi perbuatanya. Artinya mendekam di jeruji besi tidak begitu menimbulkan efek jera. Lalu apa yang membuat carok menjadi preseden?
Pertama, mendapat persetujuan dan pengakuan sosial. Bahkan tak jarang ketika seseorang memancangkan niat untuk carok, pihak keluarga ikut dilibatkan dalam pengambilan keputusan.
ADVERTISEMENT
Satu-satunya cara menebus malo itu adalah dengan menebaskan celurit. Dan siapa pun yang selamat dari carok, ia akan diakui secara sosial sebagai Blater alias jagoan, di level tertentu prestise itu bisa mengantarkan menuju kedudukan formal dalam birokrasi seperti kepala desa.
Kedua, upaya untuk menebalkan identitas kesukuan, bagian dari ekspresi identitas etnis. Keyakinan untuk melakukan carok juga timbul dari tekanan sosial yang memandang jika ada orang yang tidak berani melakukan carok maka itu adalah aib ganda. Akan dikucilkan secara sosial. Serta seolah dipertanyakan kelaki-lakiannya.
Seketika dilema mengepung dan situasi gejolak batin itu membuat orang tak jernih dalam mengambil keputusan, alhasil mereka yang merasa tak mau tercabut Ke-Madura-anya mau tidak mau mencabut celuritnya. Pembenaran keliru secara kultural ini masih terus dirayakan.
ADVERTISEMENT
Ketiga, carok juga dirayakan dengan cara merawat ingatan berdarah itu. Emosi manusia kadang terikat pada benda tertentu. Di Madura adalah biasa menyimpan celurit bekas carok, darah hasil tebasan dibiarkan mengering dan menghitam sebagai bukti kalau dalam keluarga mereka pernah ada yang terlibat dalam carok.
Bumbu-bumbu carok makin lengkap ketika cerita yang beredar dari para pelaku bahwa selepas melakukan aksi brutal itu mereka seperti mencapai ekstase, mendatangkan kelegaan dan kepuasaan batin tertentu. Padahal perasaan semacam itu manipulatif. Palsu belaka.

Penutup: Upaya Memutus Carok

Lantas bagaimana cara agar carok benar-benar ditinggalkan oleh people Madura? Apa upaya untuk memutus rantai dan menghilangkan potensi people Madura dalam melakukan carok? Pertama, sangat penting merumuskan strategi kebudayaan yang massif dan terukur sehingga ini bisa meminimalisasi terjadinya carok.
ADVERTISEMENT
Pendekatan melalui pendidikan harus terus digenjot, upaya-upaya merapikan mindset harus konsisten dilakukan. Pelibatan tokoh dan figur seperti para ulama menjadi sangat relevan. Mereka memainkan peranan spiritual dan adat yang krusial mengingat people Madura memiliki dna penghormatan yang baik terhadap para ulama.
Kedua, mekanisme hukum adat dan hukum positif harus diselaraskan. Karena itu perlu upaya untuk menjembatani pemahaman antara otoritas adat dan negara.
Tujuannya tak lain untuk meredam, mengontrol sumber kekerasaan. Dua otoritas ini harus memberi kepastian tentang rasa keadilan sehingga akan terbentuk penerimaan dari people Madura, yang harapanya dengan itu tidak menemukan lagi alasan untuk meneruskan carok.
Tabik!