Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.93.2
Konten dari Pengguna
Narsisme Iwan Bule: Cerminan Politisi Kita
16 Agustus 2022 11:16 WIB
Tulisan dari Gigih Imanadi Darma tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Maguwoharjo malam hari itu (12/8/2022), di padati hampir 23 ribu penonton. Saya dan seorang kawan juga seorang kawan lainnya yang baru kami kenal duduk di tribun timur.
ADVERTISEMENT
Di hadapan kami ada ribuan orang-orang yang juga duduk berderet memanjang ke atas, antara lain ada Iwan Bule, Ketum PSSI, yang bersanding dengan Menpora, Zainuddin Amali. Duet maut itu tiada satu halangan apapun sangat bersemangat.
Di bawah tenda biru dan bangku VIP, sungguh romantis melihat dua pria paruh baya bertatapan sambil sekali dua kali berbisik. Di tribun barat itu juga ada orang tua dan keluarga dari para penggawa Timnas Indonesia U-16.
Juara Piala AFF dan Narsisme Iwan Bule
Malam tanpa bintang diselingi rintik-rintik hujan itu berkahir dengan indah. Sesuatu yang memang diharapakan. Tim besutan Bima Sakti menang dengan skor 1-0. Lewat gol tunggal ciamik Kafiatur Rizky di penghujung babak pertama.
ADVERTISEMENT
Gol yang membuat riuh. Seisi stadion bergemuruh. Sebuah histeria massal. Gol tersebut menghantarkan Indonesia untuk kedua kalinya menjuarai turnamen kelompok umur paling bergengsi di Asia Tenggara itu, setelah sebelumnya edisi 2018, juga saat berstatus tuan rumah.
Itu berarti trofi pertama selama masa Iwan Bule berada di pucuk tubuh PSSI. Wajar belaka kalau senyumnya tak henti-hentinya mengembang. Wajahnya terang bak separo bulan. Andaikata lampu stadion tiba-tiba padam, saya cukup yakin kalau cahaya dari Iwan Bule mampu jadi sinar pengganti.
Sampai dengan momen itu saya tidak keberatan. Sangat manusiawi kalau Iwan Bule senyam-senyum tanpa sedikitpun ketiban malu, hal yang juga kami lakukan bahkan sambil berteriak-teriak parau dan berjingkrak-jingkrak bagai menang lotre.
ADVERTISEMENT
Tapi kami menjadi jengkel saat sesi penyerahan trofi juara. Iwan Bule dan Zainudin Amali --- demi kesehatan blio, ini yang terkahir kali saya menyebut nama Pak Menpora --- ikut-ikutan mengangkat piala. Seolah-olah piala itu baru sah ketika sudah dipegangnya.
Barangkali sebutan bule di belakang nama panggilannya adalah karena kepercayaan diri yang tinggi. Merasa unggul dan mendominasi. Melihat dunia dari sudut pandangnya sendiri. Punya bakat besar menjadi megalomania. Begitulah tabiat buruk para bule kolonial Belanda yang tak menjunjung adat istiadat nusantara.
Bagaimana tidak, alis mata saya terangkat tinggi-tinggi. Melotot keheranan. Melihat panggung yang seharusnya untuk para penggawa Timnas U-16 malah ditumpangi oleh Iwan Bule.
Rasanya cukup sering saya melihat penyerahan trofi juara. Dari level klub sampai negara. Dari Liga Champions sampai Piala Dunia.
ADVERTISEMENT
Dan semua berjalan sama belaka. Sehabis ketua federasi menyerahkan piala maka cepat-cepat ia turun. Lalu mempersilahkan perayaan untuk segenap tim yang telah berjuang secara fisik dan psikologis. Kini saya jadi tahu, tradisi hanya tinggal tradisi. Sebab Iwan Bule adalah pengecualian.
Narisisme Iwan Bule: Cerminan Politisi Kita
Sudah 4 hari sejak momen itu, saya tidak berselera makan ikan, lalapan, buah-buahan --- yang warna-warni dan kaya manfaat untuk tubuh --- pokoknya yang berakhiran 'an', sebisa mungkin saya hindari, cemas kalau-kalau teringat Iwan Bule lalu tersedak.
Agak geli sebetulnya mengadegankan ulang garis senyum yang kuat dan pegangan tangan yang tampak mantap, ketika Purnawirawan Polri Bintang Tiga itu mengangkat piala, seolah-olah itulah 'pekerjaan tangan' yang paling dinantikannya sejak menjabat Ketum PSSI dari 2019 lalu.
ADVERTISEMENT
Perilaku narsistik Iwan Bule itu tak ubahnya cerminan para politisi kita. Saya lantas teringat pendapat Aristoteles. Katanya, dalam sistem politik demokrasi, ada dua penyakit yang selalu sejalan seiring. Pertama demagog. Kedua narsisme.
Kedua hal itu dapat kita temui ketika melihat ada politisi yang pandai beretorika namun minus kerja-kerja konkrit. Lain yang diucap hari ini, lain pula yang ditunjukkan kemudian hari.
Dalam kesusahan hidup rakyat, mereka mengumbar janji manis, sambil menenteng uang sekarung untuk dibagikan saat pemilu, dan setelah itu menggandol berkarung-karung dan membagikan sekali lagi, namun sedikit saja dari apa yang semestinya menjadi hak rakyat.
Rakyat dikibuli. Itulah bentuk narsisme dalam politik. Yang oleh para politisi perasaan kejiwaan itu dijalani dengan subtil, samar, dan halus. Tanpa merasa berdosa sama sekali.
ADVERTISEMENT
Politisi yang narsis perlu kita curigai sebagai sosok yang lebih bahaya daripada godaan sembilan setan digabung jadi satu.
Mereka biasanya gemar akan hal-hal simbolik. Muncul ketika acara puncak. Jago mengklaim. Ambil contoh ketika ruang publik tercemar oleh baliho-baliho bermacam rupa ucapan selamat.
Para politisi narsis itu gemar bukan main memejeng foto dengan ukuran yang tidak masuk akal dan parahnya lagi berada ruang yang tidak tepat. Dan hal-hal semacam itu juga mereka lakukan di ruang maya.
Masih ingat ketika Iwan Bule dan para politisi norak sok peduli sepak bola itu mengunggah poster ucapan selamat untuk Timnas Indonesia senior yang melenggang ke final Piala AFF 2020?
Dari semua yang terlihat itu, saya punya kalimat pendek untuk meringkas situasi di atas; Perbanyak konten meskipun miskin prestasi.
ADVERTISEMENT
Pada titik itulah saya bingung bagaimana cara menarik garis pemisah antara Ketum PSSI dengan seorang selebgram. Seorang bintang iklan. Seorang politisi.
Sebuah Pertanyaan dan Catatan Penutup
Sebentar lagi usia Indonesia mencapai angka 77 sejak diproklamasikan. Dan betapa kurang kerjaannya saya menulis olok-olokan untuk Iwan Bule. Harusnya saya mengisi hari-hari peringatan kemerdekaan dengan yang lebih konkrit.
Tapi lewat ini juga saya ingin menawarkan sikap pesimis yang barangkali mau Anda ambil dan ikuti.
Begini, saya tidak yakin kita sebagai bangsa atau orang per orang bisa merdeka dari narsisme. Dengan narsis, barangkali emosi kolektif kita sebagai bangsa yang terjajah tersalurkan. Dan itu sudah diwakili oleh orang-orang seperti Iwan Bule.
Kendati demikian, ada yang menggelayut di kepala saya. Sebuah pertanyaan dan yang menjurus ke nilai keyakinan. Jangan-jangan narisisme itu diperlukan dalam batas-batas yang wajar?
ADVERTISEMENT
Siapapun yang mengerti batas-batas itu, dengan penuh kerendahan hati, saya yang sudra pengetahuan ini meminta dengan sangat, tolong sampaikan ke Iwan Bule.
Mau dengan terang dan licin seperti kepala plontos Markus Horison atau bisik-bisik penuh maksud ala politisi, dengan cara apapun silahkan saja. Asalkan Iwan Bule lekas sadar dan membatasi sikap narsisnya.
Dengan apa kita bisa mengukurnya? Cukuplah ia tidak nimbrung pada hal-hal yang semestinya bukan menjadi tempatnya. Saya menunggu hari baik itu tiba, tentu sambil sesekali memantau akun sosial media Iwan Bule.
Tabik!