Ojigi untuk Samurai Biru

Gigih Imanadi Darma
Nostradamus. Homo ludens.
Konten dari Pengguna
7 Desember 2022 7:08 WIB
·
waktu baca 5 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Gigih Imanadi Darma tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Timnas Jepang saat kalah melawan Timnas Kroasia dalam adu penalti di babak 16 besar Piala Dunia 2022. Foto: Elsa/Getty Images
zoom-in-whitePerbesar
Timnas Jepang saat kalah melawan Timnas Kroasia dalam adu penalti di babak 16 besar Piala Dunia 2022. Foto: Elsa/Getty Images
ADVERTISEMENT
Kecuali oleh warga mereka sendiri, para pencinta anime, dan para pencandu video dewasa, Jepang tak begitu dijagokan untuk bisa melaju jauh di Piala Dunia 2022. Setidak-tidaknya hingga fase gugur.
ADVERTISEMENT
Tapi sepak bola dan matematika tak jarang saling memunggungi. Terbukti, Jepang bermain tak terduga dari apa yang diprediksikan orang-orang. Spanyol, Jerman, dan Kosta Rika, pada akhirnya menjadi deretan tim yang membuntuti Samurai Biru di puncak klasemen Grup E, sekaligus membuktikan bola itu bulat. Sebagaimana bulat warna merah dalam logo bendera Jepang. Sebagaimana tekad mereka.
Misi Jepang berpindah ke Kroasia. Tidak mudah memang meraih kemenangan di tengah persaingan ketat, bertambah tidak mudah menghadapi tim dengan status runner up Piala Dunia 2018.
Namun dengan modal menang melawan dua mantan juara dunia di fase grup, ruas-ruas kemungkinan makin lebar, dan tak mengherankan bila ribuan orang berjejer menyunggingkan senyumnya. Alhasil Jepang dijagokan untuk menggebrak sekali lagi.
ADVERTISEMENT
Mula-mula Jepang unggul lewat sepakan Laksamana Maeda, bukan, maksud saya Daezen Maeda (43'). Gol itu membuat sekitar 20 ribu suporter Jepang yang hadir langsung di Stadion Al-Janoub melompat dari tempat duduk mereka dan jutaan lainnya bergembira di rumah, di Shibuya, atau di mana pun berada.
Orang Jepang mungkin lupa bahwa dunia masih berlanjut. Dan episode sisanya berjalan tak lagi sama. Sundulan Ivan Perisic (55') menyamakan kedudukan. Berbalas serangan terjadi di sisa waktu. Hingga babak tambahan tak ada gol tercipta.
Nasib kedua kesebelasan ditentukan lewat titik putih. Jepang memaksa Kroasia adu penalti dan pada titik itu mereka dikalahkan oleh pengalaman. Dalam dua edisi terakhir Kroasia selalu memenangkan adu penalti.
Tidak ada yang menjelam Tsubasa Ozora. Tidak ada yang menjelma Taro Misaki. Tidak ada yang menjelma Kojiro Hyuga. Tidak ada yang menjelma Genzo Wakabayashi. Yang ada hanya bayangan pucat Takumi Minamino, Kaoru Mitoma, dan Maya Yoshida. Tiga pemain itu gagal menyarangkan bola. Sementara itu Shuichi Gonda belum terbiasa menahan penalti.
ADVERTISEMENT
Meski harus angkat koper dari Qatar, Jepang telah membuat banyak kemajuan dan ini merupakan babak baru dalam sejarah sepak bola, baik untuk negeri mereka sendiri maupun negara-negara Asia yang coba mensejajari tradisi sepak bola Eropa.

Ojigi untuk Samurai Biru

Saat peluit penuh waktu ditiupkan dan ketika para Samurai Biru bersedih, dengan sikap kesatria, pelatih Timnas Jepang, Hajime Moriyasu memimpin anak asuhnya menghadap ribuan suporter. Dalam bahasa tubuh yang diam, semua penggawa Timnas Jepang menaruh tangan mereka di samping dekat bokong, lalu membungkukan badan. Sebuah Ojigi.
Dalam tradisi penghormatan di Jepang, ada tiga jenis Ojigi: Eshaku, Keirei, dan Saikerei. Yang membedakan adalah posisi, konteks waktu, dan lawan bicara.
Dan apa yang dilakukan oleh Timnas Jepang dengan posisi 30 derajat adalah Keirei. Sebuah penghormatan untuk mereka yang biasanya lebih tinggi status sosialnya. Bahasa maaf dan terima kasih.
ADVERTISEMENT
Maaf untuk impian yang belum tercapai. Terima kasih untuk kesetiaan mempercayai dan menjadi saksi perjuangan mewujudkan impian-impian itu.

Impian Sepak Bola Jepang

Sekitar dua pekan lalu, Timnas Jepang bertolak dari Tokyo menggunakan pesawat jenis Airbus bergradasi biru langit dan laut. Saat pesawat yang panjangnya 73 meter itu melintasi udara, dari ketinggian pesawat itu terlihat seperti garis kecil yang perlahan menghilang ditelan awan-awan.
Saat itulah rakyat Jepang menyadari bahwa yang menuju ke Qatar bukanlah 26 pesepakbola plus barisan pelatih saja, namun sesungguhnya yang terbang adalah impian besar seluruh negeri. Impian yang diwakilkan oleh dan menyublim dalam kesebelasan sepak bola.
Awal tahun 1990-an Jepang mulai merancang impian mereka di sepak bola, proyek besar-besaran itu disebut sebagai 'Visi 100 tahun', di mana Jepang menargetkan juara pada Piala Dunia 2092.
ADVERTISEMENT
Segala yang dibutuhkan dikerjakan dengan sungguh-sungguh. Anda bisa membaca jurnal "Grassroots Football Development in Japan," yang ditulis oleh Masahiro Sugiyama dan Selina Khoo, dua peneliti itu menjelaskan bahwa gerbang pembuka impian itu adalah saat Jepang terpilih menjadi tuan rumah Olimpiade 1964.
Jauh-jauh hari mereka menyiapkan tim, mereka datang ke Jerman dan belajar banyak tentang sepak bola. 3 tahun sebelum penyelenggaraan Olimpiade ditunjuklah seorang Jerman bernama Dettmar Cramer --- pelatih jenius yang membawa Bayern Muenchen berjaya pada 1975-1977.
Sentuhan Cramer melampaui ekspektasi, Jepang mencapai babak perempat final dan termasuk yang ikonik bagi publik Jepang adalah saat mengalahkan Argentina.
Cramer juga menghasilkan saran-saran berharga, ia mendorong Jepang untuk membangun pondasi yang kuat mengenai sistem dan infrastruktur sepak bola, mulai dari membangun sistem pendidikan pelatih, membentuk liga sepak bola dengan standard profesional, pembangunan stadion, dan tetek bengek lainnya.
ADVERTISEMENT
Hasilnya, tanpa harus menyebutkan A-Z, kita sudah bisa melihat bagaimana jerih payah impian itu bekerja.
Coba lihat beberapa kiprah Jepang di atas lapangan hijau: 4 kali juara Piala Asia. Selalu main di Piala Dunia sejak 1998, dan sejauh ini prestasi terbaik mereka mencapai babak 16 besar. Dan kita baru saja menyaksikan itu di Piala Dunia 2022 ini.
Jadi, pada tahun-tahun mendatang tidak mengejutkan kalau Jepang bisa mencatatkan sesuatu yang lebih besar.
Jepang bukan negara pesulap, mereka membangun segala sesuatu dengan bertahap. Terkonsep dengan matang dan berkelanjutan. Tak terputus. Dengan cara itu Jepang yakin dengan impian mereka. Dan itu menjadi awal dari segalanya.
Di bawah langit bernama mimpi, sesuatu yang tampak mustahil pada suatu masa akan menemui kebenarannya. Dengan catatan impian itu bukan cuma diucapkan tetapi dijalani dengan kesungguhan.
ADVERTISEMENT
Impian itu harus bergerak dan menggerakkan, tidak diam mematung di ruang yang hampa. Dengan impian hidup jadi penuh rasa dan panjang, tidak hambar dan sebentar.
Jepang sudah memberikan contoh dengan baik. Saya berharap pada suatu kelak yang saya tuliskan bukan lagi Jepang, tetapi negeri saya sendiri, negeri yang kompetisi sepak bolanya baru saja bergulir kembali pasca darah tumpah, pasca ratusan orang merenggang nyawa, yang semoga jadi martir.
Tabik!