Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.89.0
Konten dari Pengguna
Jazz dan Ekspresi Kebebasan di Tengah Rasisme yang Menyakitkan
10 Juni 2020 7:46 WIB
Diperbarui 6 Agustus 2020 13:17 WIB
Tulisan dari Gilang Mahadika tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Seringkali mendengar bahwa orang yang menyukai musik Jazz itu berarti orang yang memiliki taste musik yang tinggi atau masuk golongan elite. Mereka juga tidak jarang merasa bahwa apabila telah mendengar lagu Raisa, sudah dianggap sebagai musik Jazz. Barangkali pada saat sedang memutar lagu-lagu Tompi, kita telah merasa mendengar lagu Jazz. Bahkan, akhir-akhir ini the emerging artist muda seperti Ardhito Pramono, seorang laki-laki yang memainkan musik bergenre Jazz, dengan tipikal chord-chord ‘miring’ dan tampilannya yang masih segar bagi anak muda sekarang. Citra dari artis ini yang mewakili khalayak umum bahwa Jazz adalah identitas musik kekinian, generasi muda, modern, dan sebagainya. Lalu, apa sebenarnya musik Jazz itu? bagaimana musik Jazz dapat dinikmati banyak orang? Bagaimana jika musik Jazz rupanya lahir dari sejarah kelam perbudakan warga Afrika-Amerika (ras kulit hitam) di Amerika Serikat?
ADVERTISEMENT
Sebuah buku menarik ditulis oleh Gerald Horne, sejarawan Amerika Serikat yang berfokus pada studi sejarah masyarakat Afrika-Amerika, berjudul Jazz and Justice: Racism and the Political Economy of the Music (2019), menyajikan narasi sejarah komprehensif kemunculan genre Jazz di Amerika Serikat. Musik yang kita kenal, Jazz, mulai muncul dan menggema pada akhir abad 20-an, terutama bertempat di New Orleans, tradisi musikal orang Afrika yang terbebas dari sistem perbudakan (sistem segregasi rasial). Dasar dari musik Jazz sebenarnya berakar dari musik blues dan apabila ingin mengetahui salah satu contoh musik genre blues dapat mendengarnya dari karya seseorang yang dijuluki King of Blues, BB King yang masih dapat kita nikmati lagu-lagunya hingga sekarang. Blues memiliki ciri khas ekspresi lagu yang menunjukkan penderitaan, rasa sakit, dan harapan masyarakat kulit hitam yang lumat karena aturan-aturan segregasi rasial.
ADVERTISEMENT
Sejarah kemunculan segregasi rasial ini dapat kita telusuri jejaknya pada periode sebelum dan masa Perang Saudara (Civil War) yang sedang terjadi di Amerika Serikat. Pada saat itu, terdapat seorang aktor bernama Thomas Dartmouth Rice, lahir di New York, dikenal sebagai bapak penyair, mengembangkan karakter yang bernama Jim Crow di tahun 1830. Rice mengamati cara menari dengan gerakan cepat yang biasa dilakukan oleh ras kulit hitam, dan menciptakan lagu-lagu dan tarian-tarian rasial yang pada akhirnya menjadi pertunjukan dan hiburan utama bagi orang Amerika bagian utara dan selatan, yang mana sebuah pertunjukan ini biasa disebut “blackface minstrel shows” (pertunjukan penyair muka hitam). Biasanya dalam pertunjukan tersebut, orang kulit putih akan menghitamkan kulitnya dengan menggunakan semir sepatu, cat minyak, atau gabus yang dibakar dan mulai menggelapkan kulitnya di sekujur mulut dan beberapa bagian badannnya. Para penampil kulit putih tersebut akan memulai memainkan karakter yang terus-menerus mengangkat stereotip negatif mengenai komunitas Afrika-Amerika yang dianggap sebagai masyarakat yang malas, dungu, suka dengan takhayul, kriminal, dan lain sebagainya.
ADVERTISEMENT
Pada tahun 1877 hingga pertengahan abad 20-an, kita akan sering menemui istilah Jim Crow yang telah dipopulerkan oleh Rice sebelumnya, sebuah sistem kasta yang diterapkan di perbatasan selatan Amerika Serikat pada umumnya, sebuah rangkaian aturan-aturan anti ras kulit hitam. Jim Crow ini yang menempatkan status ras kulit hitam pada posisi nomor dua sebagai penduduk Amerika Serikat. Akar mulainya istilah Jim Crow muncul pada tahun 1865 di mana pemerintah mulai mengesahkan atau menguatkan amandemen ke-13 setelah terjadinya Perang Saudara di Amerika Serikat dan juga penumpasan perbudakan selama masa Perang Saudara. Namun, dengan pemberlakukan amandemen tersebut rupanya memunculkan adanya sentimen ras kulit putih dan menimbulkan pergolakan ekonomi-politik yang saat itu terjadi di Amerika Serikat.
ADVERTISEMENT
Segregasi rasial semakin kentara pada masa Jim Crow ini, hingga dapat terlihat di setiap ruang tunggu terminal bus, stasiun kereta api, ruang istirahat, dan ruang publik yang lain antara kulit putih dan kulit hitam dipisahkan dengan jelas. Bahkan seperti beberapa taman kota ada yang tidak memperbolehkan Afrika-Amerika untuk masuk ke sana. Tempat bioskop atau teater dan restoran pun disegregasi secara rasial. Istilah pada masa ini juga seringkali disebut Black Codes (kode hitam), di mana pemerintah negara maupun lokal mulai memperketat aturan mengenai orang-orang Afrika-Amerika sebagai mantan budak yang mulai dapat bekerja dan memperoleh kompensasi meskipun wujudnya tidak memadai. Tidak heran apabila Ku Klux Klan (KKK) sebuah gerakan pemuja kulit putih (white supremacists) muncul untuk membatasi hak-hak sipil kulit hitam pada masa itu. Namun, Gerald Horne juga tidak hanya menyinggung KKK sebagai gerakan sentimen ras kulit putih, melainkan kehadiran musik Jazz ini menjadi suatu cara yang menarik bagi Afrika-Amerika dalam memerangi sentimen ras dan pergolakan ekonomi-politik yang ganas hingga akhirnya musik ini mudah dikenal di sepanjang kelab-kelab malam pada masa itu.
ADVERTISEMENT
Musik Jazz melalui paparan segelintir sejarah singkat di sini menunjukkan tidak hanya sebuah aliran musik yang secara tiba-tiba muncul begitu saja, melainkan Jazz adalah representasi perjuangan ras kulit hitam dalam memerengai segregasi rasial yang terjadi di Amerka Serikat. Bahkan musik Jazz menjadi media bagi komunitas Afrika-Amerika untuk mengeluarkan aspirasi dan mengekspresikan diskriminasi yang menimpa mereka agar didengar oleh publik sebagai cara memeroleh hak-hak sipil mereka. Apabila kalian sangat familiar dengan musik Jazz, tentu akan mengerti istilah improvisasi, di mana para pemainnya dari pianis, drummer, gitaris, terompet, dan lainnya dipersilahkan untuk berimprovisasi atau melakukan solo dalam beberapa bait lagu. Hal ini menunjukkan bagaimana musik Jazz menjunjung tinggi kebebasan bersuara dan setiap orang dapat bebas berekspresi sesuai dengan instrumen yang mereka pegang. Begitu pula keresahan yang dirasakan ras kulit hitam pada saat masa segregasi rasial, bahwa mereka ingin diperlakukan sama bebasnya seperti yang dilakukan oleh kulit putih pada masa itu.
ADVERTISEMENT
Kita juga mengetahui dari sini bahwa diskriminasi terhadap suatu ras adalah diskriminasi struktural yang telah berlangsung lama dan melekat dalam sejarah Amerika Serikat. Meskipun hingga saat ini masih dapat kita rasakan adanya diskriminasi ras di Amerika Serikat atas kematian George Floyd, namun keadaan yang telah lama larut dalam sejarah yang kelam dijalani oleh Afrika-Amerika dapat menjadi refleksi bahwa masih ada tindakan diskriminasi yang terjadi di tengah kehidupan kita saat ini, dan kita sangat sulit untuk melepaskan kebiasaan rasisme yang terlanjur menjadi hal yang lumrah bagi kita. Barangkali kehadiran Jazz dapat menjadi aliran musik yang menyadarkan pentingnya kemanusiaan yang kita butuhkan saat ini.