Kepadatan Penduduk dan Krisis Ekologis: Berkaca dari Sistem Tanam Paksa Belanda

Gilang Mahadika
Anthropologist, and interested in Southeast Asian studies. #SameShitDifferentDay
Konten dari Pengguna
30 Agustus 2021 1:27 WIB
·
waktu baca 5 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Gilang Mahadika tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
taken from: https://commons.wikimedia.org/wiki/File:COLLECTIE_TROPENMUSEUM_Thee-kweekbedden_zonder_afdak_Java_TMnr_10011931.jpg
zoom-in-whitePerbesar
taken from: https://commons.wikimedia.org/wiki/File:COLLECTIE_TROPENMUSEUM_Thee-kweekbedden_zonder_afdak_Java_TMnr_10011931.jpg
ADVERTISEMENT
Banyak kajian yang menyoroti penjajahan Belanda melalui kelamnya kebijakan tanam paksa (cultuurstelsel/enforcement planting) yang diterapkan kepada para pekerja Jawa yang terutama hidup di dataran rendah. Peter Carey dalam bukunya jilid pertama, Kuasa Ramalan: Pangeran Diponegoro dan Akhir Tatanan Lama di Jawa, 1785-1855 (2011) mengisahkan bagaimana akhirnya Raja William I Belanda memutuskan untuk mengangkat Gubernur-Jenderal Johannes Van Den Bosch dan memulai untuk menerapkan kebijakan tanam paksa tahun 1830 sebagai cara pemulihan finansial Belanda akibat dari Perang Jawa (Java War) atau secara umum disebut Perang Diponegoro yang terjadi selama tahun 1825-1830. Sistem tanam paksa (cultivation system) ini rupanya terbukti memberikan keuntungan bagi Belanda, dan sebagai tanda dimulainya pemerintah Belanda sebagai penguasa tunggal dan dimulainya tatanan baru di Jawa.
ADVERTISEMENT
Seorang pegawai kolonial sekaligus sejarawan Inggris, J. S. Furnivall menuliskan buku yang berjudul Colonial Policy and Practice: A Comparative Study of Burma and Netherlands India (1948), menyajikan rangkaian sejarah komprehensif mengenai masyarakat Burma dan Indonesia (Hindia-Belanda) di bawah pemerintah kolonial pada masa itu. Furnivall menjelaskan bahwa pemerintah kolonial Belanda sejak menduduki Batavia di tahun 1619, sebelum menjadi penguasa tunggal, mereka berusaha mendekati kepala ‘adat’ dari suatu otoritas pemerintahan (dalam bentuk kerajaan) di Jawa sebagai strategi Belanda agar tidak terlalu mengintervensi secara langsung penduduk lokal di bawah pimpinannya (Furnivall, 1948: 21). Dalam bukunya Furnivall juga menyebut pemimpin suatu daerah tersebut sebagai outonomous vassal chieftain (kepala ‘adat’ boneka yang otonom) karena dapat dikendalikan layaknya boneka oleh Belanda. Atas dasar itu, pemimpin kerajaan tersebut mulai memerhatikan tidak hanya pertanian sawah padi saja yang harus digarap, melainkan juga perkebunan untuk keperluan ekspor oleh Belanda, yaitu terutama untuk komoditas kopi dan gula (1948: 21). Ini juga yang menjadi penanda awal liberalisasi ekonomi yang dilakukan oleh masyarakat Indonesia (yang berada di Jawa) masuk dan berpartisipasi dalam pasar bebas (free trade) atas dorongan kolonial.
ADVERTISEMENT
Memasuki masa sistem tanam paksa secara rinci dapat dilihat dalam tulisan menarik dari Eric Wolf dalam bukunya yang berjudul Europe and the People Without History (2010) mengenai cultuurstelsel di mana pemerintah Belanda berniat untuk mengembangkan produksi gula (tanaman tebu) dalam skala besar, dan para petani dituntut untuk membayar pajak pemerintah dari hasil pertaniannya (gula) daripada dalam bentuk uang. Hal tersebut dilakukan untuk memeroleh dan meningkatkan produksi pertanian tropis (tropical crops), yang rupanya berhasil bagi komoditas gula dan biji kopi, dan dua hasil pertanian ini akan menjadi komoditas ekspor utama negara Hindia Belanda pada saat itu (Wolf, 2010: 334). Cara pemerintah Belanda agar dapat memeroleh komoditas ekspor tersebut dengan cara membagi seperlima lahan pertanian untuk produksi tebu (gula) tahunan, dan menanam padi sistem irigasi di lahan yang sama untuk kebutuhan subsisten (kebutuhan hidup) para petani. Hal ini tentunya sebuah pekerjaan yang begitu berat karena mereka harus tetap menjaga pertanian padinya untuk kebutuhan hidup, selagi mereka juga harus menyisakan tenaganya untuk beberapa hari ke depan mengawasi perkebunan tahunan yang diterapkan oleh Belanda atau sistem tanam paksa (Wolf, 2010: 334).
ADVERTISEMENT
Agar dapat memilki cadangan tenaga kerja, para petani Jawa menjadi memiliki desakan internal dalam diri mereka agar mereproduksi tenaga kerja, menambah pekerja, atau dalam istilahnya mengeksploitasi potensi kelahiran demografis, dengan cara melahirkan anak sebagai cadangan tenaga kerja. Hal ini dijelaskan dalam Clifford Geertz dalam Involusi Pertanian (2016) yang menjelaskan secara rinci persoalan historis-ekologis masyarakat Indonesia, terutama di Jawa dari masa kolonialisme dimulainya tanam paksa hingga dampaknya terhadap kehidupan masyarakat saat ini. Pada tahun 1830 dimulainya sistem tanam paksa masih terdapat sekitar tujuh juta penduduk Jawa, dan hingga pada tahun 1900 penduduk Jawa naik hingga 28,7 juta, sehingga terdapat kenaikan tahunan kurang lebih 2% selama 70 tahun. Namun, Geertz juga menuliskan dalam bukunya bahwa seberapa jauh sistem tanam paksa memengaruhi peningkatan penduduk Jawa karena hal ini juga sukar untuk dipecahkan, namun tetap terdapat pola yang sekiranya dapat dipegang dalam catatan sejarah masyarakat Jawa dan kolonial Belanda,
ADVERTISEMENT
Dari sini dapat dilihat bagaimana tanam paksa menjadi suatu kebijakan eksternal atau tuntutan ekonomi eksternal yang memaksa internal masyarakat Jawa untuk meningkatkan produksi kelahiran anak karena dapat memberikan input yang sangat membantu dalam meringankan pekerjaan rodi pada saat pemerintah Belanda. Namun, tidak sedikit meninggalkan persoalan ekologis yang saat ini dihadapi oleh masyarakat Jawa paska kolonial. Peningkatan jumlah penduduk atau terjadinya “ledakan penduduk” rupanya meninggalkan jejak persoalan ekologis dengan semakin menyempitnya lahan pertanian, sehingga penduduk Jawa yang besar akan terserap ke persawahan yang terlampau semakin sempit, terutama di daerah penanaman tebu dengan sistem irigasi yang lebih maju (Geertz, 2016: 91).
ADVERTISEMENT
Tak heran jika kita kerap kali mendengar adagium yang berbunyi, semakin banyak anak, semakin banyak rezekinya. Apakah pepatah ini dianggap sebuah memori yang masih menggema hingga sekarang karena sejarah relasi masyarakat Jawa dengan pemerintah Hindia-Belanda melalui pemberlakuan sistem tanam paksa? atau sebuah kosmologi masyarakat Jawa yang jauh lebih tinggi dalam memandang seorang anak. Meskipun demikian, yang kita ketahui bahwa sepenggal dari peninggalan sejarah ini yang pada akhirnya membentuk tatanan kehidupan sosial-budaya yang terjadi di masyarakat, terutama melahirkan permasalahan dalam aspek ekonomi dan lingkungan yang berada di Jawa saat ini. Dari sini juga dapat diasumsikan bahwa kepadatan penduduk di Jawa rupanya tidak jauh dari proses historis panjang yang terjadi di masa kolonialisme. Permasalahan ekologis karena kepadatan penduduk juga menjadi masalah modern yang perlu untuk dipertimbangkan tidak hanya melalui kepengaturan pemerintah seperti pemberlakuan KB (Keluarga Berencana), sensus penduduk, migrasi, dan lain sebagainya, namun juga mempertimbangkan aspek kebudayaan yang berlangsung di masyarakat atas dampak proses historis yang panjang.
ADVERTISEMENT