Konten dari Pengguna

Mendisiplinkan Para Pengungsi di Era Kelelahan Belas Kasih

Gilang Mahadika
Anthropologist, and interested in Southeast Asian studies. #SameShitDifferentDay
21 Agustus 2021 15:38 WIB
·
waktu baca 6 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Gilang Mahadika tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
taken from Aljazeera (https://www.aljazeera.com/news/2021/8/18/which-countries-will-take-in-afghan-refugees-and-how-many).
zoom-in-whitePerbesar
taken from Aljazeera (https://www.aljazeera.com/news/2021/8/18/which-countries-will-take-in-afghan-refugees-and-how-many).
ADVERTISEMENT
Saat ini Indonesia tengah dihadapi hal yang menarik dari permasalahan migrasi di tingkat global. Seperti halnya, migrasi para pengungsi dari negara Afghanistan kabur dari "ekspansi" Taliban. Mereka mengungsi ke Indonesia dan berusaha mencari suaka di negara ini. Ada hal-hal menarik yang perlu direngungkan bahwa Indonesia tidak lah negara yang sering menjadi pertimbangan bagi para pengungsi untuk menetap di negara ini. Namun, seiring perkembangannya zaman, para pengungsi mulai melihat bahwa negara ini sudah tidak lagi menjadi tempat transit bagi para pengungsi dikarenakan beberapa faktor, seperti mulai ada pertumbuhan ekonomi di negara ini yang membuat para pengungsi berpikir kembali untuk tidak perlu pergi ke Australia mencari suaka.
ADVERTISEMENT
Di sini saya merasa kita dapat belajar dari artikel menarik Aihwa Ong (1996) mengenai apa yang terjadi ketika para pengungsi hidup di negara tetangga. Artikelnya yang berjudul Cultural Citizenship as Subject-Making: Immigrants Negotiate Racial and Cultural Boundaries in the United States, memaparkan beragam fenomena para imigran menghadapi permasalahan kebudayaan yang tengah hidup di negara Amerika Serikat. Mula-mula Ong menjabarkan secara garis besar dari artikel ini dan mengajukan sebuah konsep yang bernama cultural citizenship (kewargaan kebudayaan) sebagai proses pembentukan diri dan atau dibentuk dalam proses relasi negara dan kehidupan transnasional bagi para imigran. Pada umumnya, telah ditunjukkan pada kajian terduhulu bahwa terdapat tindakan rasisme, terutama dalam mendefinisikan siapa bagian dari negara demokrasi Barat (Amerika Serikat dalam kasus ini) dan siapa yang bukan atau di luar dari bagian negara demokrasi itu. Singkatnya, konsep dimaknai sebagai "kewargaan berdasarkan garis kebudayaan."
ADVERTISEMENT
Ong dengan sangat kompleks ingin memperlihatkan bagaimana para pengungsi (refugees) dan para imigran yang terutama berasal dari negara-negara di Asia Tenggara, seperti Kamboja, Laos, dan Vietnam, mengalami proses normalisasi dan polarisasi yang merefleksikan oposisi ras yang dominan terjadi di Amerika Serikat. Perbedaan ras dan kebudayaan saling bersilangan (intersects) satu dengan yang lain sebagai upaya memosisikan kelompok minoritas ke dalam latar belakang kelas yang berbeda. Bahkan, para imigran yang berasal dari negara maju (First World) juga mengalami dua proses normalisasi tersebut, apakah imigran ini termasuk dalam golongan kulit putih (whitening) atau kulit hitam (blackening) dan penilaian terhadap kompetensi kebudayaan mereka yang didasarkan pada kekuatan sumber daya dan konsumen dalam kelompok minoritas (Ong, 1996: 737).
ADVERTISEMENT
Gagasan citizenship secara dialektik dan pada umumnya ditentukan oleh pemerintah dan individu atau subjeknya. Namun, hal tersebut, Ong ingin mengajukan pendapat yang sangat berbeda dengan mengembangkan konsep cultural citizenship dari Renato Rosaldo, yang memandang bahwa kewargaan-budaya dipandang sebagai tuntutan bagi mereka (subjek-subjek) yang dirugikan dan berjuang memeroleh kewarganegaraan yang utuh terlepas dari perbedaan latar belakang budaya dalam suatu masyarakat mayoritas (Ong, 1996: 738). Dari sini Ong menggunakan konsep cultural citizenship lebih kepada praktik-praktik kebudayaan yang terus-menerus diproduksi dari hasil negosiasi yang ambivalen dan relasinya seringkali diperebutkan oleh negara dan bentuk-bentuk hegemoniknya yang mampu menentukan kriteria rasa kebersamaan (belonging) dalam suatu populasi dan teritorinya negara (Ong, 1996: 738).
Dari salah satu sub bab menarik yang berjudul Disciplining Refugess in an Age of Compassion Fatigue (mendisiplinkan para pengungsi di era kelelahan belas kasih), Ong memaparkan cuplikan menarik dari negara Amerika Serikat yang melakukan intervensi ke negara-negara komunisme di Indocina (negara yang dulu menjadi jajahan Perancis, yakni Kamboja, Vietnam, dan Laos). Amerika Serikat juga seringkali menjadi pusat di mana para pengungsi untuk datang ke negaranya karena mereka dikenal sebagai negara yang liberal. Oleh karena itu, kelelahan belas kasih ini menjadi pernyataan yang jelas bahwa negara liberal sudah berada dalam titik jenuh menghadapi para pengungsi dari berbagai dunia.
ADVERTISEMENT
Mengingat karena penuh dengan peperangan di daratan Indocina, di tahun, 1979, ribuan orang Kamboja berusaha kabur ke perbatasan Thai (Thai Border) setelah invasi orang Vietnam ke Kampuchea. Presiden Carter pada waktu itu mulai membangkitkan semangat atas kampanye hak asasi manusia dengan menandatangani aksi pengungsian untuk menambah kuota imigrasi, sehingga di antara 1975 dan 1985 hampir 125,000 penduduk Kamboja tiba di Amerika Serikat (Ong, 1996:742).
Dari awal, negara Amerika Serikat merasa skeptis terhadap para pengungsi Kamboja karena mereka berasal dari negara simpatisan komunis Khmer Rouge. Ditambah, para pengungsi, mereka adalah para petani, tidak seperti para Sino-vietnam (etnis campuran cina-vietnam) dan para kelas menengah yang hadir menggunakan kapal sendiri. Dalam kamp, orang Kamboja dipisahkan oleh yang lain karena diletakkan pada kelas sosial rendah. Lebih jauhnya, di saat para imigran tiba di negara Amerika Serikat, identitas nasional atau ras apapun, mereka secara ideologis diletakan dalam model bipolar hegemonik model masyarakat Amerika, yakni model kulit hitam atau putih. Proses rasialisasi para pengungsi dari Asia Tenggara bergantung pada penilaian ekonomi dan kebudayaan. Para penduduk Kamboja, bersama dengan Laos, dan Hmongs disamakan (ethnicized) sebagai kelompok Asian-american yang lebih serupa dengan para pengungsi yang miskin seperti penduduk Afgan dan Etiopia daripada dengan mereka orang Vietnam. Bahkan, mereka juga seringkali dibandingkan dengan kulit hitam (African-american) karena kaitannya dengan pekerjaan upah rendah, tingginya natalitas kaum muda, dan keluarga yang kurang sejahtera (Ong, 1996: 742). Dari sini terlihat bagaimana ras dari suatu kelompok minoritas mengikuti alur diferensiasi antara kulit putih dan kulit hitam setelah terjadinya emansipasi (Ong, 1996: 742). Salah satu imigran dari Vietnam, seorang pekerja sosial, mengatakan dalam Ong,
ADVERTISEMENT
ADVERTISEMENT
Ong menunjukkan bahwa dari sini terlihat bahwa para imigran juga terjadi perbedaan perlakuan, seperti mereka para imigran Vietnam, Korea, dan Cina, meski citra mereka sebagai kelompok minoritas, namun mereka masuk dalam standar kulit putih dalam kewargaan Amerika. Sedangkan orang Kamboja lebih kepada status mereka sebagai refugee. Meski terdapat orang Vietnam yang mengungsi, namun mereka lebih dipandang sebagai imigran. Ideologi dominan negara Amerika Serikat dengan model bipolar sangatlah jelas menyederhanakan keberagaman yang ada dalam kewargaan orang Asia, memberikan status mereka jika tidak pada kutub orang kulit putih atau kulit hitam dalam model kewargaan orang Amerika (Ong, 1996: 743).