Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.93.2
Konten dari Pengguna
Sekilas Cikarang
4 Agustus 2017 1:17 WIB
·
waktu baca 3 menitDiperbarui 4 Desember 2023 13:34 WIB
Tulisan dari Gilang GP tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Secara umum, Bekasi merupakan wilayah dengan kekayaan budaya yang cukup besar. Penggalian budaya di daerah tersebut dapat dilihat sejak masa kerajaan-kerajaan besar (Pajajaran, Tarumanegara) dengan unsur budaya Hindu-Budha yang lalu berganti ke masa VOC dan pendudukan Belanda bermayoritas kristen, dengan kata membawa unsur eropa.
ADVERTISEMENT
Proses kebudayaan di Kabupaten Bekasi mendapat pengaruh signifikan dari unsur-unsur kebudayaan lain. Dapat dikatakan, Bekasi mengalami marginalisasi budaya yang bukan cuma diakibatkan lantaran masuknya imigran luar namun juga lokal yang memberi andil besar terhadapnya.
Semisal keinginan masyarakat untuk mengembangkan dan melestarikan budayanya sendiri yang kurang mendapat perhatian besar dari lembaga-lembaga resmi, termasuk juga keunikan kebudayaan bahasa yang terdapat di Cikarang Kota.
Bagi warga Jakarta peristiwa kebijakan J.P Coen adalah titik krusial dari pembentukkan wilayah di mana sebuah wilayah khusus berupa Weltevreden atau dibuatnya sebuah zona keamanan sebagai penyangga antara sebelah timur dan Barat Batavia (terutama Bekasi dan Tanggerang) atau daerah pedalaman yang dikenal dengan sebutan Ommenlanden justru malah memerkaya khasanah kebudayaan di daerah Bekasi yang memiliki khas tersendiri yang terpisah dari Jakarta.
ADVERTISEMENT
Faktor tersebut membuat masyarakat Kota Bekasi umumnya, dan Cikarang Kota khususnya mengalami proses asimilasi dan akulturasi budaya dari daerah seperti Bali, Melayu, Bugis, dan Jawa.
Pengaruh etnis tersebut pun tersebar di wilayah Bekasi. Antara lain suku Sunda yang banyak bermukim di wilayah Kecamatan Lemahabang, Setu, Pebayuran, dan sebagian Pondok gede. Lalu, suku Jawa dan Banten banyak bermukim di Kecamatan Sukatani dan Cabang Bungin.
Selanjutnya, suku bangsa Melayu banyak mendiami Kecamatan Bekasi (daerah kota), Cilincing (sekarang masuk Jakarta), Pondok Gede, Babelan, Tambun, Cikarang, Cabang Bungin dan Setu.
Terakhir, tapi bukan akhirnya yaitu suku Bali yang terdapat di sebuah kampung di Kecamatan Sukatani, bahkan sampai sekarang namanya pun kampung Bali.
ADVERTISEMENT
Keberadaan penduduk yang berasal dari berbagai etnis tersebut, telah memengaruhi pola hidup dan bahasa sehari-hari. Oleh karena itu, bila kita memerhatikan dialek Bekasi dan Jakarta meskipun sama-sama Betawi akan terasa kentara perbedaannya.
Jangankan Bekasi dan Jakarta, dialek Bekasi Kota dan Cikarang Kota pun sangat berbeda. Umumnya, orang-orang di Cikarang Kota setelah mengatakan “Gua” itu akan ditambahkan “Ge”, jadinya “Gua Ge...”, sedangkan di Bekasi Kota tak ada penambahan demikian. Kata “Bagen” pun sering digunakan di Cikarang Kota dan sekitarnya, yang berarti, “biarkan…” yang apabila dalam KBBI berarti, relakan.
Untungnya, keunikan budaya berbahasa yang terdapat di Cikarang masih terjaga hingga sekarang, keunikan itu senantiasa terawat dan tetap kokoh tak terhempas badai kultur pasca-modern dan genosida warisan kultural oleh ISIS. Ajaibnya, itu terjadi secara natural.
ADVERTISEMENT
Nampaknya, keunikan lain yang terdapat di Cikarang, sejalan yang sering dikelakarkan Cemen pada hampir setiap show-nya.
Stand up comedian itu berceloteh dengan aksentuasi Cikarangnya yang khas dan identikal: kalau Anda berkendara pergi-pulang ke dan dari daerah Cikarang, Anda serasa membalap dan dibalap oleh Optimus Prime, sang pemimpin Autobot atau jika sedang suwek betul kendaraan Anda bakal dicium Galvatron alias disenggol, seperti saya waktu itu.
Setttt!
Sumber: Semay Media , Terus Membara Tak Pernah Padam