Konten dari Pengguna

AI Membuat Ilustrator Resah: Antara Kekhawatiran dan Peluang

Gilang Pratama
Aku adalah mahasiswa Ilmu komunikasi Universitas Muhammadiyah Yogyakarta angkatan 2021
25 Januari 2025 14:13 WIB
·
waktu baca 4 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Gilang Pratama tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Foto : Di kediaman Alif (23) Gg.Melati 3 no.449A Panggungharjo,Sewon,Bantul Yog (Jl.Krapyak), Yogyakarta, DI Yogyakarta, Indonesia
zoom-in-whitePerbesar
Foto : Di kediaman Alif (23) Gg.Melati 3 no.449A Panggungharjo,Sewon,Bantul Yog (Jl.Krapyak), Yogyakarta, DI Yogyakarta, Indonesia
ADVERTISEMENT
Yogyakarta, 25 Januari 2025 – Kota yang terkenal sebagai pusat seni dan budaya ini kini menghadapi tantangan baru di dunia kreatif. Kecerdasan buatan (AI) semakin mendominasi berbagai bidang, termasuk seni visual, dengan kemampuan menghasilkan ilustrasi dalam waktu singkat. Di satu sisi, teknologi ini dianggap sebagai terobosan; di sisi lain, ia memunculkan kekhawatiran mendalam, terutama bagi para ilustrator muda seperti Alif (23) dan Gusna (25). Mereka kini harus menghadapi realitas baru, di mana kreativitas manusia bersaing dengan kecepatan dan efisiensi mesin.
ADVERTISEMENT
Alif, seorang ilustrator muda yang telah menekuni bidang ini selama lima tahun, bercerita dengan nada penuh keprihatinan. Ruang kerjanya dipenuhi tumpukan kertas sketsa, alat gambar, dan beberapa kanvas kosong. Ia sedang menyelesaikan sebuah proyek ilustrasi manual ketika ditemui. “Dulu, tantangan terbesarku cuma ide dan waktu,” ujarnya sambil menyeka keringat di dahi. “Sekarang, aku harus bersaing dengan teknologi yang bisa bikin puluhan gambar dalam hitungan menit.”
AI memang menawarkan efisiensi luar biasa. Dengan algoritma yang dilatih menggunakan jutaan gambar, AI dapat menciptakan ilustrasi dalam berbagai gaya, dari realisme hingga abstrak. Namun, bagi Alif, hasil yang terlihat sempurna secara teknis itu masih terasa kurang memiliki jiwa. “Mungkin secara visual bagus, tapi tidak ada cerita atau emosi yang bisa kamu rasakan dari karya itu,” tambahnya.
ADVERTISEMENT
Gusna, yang memiliki studio ilustrasi kecil di kawasan Kotabaru, mengalami tantangan serupa. Sebagai ilustrator yang terkenal dengan gaya seni tradisional yang memadukan elemen budaya Jawa, ia merasa kehilangan identitas ketika klien lebih memilih menggunakan generator AI untuk proyek mereka. “Mereka bilang AI lebih cepat dan murah. Aku nggak bisa bersaing dalam hal itu,” kata Gusna dengan nada getir.
Meski begitu, Gusna mencoba mengambil sisi positif dari kehadiran AI. Ia mulai melihat teknologi ini sebagai alat bantu, bukan ancaman. “Aku coba gunakan AI untuk membantu brainstorming atau membuat sketsa kasar,” jelasnya. Dengan cara ini, ia tetap bisa mempertahankan ciri khas seninya sekaligus menghemat waktu dalam proses awal pembuatan karya.
Namun, Alif memiliki pandangan berbeda. Ia merasa sulit untuk memanfaatkan AI tanpa mengkhianati prinsip yang ia pegang sebagai seniman. “AI itu seperti jalan pintas yang bikin proses kreatif terasa instan,” katanya. Baginya, seni adalah perjalanan panjang yang melibatkan trial and error, yang tidak bisa digantikan oleh teknologi.
ADVERTISEMENT
Perdebatan ini tidak hanya terjadi di antara Alif dan Gusna. Banyak komunitas seni di Yogyakarta mulai menggelar diskusi dan lokakarya untuk membahas dampak AI terhadap dunia kreatif. “Kita harus sadar bahwa teknologi ini akan terus berkembang, dan tugas kita adalah mencari cara untuk tetap relevan,” ujar Gusna yang aktif mengikuti berbagai kegiatan komunitas seni.
Selain kecepatan dan efisiensi, isu hak cipta juga menjadi perhatian utama para ilustrator. Banyak generator gambar berbasis AI dilatih menggunakan karya seni yang diambil dari internet tanpa izin. Hal ini memunculkan pertanyaan etis tentang bagaimana AI seharusnya digunakan.
Alif mengungkapkan kemarahannya terhadap fenomena ini. “Aku merasa seperti karya seni kita dicuri tanpa izin. Padahal, untuk mencapai gaya tertentu, butuh bertahun-tahun latihan dan eksperimen,” ujarnya penuh emosi. Ia juga merasa bahwa penghargaan terhadap proses kreatif mulai berkurang karena banyak orang lebih mengutamakan hasil instan.
ADVERTISEMENT
Gusna, yang juga pernah menemukan karya dengan gaya serupa miliknya di platform AI, merasa kesulitan untuk menuntut keadilan. “Masalahnya, aku nggak tahu siapa yang harus dimintai pertanggungjawaban. Mesin? Perusahaan pembuat AI?” tanyanya retoris.
Beberapa komunitas seni di Yogyakarta kini mulai merumuskan kode etik penggunaan AI dalam seni. Mereka berharap langkah ini dapat memberikan perlindungan terhadap karya seni manusia sekaligus menciptakan batasan yang jelas antara kolaborasi dan eksploitasi.
Meskipun penuh tantangan, baik Alif maupun Gusna masih memiliki harapan besar terhadap masa depan seni. Mereka percaya bahwa seni manusia memiliki keunikan yang tidak bisa ditiru oleh mesin. “AI mungkin bisa bikin gambar yang kelihatan bagus, tapi mesin itu nggak pernah punya pengalaman atau emosi,” kata Alif.
ADVERTISEMENT
Bagi Gusna, seni adalah tentang cerita di balik setiap goresan. “Orang-orang mungkin lupa, seni itu bukan cuma soal hasil akhirnya. Prosesnya itu yang bikin karya punya makna lebih,” jelasnya. Ia berharap bahwa para kolektor seni maupun klien akan tetap menghargai nilai dari sebuah karya yang dikerjakan dengan tangan manusia.
Malam itu, di studio kecilnya, Gusna menyelesaikan sebuah ilustrasi baru. Sketsa yang ia buat terinspirasi oleh pergulatan seniman dalam era teknologi ini. Ia tersenyum kecil, meski hatinya masih dipenuhi berbagai kekhawatiran. “Ini bukan soal siapa yang lebih cepat atau lebih murah. Ini soal bagaimana kita menjaga identitas sebagai seniman,” katanya sambil menatap hasil karyanya.
Bagi banyak ilustrator di Yogyakarta, seperti Alif dan Gusna, keberadaan AI adalah sebuah pengingat bahwa perubahan tidak dapat dihindari. Namun, seperti halnya seni yang terus berevolusi, para seniman yakin mereka juga mampu beradaptasi. Sebab, pada akhirnya, seni yang benar-benar hidup selalu lahir dari rasa sesuatu yang, setidaknya untuk saat ini, belum bisa dimiliki oleh mesin.
ADVERTISEMENT