Konten dari Pengguna

Algoritma Deep Learning Ibnu Khaldun

Gilang Ramadhan
Pengajar - Penulis - S1 Bahasa dan Sastra Indonesia - Warga Gang Mangga Garis Lurus
13 November 2024 8:56 WIB
·
waktu baca 5 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Gilang Ramadhan tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Ilustrasi AI dan Manusia by rawpixel.com on Freepik
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi AI dan Manusia by rawpixel.com on Freepik
ADVERTISEMENT
Ada sesuatu yang terus kembali dalam gagasan pendidikan: hasrat untuk memahami, bukan hanya mengingat. Ini adalah dorongan yang mendasar, mungkin sangat tua, dan tidak asing bagi kita. Ibnu Khaldun, seorang pemikir dari abad ke-14, menangkapnya dengan sangat baik. Pendidikan, baginya, adalah perjalanan yang rumit dan berlapis, sama seperti cara kita menelusuri lapisan-lapisan dalam otak kita sendiri.
ADVERTISEMENT
Seolah-olah ia bisa melihat jauh ke depan, menyadari apa yang pada akhirnya kita sebut sebagai deep learning, sebuah metode pembelajaran yang lebih dari sekadar melatih mesin, tetapi mencoba meniru cara kita belajar sebagai manusia. Di dalam Muqaddimah, Ibnu Khaldun menulis tentang perlunya pendidikan yang bertahap, tentang pentingnya memberi ruang bagi setiap konsep agar bisa mengakar sebelum lanjut ke tingkat berikutnya.
Pendidikan yang menurutnya efektif adalah yang menyusun materi secara bertingkat—dari sederhana ke kompleks, dari yang konkret ke abstrak. Itu adalah cara kita belajar secara alami, dan menariknya, itulah juga yang dilakukan oleh metode deep learning dalam AI hari ini. Dalam neural networks, lapisan demi lapisan dirancang untuk membangun pemahaman, dari pola sederhana sampai yang kompleks. Seperti manusia, algoritma ini tidak hanya belajar dengan menghafal, tetapi dengan memahami pola yang lebih dalam di setiap lapisan.
ADVERTISEMENT
Pendidikan yang berlapis ini, baik dalam pemikiran Ibnu Khaldun maupun dalam metode deep learning, adalah jawaban dari masalah yang dihadapi sistem pendidikan kita. Bayangkan sebuah sekolah yang mengajarkan anak-anak menghafal tanggal-tanggal sejarah tanpa konteks, tanpa cerita, dan tanpa makna. Ibnu Khaldun pasti akan berkomentar bahwa pendidikan ini mati.
Karena menurutnya, inti dari belajar adalah proses bertahap dan pemahaman mendalam, bukan hanya penyimpanan fakta. Kita bisa lihat bagaimana deep learning berusaha meniru pendekatan ini—ia tidak sekadar menyerap data, tetapi menggali hubungan dan pola di dalamnya. Deep learning punya lapisan-lapisan, seperti pendidikan yang dibayangkan Ibnu Khaldun. Ada input layer, hidden layers, dan output layer. Di hidden layers itulah yang menarik, karena di sanalah "pemahaman" benar-benar terbentuk.
ADVERTISEMENT
Di setiap lapisan, jaringan saraf buatan ini belajar sesuatu yang lebih dalam, sesuatu yang tidak kelihatan di lapisan-lapisan atas. Kita bisa membayangkan lapisan-lapisan itu seperti tahapan dalam sistem pendidikan yang ditekankan oleh Ibnu Khaldun, di mana setiap tahap berperan sebagai pondasi bagi tahap berikutnya. Jika pondasi itu goyah, lapisan-lapisan di atasnya akan sia-sia, seperti sebuah menara yang tak kokoh.
Ibnu Khaldun berbicara tentang proses pendidikan yang harus sesuai dengan tahap perkembangan mental manusia. Ia mengingatkan kita bahwa terlalu banyak informasi yang diserap sekaligus akan membebani siswa. Ini seperti model deep learning yang overfitted, terlalu banyak menyerap data sampai ia tidak bisa melihat pola, melainkan hanya mengingat detail yang kaku.
Ada sesuatu yang paralel di sini—sama seperti dalam pendidikan, sebuah jaringan saraf yang baik perlu belajar secara bertahap dan tidak terlalu banyak disuapi data yang berlebihan pada awalnya. Dalam pendidikan kita, terlalu banyak materi yang dipaksakan dalam waktu singkat, seakan siswa adalah mesin yang bisa menyimpan segalanya. Padahal, justru manusia dan mesin akan lebih kuat bila diberi kesempatan untuk “memahami” daripada sekadar “menghafal”.
ADVERTISEMENT
Lalu, ada unsur akhlak dan nilai dalam pendidikan Ibnu Khaldun, yang tentunya tidak kita temui di dalam deep learning. Mungkin kita bisa membayangkannya sebagai nilai atau tujuan dari pendidikan itu sendiri. Untuk Ibnu Khaldun, belajar tidak hanya soal kecerdasan, tetapi juga soal karakter, akhlak, dan spiritualitas. Ada nilai-nilai yang seharusnya tertanam di balik proses belajar.
Di dunia deep learning, kita mungkin menyebutnya sebagai bias positif yang perlu kita masukkan dalam algoritma—tapi ini jauh lebih abstrak, lebih filosofis. Namun, gagasan tentang pendidikan yang menanamkan nilai ini tetap relevan, mengingat bahwa setiap teknologi yang kita bangun seharusnya berlandaskan nilai-nilai yang bisa membangun dan memanusiakan.
Deep learning memanfaatkan data dari berbagai lingkungan untuk memahami pola dan konteks. Ini mirip dengan apa yang diajarkan Ibnu Khaldun tentang pentingnya relevansi lingkungan dalam pendidikan. Bagi Ibnu Khaldun, pendidikan harus sesuai dengan kondisi sosial-ekonomi masyarakat. Ia menulis bahwa setiap pengetahuan yang kita pelajari harus relevan dan bisa diterapkan dalam kehidupan kita.
ADVERTISEMENT
Ini adalah prinsip penting dalam deep learning yang disebut transfer learning—di mana model yang sudah dilatih di satu lingkungan bisa diterapkan di lingkungan lain, asalkan ada pemahaman mendasar tentang konteksnya. Bagi Ibnu Khaldun, lingkungan hidup adalah bagian integral dari proses belajar. Dan pada akhirnya, lingkungan kita, data yang ada di sekitar kita, adalah apa yang membentuk bagaimana kita belajar, baik sebagai manusia maupun mesin.
Kita menceritakan kisah untuk hidup, dan pendidikan adalah tentang bercerita, tentang memahami kehidupan di sekitar kita, sama seperti deep learning yang berusaha menemukan pola dalam data yang besar. Metode Ibnu Khaldun yang berfokus pada tahap bertahap ini, menekankan bahwa pendidikan tidak bisa dipaksakan dan harus membangun makna.
ADVERTISEMENT
Ini seperti kisah dalam neural network, di mana lapisan-lapisan itu adalah paragraf-paragraf yang bersama-sama menciptakan pemahaman penuh tentang dunia. Mungkin di sinilah relevansi pendidikan Ibnu Khaldun dengan deep learning: bahwa keduanya mencari makna yang lebih dalam, bukan sekadar mengingat fakta.
Seperti Ibnu Khaldun, kita mungkin perlu melihat pendidikan sebagai jaringan yang berlapis-lapis, di mana setiap lapisan memberi makna pada lapisan berikutnya. Deep learning mengajarkan kita bahwa untuk memahami dunia, kita butuh lebih dari sekadar hafalan. Kita butuh pemahaman yang mendalam, dan itulah yang kita butuhkan dalam pendidikan kita hari ini.