Konten dari Pengguna

Keheningan Bapak

Gilang Ramadhan
Pengajar - Penulis - S1 Bahasa dan Sastra Indonesia - Warga Gang Mangga Garis Lurus
13 November 2024 8:22 WIB
·
waktu baca 4 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Gilang Ramadhan tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Ilustratsi Seorang Bapak. Photo by Kianmehr Shirooyeh on Unsplash
zoom-in-whitePerbesar
Ilustratsi Seorang Bapak. Photo by Kianmehr Shirooyeh on Unsplash
ADVERTISEMENT
Saya selalu melihat bapak sebagai figur yang sederhana, barangkali terlalu sederhana untuk dunia yang gemar merumitkan segala sesuatu. Di rumah kami yang kecil di pinggiran kota, bapak menjalani hidup seperti seorang lelaki yang tak punya waktu untuk berpikir panjang tentang tujuan atau takdir. Namun, semakin saya bertumbuh, semakin saya paham, atau lebih tepatnya, semakin saya merasa, bahwa justru dalam kesederhanaannya itu, ia menyembunyikan pemahaman yang lebih dalam tentang kehidupan.
ADVERTISEMENT
Bapak, yang jarang berbicara, telah hidup sebagai seorang eksistensialis tanpa pernah menyadarinya atau menyebutnya demikian. Seperti Hemingway yang menuliskan tokohnya dengan sunyi dan ketenangan yang berat, bapak menghadapi hari-hari dengan kesadaran yang sama. Setiap hari, ia bangun pagi-pagi, mengaduk kopi yang hampir terlalu kental, memandangi asapnya sejenak, lalu meneguknya dengan penuh kesungguhan.
Bagi bapak, bekerja di kelas dengan suara anak-anak remaja yang bising dan ocehan yang hangat sudah menjadi bagian dari hidupnya, seperti halnya air bagi ikan. "Hidup adalah sekarang," katanya suatu hari dengan nada yang entah bagaimana terdengar penuh, meskipun hanya ada sedikit kata. Mungkin bapak paham sesuatu yang tak pernah saya sadari: bahwa dalam kehadiran, dalam momen, terletak seluruh esensi dari keberadaan kita.
ADVERTISEMENT
Bapak adalah orang yang membuat saya menyadari absurditas hidup dengan caranya yang tenang, cara yang tidak membutuhkan istilah atau konsep besar. Ia tidak merenung seperti Camus tentang absurditas dunia yang melingkupi kita. Baginya, hari-hari tidak punya definisi lebih dari apa yang ia lihat di depan matanya. Namun, ia menjalani absurditas itu setiap hari, menghadapi hidup dengan tatapan yang sama setiap kali.
Dalam detik-detik kebersamaan kami yang sunyi, dalam langkah-langkahnya yang perlahan pulang ke rumah, ia seolah mengingatkan saya bahwa hidup memang tidak pernah menyediakan jawaban, bahwa kita mungkin tidak harus selalu mencari jawaban. Saya ingat malam itu, ketika bapak duduk di luar rumah, ditemani lampu kuning yang hangat, menikmati angin yang berembus pelan. Ia memandangi langit, tapi tak seperti orang yang mencari makna.
ADVERTISEMENT
Ia melihat langit dengan tenang, tanpa beban. Baginya, barangkali hidup hanyalah untuk dilihat, bukan untuk dipahami. Dan di situ letak kebijaksanaannya, atau mungkin malah ketidakpeduliannya. Sadar atau tidak, bapak menyikapi dunia tanpa pretensi, tanpa harapan berlebihan. Seperti kata Camus tentang hidup yang absurd dan perlu dijalani tanpa kesan putus asa. Bapak hidup dengan cara itu.
Di satu sisi, saya ingin sekali memahami cara bapak berpikir, menyelami ketenangan yang ia miliki saat dunia terus-menerus menuntut alasan dan kepastian. Sebagai seorang anak, saya melihat bapak seperti batu yang kokoh di tengah arus deras sungai, tetap di tempat, tidak goyah. Namun, saya juga tahu, barangkali bapak tidak pernah punya teori khusus dalam pikirannya.
ADVERTISEMENT
Baginya, semua itu tak lebih dari hiruk-pikuk. Dunia yang tampak tenang di luar tetapi penuh pergolakan di dalam, saya pun melihat bapak sebagai seseorang yang tidak memerlukan dunia untuk mengakuinya. Dalam diam, dalam keputusannya yang sederhana untuk pulang setiap hari, duduk bersama keluarganya, ia memberikan makna pada hidupnya sendiri.
Saya sering bertanya-tanya, apa yang membuatnya terus bertahan. Apa yang membuatnya tetap menghadapi hari-hari yang monoton, pekerjaan yang sama, rutinitas yang mengikat? Jika saya bertanya, ia hanya akan tersenyum, dan senyum itu, entah bagaimana, seperti jawaban yang penuh namun tak pernah habis. "Karena hidup memang begini," katanya suatu waktu, seolah tidak ada penjelasan lain yang lebih masuk akal. Ia mungkin tidak peduli pada kata-kata yang kita gunakan untuk menggambarkan hidup, tentang "arti" atau "makna."
ADVERTISEMENT
Bapak hanya tahu, hidup adalah proses, sebuah proses yang tidak pernah selesai, tidak pernah lengkap, dan justru di situ letak keindahannya. Bapak adalah manusia yang menolak memaknai dunia dengan penuh drama. Ia menghadapi hidup dengan ketenangan, melihat dunia dengan kacamata yang jelas, tanpa ilusi. Ia menyadari bahwa setiap orang harus menentukan jalannya sendiri, harus menerima hidup dengan semua ketidakpastiannya.
Sebagai anak, mungkin saya menginginkan jawaban-jawaban yang lebih indah, lebih bermakna, tapi bapak tidak pernah berusaha memuaskan keinginan itu. Dalam caranya sendiri, ia mengajarkan bahwa hidup bukanlah sesuatu yang bisa dipecahkan seperti teka-teki; hidup harus dijalani, diterima, dan dihormati. Ketika saya duduk bersamanya di sore yang sepi, saya merasakan sesuatu yang lebih dari sekadar kasih sayang antara bapak dan anak.
ADVERTISEMENT
Saya merasakan persekutuan dalam sunyi, dalam kehadiran yang tak membutuhkan alasan. Mungkin bapak tidak pernah membaca Camus atau Hemingway, tapi ia tahu betul apa yang mereka coba katakan dalam tulisan mereka. Bahwa hidup adalah perjalanan yang hanya bisa dijalani satu langkah demi satu langkah, tanpa jaminan, tanpa kepastian.
Dan di situlah saya menemukannya. Tanpa kata-kata besar, tanpa filosofi yang berat, ia menjalani hidup dengan penerimaan penuh, dengan kesederhanaan yang dalam, yang mungkin baru akan benar-benar saya pahami ketika tua nanti, atau mungkin, tidak akan pernah.