Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.89.1
Konten dari Pengguna
Keraton Solo : Masihkah ada Kekuasaan di Era Modern?
22 November 2024 18:37 WIB
·
waktu baca 5 menitTulisan dari Gilang Ramadhan aldzakiri tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Keraton Surakarta, yang berdiri megah di tengah Kota Solo, adalah salah satu ikon cagar budaya paling berharga di Indonesia. Bangunan ini tidak hanya menjadi saksi bisu perjalanan sejarah bangsa, tetapi juga pusat pelestarian adat dan tradisi Jawa. Kompleks keraton memiliki beberapa bagian yang kini dijadikan museum. Museum ini menyimpan berbagai peninggalan bersejarah yang mencerminkan kejayaan era kerajaan.
ADVERTISEMENT
Walaupun Keraton Surakarta tidak lagi memiliki kekuasaan administratif sejak pertengahan abad ke-20, keberadaannya tetap memainkan peran penting dalam menjaga identitas budaya masyarakat Jawa. Tradisi dan adat istiadat yang diwariskan secara turun-temurun oleh keluarga keraton masih dijalankan dengan khidmat hingga saat ini. Lebih dari itu, tradisi ini juga melibatkan masyarakat umum, menciptakan hubungan yang erat antara keraton dan rakyat.
Perjalanan Keraton Surakarta bermula dari peristiwa besar yang melibatkan perpindahan pusat kerajaan Mataram Islam dari Kartasura ke Desa Sala. Perpindahan ini terjadi karena kekalahan Mataram Islam dalam peristiwa Geger Pecinan pada masa pemerintahan Amangkurat II. Setelah perpindahan, Desa Sala diubah namanya menjadi Surakarta, yang kemudian menjadi pusat pemerintahan baru.
Namun, sejarah Surakarta tidak lepas dari intrik politik dan perpecahan internal. Kolonial Belanda memainkan peran besar dalam melemahkan kerajaan melalui strategi adu domba. Akibatnya, pada tahun 1755, terjadi Perjanjian Giyanti yang membagi Mataram Islam menjadi dua kerajaan: Kasunanan Surakarta Hadiningrat dan Kesultanan Ngayogyakarta Hadiningrat. Perpecahan ini menandai berakhirnya kekuatan penuh Mataram Islam sebagai kerajaan yang utuh dan menjadi tonggak penting dalam sejarah Keraton Surakarta.
ADVERTISEMENT
Meskipun tetap berdiri megah, kekuasaan Keraton Surakarta mengalami akhir yang tidak lepas dari perubahan sosial dan politik di masa modern. Pada awal kemerdekaan Indonesia, muncul gerakan anti-swapraja yang menuntut penghapusan sistem pemerintahan feodal di Surakarta. Sistem feodal ini dianggap merugikan rakyat karena memberikan kekuasaan yang tidak terbatas kepada keraton.
Pada tahun 1946, status Daerah Istimewa Surakarta (DIS) dihapus, dan wilayah ini menjadi bagian dari Provinsi Jawa Tengah. Keraton kehilangan kekuasaan administratifnya, tetapi tetap dihormati sebagai penjaga adat dan budaya. Sejak saat itu, peran keraton berubah menjadi simbol budaya yang melestarikan tradisi Jawa di tengah modernisasi.
Saat ini, Keraton Surakarta tidak lagi berfungsi sebagai pusat pemerintahan. Namun, perannya sebagai penjaga adat dan budaya tetap relevan. Berbagai upacara adat masih rutin diselenggarakan, seperti Kirab Malam Satu Suro, Grebeg Besar, Grebeg Pasa, dan Sesaji Mahesa Lawung. Upacara-upacara ini tidak hanya menarik perhatian masyarakat setempat, tetapi juga wisatawan dari berbagai daerah yang ingin menyaksikan tradisi Jawa secara langsung.
ADVERTISEMENT
Keluarga keraton, meskipun kini hidup di tengah masyarakat biasa, tetap dianggap sebagai simbol budaya Jawa. Mereka menjadi tokoh masyarakat yang dipercaya menjaga kelangsungan tradisi, bahkan dalam konteks kebijakan pemerintah. Misalnya, setiap kebijakan pemerintah daerah sering kali mempertimbangkan nilai-nilai budaya yang dijaga oleh keraton agar selaras dengan identitas lokal masyarakat Surakarta.
Generasi muda keluarga keraton menghadapi tantangan besar dalam mempertahankan tradisi di era globalisasi. Kehidupan modern yang semakin bebas sering kali bertabrakan dengan adat ketat yang menjadi ciri khas keraton. Publik memiliki ekspektasi tinggi terhadap keluarga keraton untuk tetap menjadi teladan dalam menjaga nilai-nilai budaya Jawa. Namun, aturan keraton yang sangat tradisional sering kali tidak sejalan dengan gaya hidup generasi muda yang lebih terbuka.
ADVERTISEMENT
Tekanan sosial ini membuat generasi penerus keraton berada di persimpangan. Di satu sisi, mereka dituntut untuk mempertahankan warisan budaya; di sisi lain, mereka juga ingin hidup seperti masyarakat modern pada umumnya. Tidak sedikit generasi muda keraton yang merasa kesulitan menyeimbangkan peran sebagai penjaga tradisi dengan kebutuhan pribadi mereka sebagai individu di era modern.
Selain itu, posisi keluarga keraton dalam masyarakat modern juga tidak lagi sekuat sebelumnya. Akses mereka terhadap pendidikan, ekonomi, dan politik kini setara dengan masyarakat biasa. Bahkan, tidak semua keturunan keraton hidup dalam kondisi ekonomi yang mapan. Sebagian dari mereka harus menghadapi realitas hidup yang sulit, termasuk tantangan ekonomi yang sama dengan masyarakat kelas bawah.
Meskipun menghadapi berbagai tantangan, Keraton Surakarta tetap menjadi identitas yang tidak terpisahkan dari Kota Solo. Prosesi adat yang diadakan secara rutin, seperti kirab dan grebeg, masih mendapatkan antusiasme tinggi dari masyarakat. Upacara-upacara ini tidak hanya berfungsi sebagai pelestarian tradisi, tetapi juga menjadi daya tarik wisata yang mendukung perekonomian lokal.
ADVERTISEMENT
Keraton juga menjadi simbol keberlanjutan budaya Jawa di tengah modernisasi. Dukungan dari pemerintah kota, dinas kebudayaan, dan masyarakat menjadi kunci keberlangsungan keraton sebagai cagar budaya. Hubungan timbal balik yang baik antara keraton dan pemerintah menjadikan Surakarta tetap dikenal sebagai pusat budaya Jawa, dengan keraton sebagai poros utamanya.
Keraton Surakarta adalah lebih dari sekadar bangunan bersejarah. Ia adalah simbol kekayaan budaya, identitas lokal, dan penjaga tradisi di tengah perubahan zaman. Meskipun perannya telah berubah dari pusat kekuasaan menjadi situs budaya, eksistensinya tetap dihormati dan dijunjung tinggi. Generasi penerus keraton kini menghadapi tantangan besar dalam menjaga tradisi di tengah modernisasi, tetapi dukungan masyarakat dan pemerintah memberikan harapan bahwa warisan budaya ini akan terus lestari.
ADVERTISEMENT
Keraton Surakarta bukan hanya milik keluarga kerajaan, tetapi juga milik masyarakat yang bangga akan sejarah dan tradisi mereka. Dengan menjaga hubungan harmonis antara modernitas dan adat, keraton akan tetap menjadi ikon budaya yang mempersatukan masyarakat Solo di masa kini dan masa depan.