Konsep Gender di Indonesia: Not-so Binary!

Gina Fahira Febriyanti
Mahasiswa Program Studi Ilmu Politik, Universitas Padjadjaran.
Konten dari Pengguna
4 Mei 2022 15:49 WIB
·
waktu baca 4 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Gina Fahira Febriyanti tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Sumber: Freepik.com
zoom-in-whitePerbesar
Sumber: Freepik.com
ADVERTISEMENT
Gender dan seks merupakan dua hal yang berbeda. Di mana, masyarakat Indonesia dikenal menjunjung tinggi konsep biner gender (maskulin dan feminin) dan seksualitas (laki-laki dan perempuan). Namun apakah konsep gender di Indonesia benar-benar bersifat biner?
ADVERTISEMENT
Ketika membahas tentang homoseksual dan ambiguitas gender, banyak yang akan mengatakan bahwa ini adalah konsep yang berasal dari pengaruh Barat sebagai akibat dari adanya globalisasi dan modernisasi. Namun faktanya, Indonesia memiliki sejarah tentang keragaman gender dan praktik seks jauh sebelum adanya kolonialisasi oleh bangsa Barat.
1. Gender Ketiga Masyarakat Toraja
Orang Toraja yang tinggal di Sulawesi Selatan mengenal konsep gender ketiga yang disebut dengan To burake. To burake merujuk pada laki-laki secara biologis yang berpakaian seperti perempuan (to burake tattiu’) atau sebaliknya (to burake tambolang).
Menurut antropologis, Hetty Nooy-Palm, orang Toraja percaya bahwa perempuan dan/atau laki-laki yang berdandan seperti perempuan merupakan pemimpin agama yang paling penting dalam kebudayaan mereka. Hal ini dipercaya bahwa mereka memainkan peran penting dalam upacara keagamaan yang berkaitan dengan pola bercocok tanam di sawah. Sawah yang diberkati oleh To burake diyakini akan melalui proses yang lancar, baik, dan memberikan hasil yang banyak.
ADVERTISEMENT
Walaupun demikian, keberadaan keragaman gender ini telah lama memudar karena faktor kolonialisme. Ketika agama Kristen masuk ke Toraja, ia membawa pengaruh besar dalam membentuk berbagai kebiasaan dan adat istiadat baru yang dianut hingga saat ini, termasuk halnya penghapusan atau perubahan ritual tertentu.
2. 5 Konsep Gender Masyarakat Bugis
Bugis adalah kelompok etnis utama yang berada di Sulawesi Selatan. Di mana, terdapat lima konsep gender yang diakui eksistensinya oleh masyarakat Bugis, antara lain:
ADVERTISEMENT
Kolonialisme pun membawa perkembangan kebangkitan agama Islam yang menyebabkan penurunan signifikansi Bissu. Hal ini disebabkan karena doktrin Bissu bertentangan dengan ajaran dan tradisi Islam.
3. Reog Ponorogo
Dalam tradisi Reog di Jawa Timur, khususnya Kabupaten Ponorogo, menceritakan tentang hubungan intim antara dua karakter, warok dan gemblak. Warok merupakan penari laki-laki utama yang harus mengikuti aturan maupun ritual fisik dan spiritual yang ketat. Diyakini untuk menjaga mistik dan pengetahuan agar tetap murni, warok dilarang berhubungan seksual dengan wanita. Seperti yang tercantum dalam Serat Centhini,
Akibatnya, warok harus mengambil anak laki-laki (8-16 tahun) sebagai gemblak atau pendamping warok. Gemblak biasanya disimpan oleh warok dalam rumah tangganya berdasarkan kesepakatan dan ganti rugi kepada keluarga anak. Warok dapat menikahi seorang wanita sebagai istri mereka, tetapi mereka mungkin masih memiliki gemblak.
ADVERTISEMENT
Namun saat ini, karakter gemblak mulai dimainkan oleh perempuan karena banyaknya intervensi dari tokoh agamawan yang menganggap praktik “homoseksual” bukan merupakan suatu hal yang normal, melainkan “heteroseksual” lah yang normal. Akan tetapi, Reog Ponorogo adalah contoh menarik dari campuran mistisisme, seni simbolik, dan spektrum seksualitas yang beragam.
Secara keseluruhan, dapat dikatakan bahwa kolonialisme oleh bangsa Barat pun telah meredefinisikan konsep gender dan praktik seksual menurut agama dan konstruksi nilai-nilai sosial. Seperti halnya proses globalisasi dan modernisasi yang memberikan konseptual baru mengenai gender, yaitu lesbian, gay, transgender, queer, dan interseks.
Meskipun banyak yang telah berubah, memahami sejarah Indonesia yang kaya akan keragaman gender memberi kita banyak hal untuk direnungkan. Terlepas dari apakah seseorang setuju dengan konstruksi gender biner maupun non-biner, harus diakui bahwa alih-alih ‘impor Barat’, konsep gender ini telah lama ada dan memainkan peran penting dalam kebudayaan Indonesia.
ADVERTISEMENT