Konten dari Pengguna

Ketahanan Pangan Papua: Janji Food Estate vs. Realita

Gina Safitri
Mahasiswa Aktif Jurusan Ilmu Komunikasi Universitas Sultan Ageng Tirtayasa
23 September 2024 9:45 WIB
Ā·
waktu baca 4 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Gina Safitri tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Foto hanyalah ilustrasi (Foto: Ā©[gettyimages] via Canva.com)
zoom-in-whitePerbesar
Foto hanyalah ilustrasi (Foto: Ā©[gettyimages] via Canva.com)
ADVERTISEMENT
Ketahanan pangan selalu menjadi isu strategis di Indonesia, sebuah negara dengan populasi yang besar dan beragam. Salah satu pilar utama yang mendukung ketahanan pangan adalah ketersediaan pangan yang mencukupi dan merata di seluruh wilayah Nusantara. Namun, kenyataan di lapangan menunjukkan bahwa distribusi pangan di Indonesia belum sepenuhnya merata, dan Papua adalah salah satu daerah yang masih tertinggal dalam hal ini.
ADVERTISEMENT
Rencana pembangunan food estate di Papua yang digaungkan oleh pemerintah seharusnya menjadi angin segar bagi upaya pemerataan ketersediaan pangan di tanah air. Namun, di tengah berbagai tantangan yang dihadapi Papua, mulai dari infrastruktur yang minim hingga kondisi geografis yang sulit, banyak pihak yang skeptis akan efektivitas program ini.
Papua memiliki kekayaan alam yang melimpah dan luas wilayah yang mencapai 319.036 kmĀ². Namun, potensi ini belum dimaksimalkan. Data dari Badan Pusat Statistik (BPS) menunjukkan bahwa Papua dan Papua Barat masih bergantung pada pasokan pangan dari luar daerah, terutama beras. Menurut BPS, pada tahun 2023, Papua hanya mampu memproduksi sekitar 82.000 ton beras, sedangkan kebutuhan beras di provinsi tersebut mencapai lebih dari 300.000 ton per tahun. Artinya, lebih dari 70% kebutuhan beras Papua harus dipenuhi dari luar daerah.
ADVERTISEMENT
Pemerintah telah mencanangkan program food estate di Papua sebagai solusi untuk meningkatkan produksi pangan lokal. Pada tahun 2020, program ini mulai dijalankan dengan target mengembangkan 1,2 juta hektar lahan baru di Merauke sebagai kawasan lumbung pangan nasional. Namun, realita di lapangan menunjukkan bahwa program ini menghadapi berbagai kendala. Salah satunya adalah keterbatasan sumber daya manusia yang terampil dalam mengelola lahan pertanian, serta budaya bertani yang berbeda dengan daerah lain di Indonesia.
Nasib ketahanan pangan di Papua memang tampak semakin memprihatinkan jika melihat kenyataan yang ada. Meskipun Papua memiliki potensi besar, baik dari segi lahan maupun keanekaragaman hayati, masyarakat di daerah ini masih sering menghadapi kesulitan dalam mengakses pangan yang cukup dan bergizi. Beberapa wilayah di Papua, terutama di pegunungan, masih sering mengalami krisis pangan akibat faktor cuaca ekstrem dan terbatasnya akses logistik. Harga bahan pangan pokok di daerah-daerah terpencil bisa melambung tinggi, sehingga memberatkan masyarakat lokal yang sebagian besar hidup dalam kemiskinan.
ADVERTISEMENT
Ketersediaan pangan di Papua juga kerap terganggu oleh minimnya infrastruktur. Jalan-jalan penghubung antarwilayah yang belum sepenuhnya terbangun membuat distribusi pangan menjadi sangat mahal dan tidak efisien. Menurut laporan dari Badan Ketahanan Pangan Kementerian Pertanian, biaya distribusi pangan ke wilayah pegunungan Papua bisa mencapai tiga hingga empat kali lipat dibandingkan biaya di Pulau Jawa. Hal ini menyebabkan harga beras di beberapa wilayah Papua bisa mencapai Rp30.000 per kilogram, jauh lebih tinggi dibandingkan harga di wilayah lain di Indonesia.
Lebih dari itu, pendekatan top-down yang sering diterapkan dalam pembangunan lumbung pangan di Papua terkadang mengabaikan kearifan lokal dan kebutuhan masyarakat setempat. Sebagai contoh, proyek food estate di Papua menghadapi tantangan dalam hal pengelolaan lahan, karena sebagian besar lahan yang ditargetkan berada di wilayah adat. Hal ini menimbulkan resistensi dari masyarakat lokal yang merasa hak atas tanah adat mereka tidak dihormati.
ADVERTISEMENT
Papua membutuhkan solusi yang lebih komprehensif dan holistik dalam mencapai ketahanan pangan. Pembangunan lumbung pangan harus disertai dengan peningkatan kapasitas sumber daya manusia, pembangunan infrastruktur yang memadai, dan penguatan pasar lokal. Pemerintah juga perlu lebih mendengarkan suara masyarakat Papua dalam merumuskan kebijakan pangan yang sesuai dengan kondisi dan kebutuhan mereka.
Dalam konteks ini, lumbung pangan di Papua bukan hanya soal membangun gudang penyimpanan beras atau ladang pertanian. Lebih dari itu, ini adalah soal membangun ketahanan pangan yang berbasis pada kemandirian lokal, dengan memperhatikan potensi dan tantangan yang ada di daerah tersebut. Jika tidak, program ini hanya akan menjadi janji kosong yang tidak mampu menjawab kebutuhan pangan di Papua dan, lebih luas lagi, di seluruh Indonesia.
ADVERTISEMENT
Pemerintah harus segera mengevaluasi pendekatan yang digunakan dalam pembangunan lumbung pangan di Papua. Jika tidak segera dibenahi, ketahanan pangan di tanah Papua akan terus menjadi mimpi yang sulit terwujud, dan rakyat Papua akan terus menghadapi kesulitan dalam mengakses pangan yang cukup dan berkualitas.