Sajak-sajak Gugur Taman Ismail Marzuki

Gina Yustika Dimara
Well-organized.
Konten dari Pengguna
13 November 2017 13:15 WIB
comment
3
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Gina Yustika Dimara tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Sajak-sajak Gugur Taman Ismail Marzuki
zoom-in-whitePerbesar
ADVERTISEMENT
(Foto dokumentasi pribadi milik Jose Rizal Manua)
“Ada yang berubah ada yang bertahan, karena zaman tidak bisa dilawan. Yang pasti, kepercayaan harus diperjuangkan."
ADVERTISEMENT
Butiran kata mutiara bermakna teramat dalam yang terlontar dari salah seorang penyair terbesar yang pernah dimiliki negeri ini, Chairil Anwar. Zaman berubah itu pasti, tetapi tidak dengan kepercayaan.
Terhimpit di tengah-tengah kemunafikan Ibu Kota di antara hutan beton menjulang serta desing mesin kendaraan bermotor, masih adakah pihak-pihak yang memperjuangkan kepercayaannya?
Potret perjuangan untuk mempertahankan keyakinan di tengah perubahan zaman itu tercermin dalam evolusi Taman Ismail Marzuki (TIM), sebuah tempat yang dibangun sebagai pusat kesenian dan kebudayaan di Jakarta. TIM diresmikan oleh Gubernur DKI Jakarta ke-9, Ali Sadikin, pada 10 November 1968.
Ruh TIM sebagai sebuah pusat kesenian tampak memiliki akar fondasi yang kuat. Melihat dari konteks sejarah pembangunannya saja, setidaknya ada tujuh seniman dan budayawan nasional yang turut dilibatkan dalam proses yang barlangsung sekitar lima dekade yang lalu itu.
ADVERTISEMENT
Nama-nama besar dengan karya ikonik pernah lahir dari tempat ini. Teater berjudul “Bip Bop” karya W.S Rendra pada 1972 menjadi salah satunya.Kesenian lain adalah konser piano bertajuk “Sumbat” karya Selamet Abdul Sjukur serta pentas tari berjudul “Sanggita Pancasona” karya Sardono W. Kusumo.
Tak hanya itu, TIM kala itu bahkan juga menjadi panggung bagi seniman dunia ternama seperti koreografer modern asal Amerika Serikat seperti Martha Graham (tampil 1974) atau Alwin Nikolais (1979), koreografer Jerman Pina Bausch (1974) dan pertunjukan kelompok butoh pertama di Indonesia, Byakkosha (1981).
Namun, seiring berjalannya waktu, masa keemasan TIM berangsur memudar. Sebuah kemegahan khas yang dimiliki sebagai sebuah pusat kesenian, kini tampak mulai kehilangan jati dirinya.
ADVERTISEMENT
Suasana tumpang tindih antara estetika bangunan baru dalam nuansa minimalis, seolah begitu kontras dengan keberadaan gedung-gedung terdahulu yang tampak mulai tidak terawat. Bergesernya daya tarik utama TIM sebagai pusat kesenian menjadi lokasi foto instan andalan remaja kekinian, hanyalah satu dari sekian banyak hal faktor yang membuat gairah seni di lokasi ini menjadi semakin redup.
Keresahan akan perubahan wajah TIM dirasakan mayoritas seniman yang sehari-hari beraktivitas di lingkungan itu. Salah satunya adalah Jose Rizal Manua (63), seorang pujangga, pendiri kelompok teater, dan dosen di Institut Kesenian Jakarta (IKJ) sekaligus pemilik Galeri Buku Bengkel Deklamasi yang terletak di kawasan TIM.
Ketika disambangi kumparan (kumparan.com), Jose bercerita banyak hal tentang perubahan yang terjadi di TIM baik dari segi infrastruktur maupun birokrasi yang ada saat ini. Menurutnya, TIM sudah mengalami banyak perubahan dari segi infrastruktur. Beberapa bangunan seperti Teater Arena, Teater Tertutup, Teater Terbuka, dan Wisma Seni kini sudah berganti wujud, tergantikan oleh bangunan-bangunan baru.
Sajak-sajak Gugur Taman Ismail Marzuki   (1)
zoom-in-whitePerbesar
“Kalau gedung – gedung yang lama itu sangat Indonesia. Bentuknya juga sangat Indonesia dan sangat fungsional untuk teater modern, untuk kesenian modern. Tidak hanya teater, tari, musik, seni rupa, sastra, semua. Gedung-gedung itu sangat efektif dan sangat baik, tapi malah diubah seperti ini. Jadi, kesannya kurang familiar, kurang mencerminkan Indonesia. Kehilangan ‘ke-Indonesiaan-nya’,” ujar Jose.
ADVERTISEMENT
Hal lain yang menjadi kegelisahannya adalah karena pihak pengelola tak melibatkan para seniman yang kerap menghidupkan TIM dengan berbagai kegiatan seninya. Mereka seperti di-anak tirikan.
Kondisi itu bertolak belakang dengan kebijakan Pemerintah Provinsi (Pemprov) DKI Jakarta ketika melibatkan para seniman dalam masa perancangan dan peresmian pada 1967-1968. Menurutnya, keterlibatan seniman itu berakhir saat Ali Sadikin selesai menjabat sebagai Gubernur Jakarta.
Mahalnya Harga Sewa
Perubahan di TIM, lanjut Jose, tak hanya meliputi segi infrastruktur, tetapi juga hingga menyasar kepada harga sewa gendung. Padahal, dahulu terdapat mekanisme kerjasama antara seniman dan pengelola TIM serta subsidi silang, sehingga para seniman tidak perlu membayar sewa gedung, dan cukup dengan pembagian persentase saja.
Seiring mahalnya harga sewa gedung, Jose menilai ada celah yang kemudian dimanfaatkan oleh pihak luar. Saat ini, kata Jose, banyak pihak swasta yang menyewa gedung-gedung TIM tanpa memerhatikan kualitas.
ADVERTISEMENT
“Anak-anak sekolah misalnya, kok bisa gampang sekali menyewa tempat ini. Akhirnya seniman-seniman yang idealis yang punya karya-karya tidak berdasarkan pasar, itu sulit dapat pertunjukkan. Karena mereka sulit cari sponsor dan tidak mampu bayar sewa,” ucapnya.
Achmad Zain, seniman asal Kendari, Sulawesi Tenggara, bahkan harus memainkan sandiwara yang terinspirasi dari puisi reportase kematian karya Irianto Ibrahim, di atas tanah beralaskan conblock. Ia mengaku tak mampu membayar sewa termurah untuk gedung pertunjukan kecil seharga Rp 3 juta per harinya.
Seniman lain yang mengutarakan keluh kesahnya akan perubahan wajah TIM adalah I Gusti Kompiang Raka, seorang maestro seni musik tradisional (gamelan) dan tari Bali. Ia mengaku memahami perubahan infrastruktur di TIM tak lepas dari upaya untuk mengikuti perkembangan zaman. Akan tetapi, hal itu tak lantas menghilangkan identitas aslinya.
ADVERTISEMENT
Pria yang mendirikan Yayasan Saraswati pada 1986 ini juga mengkritisi birokrasi yang membalut TIM saat ini. Jika dahulu tempat tersebut dikelola oleh para seniman dengan bantuan biaya dari pemerintah, kini TIM dikelola penuh oleh Dinas Pariwisata dan Kebudayaan DKI Jakarta.
Sajak-sajak Gugur Taman Ismail Marzuki   (2)
zoom-in-whitePerbesar
“Pihak pengelola TIM harusnya adalah orang yang paham manajemen dan memiliki jiwa seni. Tapi, kalau sekarang seperti birokrasi kepegawaian saja, tidak diperlukan orang yang mengerti kesenian atau tidak,” tegasnya.
Tak hanya merasa menjadi anak tiri, para seniman juga merasa kehilangan induk di TIM. Tak ada pihak yang memayungi mereka, sehingga akhirnya berjalan sendiri-sendiri. Biasanya, lanjut Kompiang, setiap satu tahun sekali seniman diajak oleh Dewan Kesenian Jakarta (DKJ) untuk menghadiri forum pertemuan guna membahas agenda penjadwalan yang akan tampil di TIM selama satu tahun kedepan. Akan tetapi, hal itu tak lagi dilakukan pada beberapa tahun belakangan ini.
ADVERTISEMENT
Atas dasar itulah, Kompiang lebih setuju dengan sistem pengelolaan TIM sebelumnya yaitu pemerintah menyiapkan gedung serta fasilitas penunjang lainnya, sementara seniman diberikan kepercayaan untuk mengelola.
"Dulu, yang bisa tampil di TIM itu orang-orang dengan karya-karya pilihan. Bisa tampil di TIM itu bangganya bukan main. jadi kebanggaan bisa tampil di TIM itu bukan main. Tapi, kalau sekarang, asal punya duit, semua orang bisa tampil,” keluhnya.
Kerusakan
Hal senada diungkapkan oleh seniman teater, Cak Kacung, yang telah 18 tahun beraktivitas di TIM. Menurutnya, perubahan TIM mulai terjadi semenjak periode 1995-1996. Mulai dari diruntuhkannya bangunan-bangunan bersejarah hingga terbaru adalah pemindahan patung Ismail Marzuki ke belakang bangunan pada bulan lalu.
"Pada 1980-1990, bahkan sampai 1996 akhir, saat-saat itu TIM bisa dikatakan sebagai barometer seni,” kenang Cak Kacung.
ADVERTISEMENT
Namun, perubahan demi perubahan terus terjadi tanpa adanya keterlibatan seniman di dalamnya. Pihak pengelola pun seperti menghindar setiap kali ditanya seputar pembangunan gedung-gedung baru.
“Saya juga coba mengajak banyak seniman-seniman muda untuk peduli terhadap masalah yang ada di TIM. Tapi, mereka kebanyakan menolak. Mereka tidak perduli dengan perubahan TIM. Karena itu, akhirnya saya lebih sering bergerak sendiri,” ucapnya.
Saat ini, TIM tercatat memiliki total enam teater yakni Teater Besar, Teater Kecil, Graha Bakti Budaya, Gedung Kesenian Jakarta, Gedung Kesenian Miss Tjijih dan Gedung Wayang Orang Bharata. Ditambah dengan dua Plaza yang terletak di area Teater Jakarta yaitu Plaza Ismail Marzuki dan Plaza Teater Kecil. TIM juga memiliki dua galeri untuk memamerkan hasil kesenian di Galeri Cipta I dan Galeri Cipta III.
Sajak-sajak Gugur Taman Ismail Marzuki   (3)
zoom-in-whitePerbesar
Teater Jakarta yang merupakan bangunan terbaru di kawasan TIM memiliki dua teater yang dapat digunakan yaitu Teater Besar dan Teater Kecil. Teater Besar adalah teater berskala international yang memiliki kapasitas tempat duduk untuk 1.200 orang dan dilengkapi dengan fasilitas akustik, panggung hidrolik dan suara audio-visual yang modern.
Sajak-sajak Gugur Taman Ismail Marzuki   (4)
zoom-in-whitePerbesar
Masih di bangunan yang sama, Teater Kecil memiliki kapasitas 240 penonton yang dilengkapi dengan audio visual, akustik, pencahayaan, ruang latihan, gudang dan kamar pendukung. Teater Kecil juga memiliki fitur sistem hidrolik yang menarik di dalam kursi penonton, memungkinkan kinerja seni yang fleksibel.
ADVERTISEMENT
Beranjak ke gedung lainnya, Graha Bakti Budaya, yang diresmikan pada 1983. Teater ini memfasilitasi hingga 800 penonton dengan mengusung konsep kuat dalam genre seni tradisional, pop, modern dan kontemporer. Sementara, Gedung Kesenian Jakarta merupakan bangunan warisan pemerintah Belanda yang bisa memfasilitasi kapasitas 450 tempat duduk.
Sajak-sajak Gugur Taman Ismail Marzuki   (5)
zoom-in-whitePerbesar
Kemudian, Gedung Kesenian Miss Tjijih yang merupakan gedung seni dengan kapasitas 280 tempat duduk. Fungsi dari gedung ini untuk melestarikan kesenian Sunda. Terakhir, Gedung Wayang Orang Bharata yaitu ruang pertunjukan dengan fasilitas 277 penonton. Biasanya dikhususkan untuk kesenian tradisional dalam skala kecil dan pertunjukan tarian sanggar.
Meski gencar melakukan perubahan, deretan gedung di TIM tampaknya tak serta-mereta bisa lepas dari masalah. Ketika kumparan mengelilingi area seluas sekitar delapan hektar, kondisi bangunan dan lingkungannya seakan berbanding terbalik dengan kebesaran Ismail Marzuki sebagai seorang seniman besar asal Betawi. Sejumlah kerusakan terpampang begitu nyata sehingga cukup berpengaruh dari segi estetika dan fungsi.
ADVERTISEMENT
Teater Jakarta, misalnya. Bangunan yang diklaim sebagai gedung berskala internasional ini, cukup banyak mengalami kerusakan eksterior yang tak sedap dipandang mata seperti pengelupasan cat dan pengeroposan bangunan. Padahal, gedung tersebut merupakan bangunan terbaru di TIM setelah baru selesai dibangun pada 2009.
Sajak-sajak Gugur Taman Ismail Marzuki   (6)
zoom-in-whitePerbesar
Kerusakan terjadi bukan hanya di badan bangunan Teater Jakarta, kawasan sekitarnya pun tak kalah memprihatinkan. Kabel-kabel dan batu yang berserakan cukup menggangu pengunjung. Puncaknya adalah saat hujan turun yang membuat atap-atap bocor sehingga membahayakan para pejalan kaki.
Revitalisasi
Sederet perubahan yang terjadi pada wajah TIM tak lepas dari adanya masterplan dari Dinas Kebudayaan dan Permuseuman untuk penataan Pusat Kesenian Jakarta Taman Ismail Marzuki. Perubahan mencakup sarana dan prasarana itu dimulai satu per satu semenjak 1995 dengan digantikannya bangunan Teater Terbuka, Teater Tertutup, Teater Arena serta sejumlah bangunan lainnya menjadi Teater Jakarta.
ADVERTISEMENT
Masterplan ini sudah disetujui oleh Pemprov DKI dan komunitas-komunitas lainnya yang ada di TIM. Sebelumnya, TIM dikelola oleh Badan Pengelola (BP), sebuah yayasan non-Pegawai Negeri Sipil (PNS). Akan tetapi, sejak 2015, TIM dipindah tangankan ke Unit Pengelola PKJ TIM (UPT).
Kini, pihak UPT sedang merealisasikan sebuah revitalisasi di kawasan TIM. Perubahan itu termasuk penambahan fasilitas dalam gedung dan juga lingkungan TIM. Pihak UPT juga mulai melakukan renovasi-renovasi pada bangunan TIM, termasuk perbaikan pada atap-atap bocor di Teater Jakarta. Lalu, mengganti material atap pada Gedung Bakti Budaya dari asbes menjadi alumunium.
Dari segi landscape, jalan dan trotoar sudah diperbaiki dan dipercantik dengan pengecoran. Ruang hijau pun ditambah dan diperbanyak. Pihak UPT pun akan menambah pencahayaan pada kawasan landscape dengan menambahkan lampu-lampu disekitar tiang-tiang di area parkir.
ADVERTISEMENT
Selain permasalahan perubahan dari segi fisik, pihak UPT juga menegaskan bahwa perubahan sistem birokrasi di TIM dilakukan berawal dari hasil audit. BPK (Badan Pemeriksa Keuangan) menyatakan bahwa suatu organisasi itu tidak boleh berturut-turut menerima dana hibah, dan BPK menemukan bahwa BP sebagai organisasi tidak memenuhi syarat.
Sajak-sajak Gugur Taman Ismail Marzuki   (7)
zoom-in-whitePerbesar
“BPK menganggap dari segi anggaran kurang memenuhi syarat. Aset disini banyak sampai Rp 1 triliun lebih. 1,7 triliun mungkin sekarang. Itu berupa tanah. Satu meter tanah hilang saja di TIM, itu kerugiannya sangat besar. Makanya kami harus betul-betul mengamankan aset disini,” kata Ketua Tata Usaha Taman Ismail Marzuki, Verony Sembiring.
Verony mengakui perubahan dari segi birokrasi itu sempat mempengaruhi hubungan antara para seniman dan UPT. Hal itu dikarenakan bahwa beberapa pihak menganggap PNS tidak dapat mengelola sebuah pusat kesenian, dikarenakan latar belakang mereka. Namun, lanjut Verony, sistem birokrasi saat ini adalah bertujuan untuk mempermudahnya, termasuk dalam sistem pemakain galeri pameran yang tidak dikenakan biaya retribusi untuk para seniman.
ADVERTISEMENT
“Kalau dulu awalnya kita dulu sering di demo, mereka menolak. Saya gak tau, mungkin adanya semacam kepentingan. Karena DKJ, IKJ dan seniman-seniman yang sebelumnya itu sebenarnya mendukung sampai sekarang. Semua kebijakan pasti ada saja yang tidak setuju apapun yang kita lakukan itu pasti ada kelompok-kelompok yang tidak setuju. Tapi kalau yang saya lihat, sekarang ini cukup nyaman,” kata Verony.
UPT sendiri dibantu oleh banyak mitra dan komunitas untuk menjembatani dan mensosialisasikan transisi dari BP ke UP, salah satunya adalah DKJ. Dalam masalah pemakaian gedung teater misalnya, Verony menegaskan bahwa kewenangan bukan 100% ada pada keputusan UPT.
Menurutnya, UPT hanya bertugas menyeleksi dari segi administrasi, perizinan, identitas pemohon dan kelengkapan proposal. Sementara, untuk kurasi dan kelayakan penampilan berada dalam tangan DKJ.
ADVERTISEMENT
“Setiap proposal yang masuk ke kita, kita minta bantuan dari dewan kesenian dengan enam komitenya untuk mengkurasi. Layak atau tidak. Makanya kita kalau asal tidak akan habis-habis ini (yang ingin tampil di Teater Jakarta) karena cuma 30 juta dari pukul 06.00 sampai 23.00 WIB,” ucapnya.
Verony menyatakan bahwa selama ia menjabat, pihaknya belum pernah mendapatkan sebuah keluhan resmi dari seniman-seniman yang menentang perubahan tersebut. Ia pun berharap bahwa apabila memang ada keluhan dan masukan, dapat disampaikan melalui surat resmi. Karena ia yakin, UPT akan berupaya untuk menciptakan situasi yang menguntungkan untuk semua pihak.
Modernisasi
Meski dituding tak berpihak kepada para seniman, DKJ saat ini tengah berupaya melakukan sejumlah perbaikan. Mereka mengatakan kini tengah berupaya meminta revisi Pergub No.64 mengenai wewenang dari DKJ. Dengan revisi itu, mereka berharap DKJ yang tak tadinya hanya bertugas mengkurasi acara di TIM, dapat juga mengkurasi seluruh acara seni di Jakarta.
ADVERTISEMENT
DKJ sendiri meliputi enam komite kesenian, yakni sastra, musik, tari, film, seni rupa, dan teater. Dibentuk dengan melibatkan para seniman TIM, dan kemudian DKJ membentuk Akademi Jakarta (AJ) yang berguna untuk memilih anggota Dewan Kesenian Jakarta itu sendiri. Hingga saat ini DKJ berdiri secara independen, tidak di bawah naungan Pemprov DKI.
Ditemui di kantornya, Irawan Karseno, selaku ketua pengurus harian DKJ mengatakan dalam revisi Pergub tersebut pihaknya juga merencanakan agar dilibatkan dalam berbagai keputusan yang ada di TIM, baik itu dalam segi pembangunan maupun perubahan. Irawan menuturkan bahwa saat ini DKJ tidak terlalu dilibatkan dalam keputusan perubahan atau pembangunan infrastruktur yang ada di TIM.
"Seharusnya seniman diberitahu dan dilibatkan, karena bagaimana pun mereka kan usernya. Saat ini pihak UP memang memberitahu (seniman), tapi menurut saya belum maksimal," ujar Irawan.
Sajak-sajak Gugur Taman Ismail Marzuki   (8)
zoom-in-whitePerbesar
Ketika ditanya berkenaan dengan modernisasi yang dilakukan di TIM, Irawan menjelaskan bahwa modernisasi yang dilakukan di TIM itu sangat penting demi mengikuti perkembangan zaman. Perlunya perombakan gedung di TIM merupakan penyesuaian dengan gedung-gedung tinggi yang kini menjamur di sekitar TIM.
ADVERTISEMENT
Irawan tidak mempermasalahkan adanya modernisasi yang dilakukan di TIM. Ia justru mendukung penuh atas pembangunan tersebut. Sebaliknya, bagi pihak-pihak yang melakukan penolakan dinilainya hanya akan menghambat kepada kemajuan kesenian di Jakarta.
Meski demikian, Irawan berharap sistem birokrasi yang ada di TIM khususnya antara UPT, DKJ, dan seniman dapat terjalin dengan baik. Tidak ada lagi keputusan yang diambil secara sepihak tanpa mengkoordinasikan antara kedua belah pihak. Selain itu Irawan juga berharap, kedepannya TIM dapat bersaing secara International, dan menjadi salah satu landmark bagi Indonesia.
Sejarawan, Anhar Gonggong, menilai perubahan yang terjadi di TIM seharusnya mempunyai acuan pada nilai-nilai yang diutamakan oleh Ismail Marzuki. Selain itu, pemerintah juga seharusnya dapat lebih mempertimbangkan perubahan apa saja yang diperlukan.
ADVERTISEMENT
“Jadi perubahan itu untuk apa? Apa maksudnya? Tidak sembarang mengubah saja,” ucap Anhar.
“Kalau pun toh ada perubahan, harus sesuai dengan nilai-nilai yang ditanamkan oleh Ismail Marzuki. Tidak bisa ditinggalkan begitu saja,” tegasnya.
Selain itu, ia juga menambahkan bahwa perubahan di TIM tidak boleh meninggalkan unsur kreativitasnya. Baik kreativitas dari pihak pemerintah serta pihak pengelola, supaya TIM dapat kembali ke masa jayanya.
Ya, seperti apa yang dikatakan Chairil Anwar, zaman tak bisa dilawan. Karena itu, perubahan pada wajah TIM diperlukan guna menyesuaikan kepada perkembangan zaman.
Namun, tak elok juga rasanya jika perubahan itu semerta-merta menghilangkan wajah asli dari tempat bersejarah ini. Jangan sampai perubahan yang dimaksudkan untuk mengembalikan TIM ke masa keemasannya dahulu, malah membuat sajak-sajak yang kerap bergema berguguran bak daun di musim semi. Sampai akhirnya hilang satu per satu tersapu angin.
ADVERTISEMENT
Gina Yustika Dimara | Iqbal Dwiharianto | Hesti W | Sarah Yulianti Purnama | Habib Allbi Ferdian