Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2025 © PT Dynamo Media Network
Version 1.96.0
Konten dari Pengguna
Wedang Ronde Mbah Payem: Semangkuk Kehangatan di Tengah Kota Jogja
2 Februari 2025 9:48 WIB
·
waktu baca 3 menitTulisan dari Gita Talia tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Di sudut Jalan Kauman, tak jauh dari Alun-Alun Utara Kota Yogyakarta, sebuah gerobak sederhana menjadi saksi kehangatan yang dirasakan banyak orang. Wedang ronde Mbah Payem, minuman tradisional legendaris yang telah bertahan lebih dari setengah abad, menghadirkan rasa otentik dan cerita yang melampaui dari sekedar hidangan penghangat.
ADVERTISEMENT
Mbah Payem, seorang wanita tangguh, memulai usahanya pada tahun 1965. Bermodal resep turun-temurun dari Mbah Kakung, ia menjajakan wedang ronde di kampung Kauman dari harga 1.000 rupiah hingga kini 8.000 rupiah per-mangkuk. Mbah Payem telah tutup usia di umur 99 tahun pada 2021 lalu. Kini, meski beliau telah tiada, nama Mbah Payem tetap harum berkat kelezatan wedang rondenya yang tiada duanya.
“Wedang ronde ini menjadi pengingat bagi orang-orang tentang tradisi Jawa yang hangat dan sederhana,” ujar Yani (49) anak Mbah Payem yang sekarang melanjutkan usaha wedang ronde almarhumah.
Keunikan wedang ronde Mbah Payem terletak pada resep asli tradisional yang tetap dipertahankan, dengan semua bahannya yang serba dipilih dan di buat sendiri menciptakan rasa wedang ronde yang berbeda. Bola-bola ketan yang manis, kuah jahe hangat dengan sentuhan gula jawa, serta tambahan kolang-kaling dan taburan kacang tanah sangrai menciptakan harmoni rasa yang sulit dilupakan.
ADVERTISEMENT
Jahe yang digunakan pun dipilih secara khusus agar memberikan rasa pedas yang lembut, cukup untuk menghangatkan tubuh di malam hari. “Rahasia wedang ronde ini ada dibahan alami dan prosesnya yang penuh kesabaran, semua bahan serba dipilih untuk mendapatkan rasa yang khas, dan bisa dinikmati semua kalangan, ” tambah Yani.
Meski gerobaknya sederhana, pelanggan Mbah Payem datang dari berbagai kalangan. Mulai dari warga lokal hingga wisatawan mancanegara, semua rela antre untuk mencicipi wedang ronde yang legendaris ini. Bahkan, banyak pelanggan yang membawa keluarga mereka untuk merasakan nostalgia masa kecil di setiap suapan. " Waktu dulu itu pertama kali mbah jualan, Pak Soeharto dari Istana Merdeka sana, Pak Progo dari Palawijan sana, itu semua langganan wedang ronde di sini mba, " tutur Yani dengan penuh semangat menceritakan sejarah wedang ronde Mbah Payem.
ADVERTISEMENT
Banyak cerita berkesan dari pelanggan yang mengatakan bahwa wedang ronde Mbah Payem ini rasanya berbeda dengan yang lain. "Meskipun sekarang banyak yang jual Ronde, tapi memang rasanya paling khas dan pas di sini, rasanya asli masih jahe tidak ada tambahan perasa buatan, saya sering beli kalau anak-anak sakit batuk pilek buat obat alami, ya langsung sembuh, " ujar Marni (38) salah satu pembeli setia wedang ronde Mbah Payem.
Menikmati wedang ronde Mbah Payem tak hanya soal rasa, tetapi juga pengalaman. Suasana Kauman yang tenang, dengan lampu jalan temaram dan angin malam yang sejuk, memberikan momen yang sulit dilupakan. Bagi banyak orang, wedang ronde ini adalah pelipur lara, obat dari segala rindu di Jogja, teman bercengkerama, atau sekadar penghangat dinginnya malam di kota yang akrab dengan sebutan Kota Pelajar ini.
ADVERTISEMENT
Yani berharap usaha wedang ronde ini dapat terus dilestarikan oleh keluarganya kelak sebagai salah satu warisan turun-temurun dari mendiang Mbah Payem. Meski menghadapi tantangan modernisasi, ia percaya bahwa rasa otentik dan kehangatan tradisi akan selalu memiliki tempat di hati masyarakat.
Wedang ronde Mbah Payem bukan sekadar minuman jahe biasa, melainkan warisan budaya yang terus menyala di tengah modernisasi Yogyakarta. Bagi siapa pun yang ingin merasakan Jogja yang sesungguhnya, semangkuk wedang ronde di gerobak Mbah Payem adalah pengalaman berharga yang tak boleh dilewatkan.
“Di sini, setiap mangkuk bukan hanya menghangatkan tubuh, tapi juga hati,” tutup Yani.
Gita Talia, mahasiswa Broadcasting Ilmu Komunikasi AKRB Yogyakarta.