Konten dari Pengguna

Ulasan Novel Gadis Pantai Karya Pramoedya Ananta Toer

Gita Indah Cahyani
Mahasiswa Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
24 Oktober 2022 17:32 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Gita Indah Cahyani tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Sumber ilustrasi Gadis Pantai dari Peresensi dengan izin milik sendiri
zoom-in-whitePerbesar
Sumber ilustrasi Gadis Pantai dari Peresensi dengan izin milik sendiri
ADVERTISEMENT
Judul buku : Gadis Pantai
Penulis : Pramoedya Ananta Toer
ADVERTISEMENT
Tebal buku : 231 halaman
Penerbit : Hasta Mitra, Jakarta
Tahun terbit : 2000
Gadis Pantai adalah novel sastra karya Pramoedya Ananta Toer dan novel ini pertama kali dibukukan oleh Hasta Mitra pada tahun 1987 dan lalu dilarang oleh Jaksa Agung di tahun yang sama dengan alasan buku-buku itu (bersamaan dengan novel Sang Pemula) menyebarkan marxisme-leninisme yang terlarang (dikutip dari catatan penyunting pada edisi April 2000) . Lalu pada tahun 2000, Hasta Mitra kembali meluncurkan novel ini dalam edisi pembebasan. Gadis Pantai awalnya merupakan cerita bersambung di Lentera atau Bintang Timur di tahun 1962 sampai dengan 1965. Gadis Pantai juga telah diterjemahkan dalam bahasa Belanda dengan judul Het Meisje van het Strand oleh penerjemah Angela Rookmaker dan Alfred van der Helm dari penerbit Wereldvenster pada tahun 1989. Lalu mendapatkan edisi berbahasa Inggris dengan judul The Girl from the Coast oleh penerjemah Harry Aveling dalam penerbit Select Books Singapura pada tahun 1991.
ADVERTISEMENT
Dalam catatan penyunting pada tahun 1987 di novel ini, Pramoedya sedikit menjelaskan bahwa kisah ini adalah ‘hasil imajinasi saya pribadi tentang nenek saya dari pihak ibu, nenek yang mandiri dan yang saya cintai’. Gadis Pantai adalah novel yang terkait atau diangkat dari kenyataan dan pengalaman keluarga pengarang sendiri. Gadis Pantai adalah unfinished novel atau novel yang tidak selesai. Karena merupakan buku pertama dari satu rangkaian trilogi, sedangkan naskah buku ke-dua dan ke-tiga hilang-lenyap oIeh vandalisme politik 1965 dan sampai sekarang tidak dapat ditemukan dan dilacak kembali. Meskipun seluruh trilogi sudah rampung ditulis dalam tahun 1962, tetapi baru naskah pertama saja, Gadis Pantai, sempat diterbitkan sebagai feuilleton, cerita bersambung dalam suratkabar antara 1962-65.
ADVERTISEMENT
Novel ini memiliki alur yang maju dengan empat bagian atau babak. Dalam babak pertama menceritakan perkenalan tokoh yaitu si Gadis Pantai yang bahkan tidak dijelaskan namanya karena dalam keseluruhan novel pengarang merujuknya dengan Gadis Pantai. Di awal babak pertama, Gadis Pantai diperkenalkan sebagai gadis berusia 14 tahun dengan kulit langsat, tubuh kecil yang mungil, dan mata agak sipit yang menjadikannya bunga kampung nelayan. Gadis Pantai dinikahkan dengan Bandoro atau Priyayi yang ditinggal di kota Rembang. Dalam babak ini juga digambarkan mengenai karakter dari Gadis Pantai yang pada paruh awal babak diliputi ketakutan dan ketidak tahuan karena tiba-tiba berada di lingkungan baru dan juga gelar baru yaitu Mas Nganten. Lalu dalam pertengahan babak kita akan mengetahui jika Gadis Pantai memiliki karakter yang serba ingin tahu karena ia memiliki banyak penyartaan kepada Mbok-nya atau pelayan yang bertugas melayaninya dan Gadis Pantai seiringan dengan babak ini sangat menyayangi pelayannya karena menurut Gadis Pantai hanya Mboknya yang menemaninya dan Mboknya juga memiliki banyak cerita yang menjadi penghantar tidur Gadis Pantai. Gadis Pantai juga digambarkan sebagai gadis yang dikutip dari halaman 53 ‘Kemudian Gadis Pantai pun belajar menyulam, merenda, menjahit. Kecerdesan dan ketrampilannya menyukakan semua gurunya’.
ADVERTISEMENT
Lalu pada babak kedua, menceritakan setelah setahun Gadis Pantai menjadi istri dari Bendoro. Pada babak ini diperdalam lagi mengenai karakter dari Gadis Pantai yang semula pada awalnya sangat takut kepada Bendoro, kini Gadis Pantai mendapati dirinya merindukan suaminya yang memiliki banyak perkerjaan di luar, dikutip dari halaman 59 “Betapa ia rindukan suaminya yang baru pergi, baru saja, belum lagi sepuluh menit. Betapa ia sesali nasibnya tak pernah lama tinggal bersama Bendoro, suaminya, terkecuali beberapa malam dalam semingu.” Yang mana digambarkan oleh pengarang jika Gadis Pantai mengembangkan rasa kasih sayang kepada suaminya yang walaupun dulu ia sangat takuti. Dalam babak ini juga kita diperlihatan interaksi yang lebih dalam antar Gadis Pantai dengan Bendoro dan juga Gadis Pantai dengan Mboknya.
ADVERTISEMENT
Dalam interaksi Gadis Pantai dan Bendoro, tergambar jelas jika Gadis Pantai sangat menghormati dan segan kepada Bendoro. Walaupun begitu, ia sangat ingin mengetahui serba-serbi mengenai suaminya yang sekaligus juga tuan dan majikannya. Interaksi antara Gadis Pantai dan Bendoro lebih digambarkan dalam dialog dialog mereka yang dalam dialog tersebutpun begitu kental dengan rasa serah diri Gadis Pantai kepada Bendoro.
Lalu dalam pertengahan hingga akhir babak ini, terdapat konflik dimana adanya pencurian uang milik Gadis Pantai yang berujung pada pemecatan Mbok sebagai pelayan Gadis Pantai. Lalu dilanjutkan dengan adanya tokoh baru yaitu Mardinah, seorang janda berumur 14 tahun dari demak yang akan menjadi pelayan barunya. Merasa berasal dari kota dan Gadis Pantai hanya berasal dari desa, Mardinah kerap bertindak seakan ia lebih tinggi dan tidak menghormati Gadis Pantai yang adalah istri dari Bendoronya. Mardinah juga sering dengan sengaja menunjuk jika Bendoro tidaklah pantas beristrikan seorang dari kampung. Hal ini membuat kepiluan Gadis Pantai kian menjadi setelah ditinggal oleh Mboknya. Oleh karena itu Gadis Pantai meminta izin kepada Bendoro untuk menemui orang tuanya di desa. Lalu berangkatlah ia ke desa setelah diizinkan oleh Bendoro dengan syarat ia harus pergi bersama Mardinah untuk menjaganya.
ADVERTISEMENT
Lalu di babak ketiga, pada awal babak ini hanya berisi tentang perjalanan Gadis Pantai bersama Mardinah dan Kusir Dongkarnya. Sesampainya di desa, akhirnya Gadis Pantai dapat kembali melihat orangtuanya dan juga warga desanya yang ia rindukan. Gadis Pantai tidak melihat perubahan yang signifikan di dalam desanya selama dua tahun absennya dari desa itu. Namun walaupun begitu, Gadis Pantai merasakan kalut karena ada rasa kesenjangan antara dirinya yang seorang istri Bendoro dengan warga di desanya. Gadis Pantai sangatlah disambut oleh para warga desa nelayan Di dalam babak ini juga diperkenalkan tokoh yaitu si Dul Pendongeng dan Mak Pin.
Dalam pertengahan babak ini hadirlah konflik yang baru dimana Mardinah merupakan orang suruhan Bendoro Demak yang ditugaskan untuk membunuh Gadis Pantai agar Bendoro memiliki istri baru. Mardinah dijanjikan menjadi istri kelima Bendoro Demak jika berhasil menjalankan tugasnya. Namun perlakuan buruknya diketahui oleh warga desa sehingga ia dinikahkan dengan si Dul Pendongeng sebagai hukuman dan dia tidak bisa kembali ke kota.
ADVERTISEMENT
Lalu pada babak keempat akhirnya Gadis Pantai kembali ke kediaman Bendoro. Di dengarnya mengenai pembajakan di desa nelayan. Gadis Pantai yang diminta untuk merahasiakan kejadian ini dari Bendoro menjadi kalut dan terpaksa berbohong kepada Bendoro. Dan dari sinilah hubungan mereka yang sudah dari sananya tidak terjalin dengan baik menjadi kian merenggang.
Lalu akhirnya Gadis Pantai mengandung, dalam masa mengandungnya ia diliputi rasa malu dan gelisah. Ia merasa malu karena tidak ada wanitu hamil di desanya yang seperti dirinya yang menghabiskan tiga bulan memdekan di dalam kamarnya dan juga ia selalu di amuk rasa rindu kepada suaminya, namun Gadis Pantai juga menyadari jika dirinya hanyalah seorang budak sahaya yang bahkan Bendoronya sudah sangat jarang ada di rumah. Lalu Gadis Pantai melahirkan anak perempuan yang tentu tidak disambut telalu baik oleh Bendoronya dan walaupun begitu Gadis Pantai tetap menyayangi anaknya.
ADVERTISEMENT
Namun sayangnya, setelah melahirkan anaknya, bapaknya datang ke kota dan membawa berita jika Gadis Pantai telah diceraikan oleh Bendoro. Gadis Pantai pun diusir oleh Bandoro, Gadis Pantai yang hendak membawa kabur anaknya pun dihentikan oleh Bandoro karena Gadis Pantai dilarang untuk membawa bayinya. Oleh karena itu Gadis Pantai diusir dari kota tersebut dan dilarang untuk menginjakkan kakinya di kota itu. Gadis Pantai merasa sangat sedih dan ia tidak bisa melihat wajah ibunya karena malu. Ia juga malu kepada warga desanya. Lalu novel ini tamat dengan perginya Gadis Pantai dengan membawa dirinya sendiri menuju Blora, tempat Mboknya yang dulu di usir Bandoro.
Dari novel ini diketahui perkembangan karakter Gadis Pantai dari yang awalnya gadis polos tidak tahu apa-apa yang takut kepada Bandoronya, lalu hadirlah rasa kasih sayangnya dan hormatnya kepada Bandoro sehingga ia menumpukan hidupnya kepada Bandoro, namun setelah ia sadar jika Bandoronya hanyalah lelaki tidak baik, Gadis Pantai bahkan berani memanggilnya ‘setan dan iblis neraka.’. Novel ini memiliki pengkarakterisasian yang kuat dan tersusun rapih pada diri Gadis Pantai sebagai tokoh utama yang menjadi pemberani dan tidak bersandar pada takdir semata.
ADVERTISEMENT
Banyak hal yang dapat kita ketahui mengenai novel ini terlebih dalam hal feodalisme yang dulu marak atau bahkan sekarang masih sering dijumpai. Feodalisme sendiri ialah penguasaan alat produksi oleh kaum pemilik tanah, raja dan para kerabatnya. Yang dari pengertian itu bisa kita lihat sendiri dari cara Bandoro memperlakukan pelayannya ataupun Gadis Pantai sendiri. Buku ini juga membahas berbagai macam kekerasan yang dialami wanita. Ada cerita mengenai kasus kerja rodi yang disiksa karena kelelahan, ada juga yang diceritakan bahwa ia menganggap dirinya pantas untuk direndahkan karena wanita boleh dipukul yang pada masanya merupakan polemik yang dianggap wajar.
Dalam novel ini juga tersirat jelas mengenai makna ‘memanusiakan manusia’ dimana tergambarkan jelas mengenai perbedaan pandangan antara orang kota ke orang kampung dan orang kampung ke orang kota. Pandangan orang ke kota mereka merasa ingin ditinggakan oleh orang kampung yang mana tindakan mereka sendiripun tidaklah patut untuk ditinggikan oleh orang kampung yang bahkan walaupun dilihat kotor mereka masih dapat memperlakukan manusia lebih baik dari orang kampung yang dapat terlihat dari bagaimana orang kampung memperlakukan Mardinah dan orang kota memperlakukan Mbok.
ADVERTISEMENT
Tidak ada kekurangan yang dapat peresensi temukan karena adanya perbedaan zaman dan pengetahuan peresensi yang belum banyak untuk dapat menemukan kekurangan dari buku ini. Hanya sangat disayangkan hilangnya dua kelanjutan dari novel ini. Satu kutipan yang sangat peresensi sukai adalah ‘"Nasib kitalah memang, Nak. Nasib kita. Seganas-ganas laut, dia lebih pemurah dari hati priyayi." Yang mana sangat menggambarkan garis beras dari keseleruhan novel ini.