Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.89.0
Konten dari Pengguna
Menyoal Pasal-pasal Krusial Revisi KUHP
30 Mei 2018 23:54 WIB
Diperbarui 14 Maret 2019 21:08 WIB
Tulisan dari Gitario V I tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Pembahasan Revisi Undang-undang KUHP masih berlanjut hingga saat ini di DPR. Ditargetkan RUU tersebut akan selesai pada 17 Agustus nanti. Ada beberapa pasal yang hingga saat ini belum selesai dirumuskan.
ADVERTISEMENT
Di antara beberapa pasal tersebut ada tiga pasal yang menuai perdebatan. Pertama yaitu mengenai perluasan pasal pidana asusila terkait kumpul kebo dan LGBT, kedua pasal tentang penghinaan presiden dan, ketiga pasal penghinaan terhadap hakim.
Berdasarkan jurnal ilmiah yang berjudul “Sejarah Pembentukan KUHP, Sistematika KUHP, dan Usaha Pembaharuan Hukum Pidana Indonesia “ KUHP merupakan peraturan perundang-undangan yang mengatur perbuatan pidana secara materiil di Indonesia.
KUHP yang diberlakukan pada saat ini bersumber dari hukum kolonial Belanda, yakni Wetboek van Strafrecht voor Nederlandsch-Indie (WvSNI) yang diberlakukan di Indonesia pertama kali dengan Koninklijk Besluit (Titah Raja) Nomor 33 15 Oktober 1915 dan mulai diberlakukan sejak tanggal 1 Januari 1918.
WvSNI sendiri merupakan turunan dari WvS negeri Belanda yang dibuat pada tahun 1881 diberlakukan di negara Belanda pada tahun 1886. Walaupun WvSNI adalah turunan dari WvS Belanda, namun pemerintah kolonial pada saat itu menerapkan asas konkordansi (penyesuaian) bagi pemberlakuan WvS di negara jajahannya. Ada beberapa pasal yang dihapuskan dan disesuaikan dengan kondisi dan misi kolonialisme Belanda atas wilayah Indonesia.
ADVERTISEMENT
Setelah Indonesia menyatakan kemerdekaannya pada tahun 1945, untuk mengisi kekosongan hukum pidana, pemberlakukan WvSNI menjadi hukum pidana Indonesia ini menggunakan Undang-undang Nomor 1 Tahun 1946 tentang Peraturan Hukum Pidana Indonesia. Dalam Pasal VI Undang-undang Nomor 1 Tahun 1946 disebutkan bahwa nama Wetboek van Strafrecht voor Nederlandsch-Indie diubah menjadi Wetboek van Strafrecht dan “dapat disebut Kitab Undang-undang Hukum Pidana”.
Oleh karena perjuangan bangsa Indonesia belum selesai pada tahun 1946 dan munculnya dualisme KUHP setelah tahun tersebut maka pada tahun 1958 dikeluarkan Undang-undang Nomor 73 Tahun 1958 yang memberlakukan Undang-undang Nomor 1 Tahun 1946 bagi seluruh wilayah Republik Indonesia.
Lalu KUHP yang merupakan warisan Belanda yang diturunkan secara langsung dari hukum kolonial Belanda dinilai kurang sesuai dengan nilai agama, adat, dan kondisi demokrasi zaman reformasi.
ADVERTISEMENT
Dari beberapa poin penting terhadap pembahasan Revisi Undang-undang KUHP ada pasal-pasal krusial di mata publik yang menimbulkan perdebatan.
Hak Kebebasan Berpendapat
Pasal penghinaan presiden menuai kritik dari banyak kalangan, lantaran Mahkamah Konstitusi (MK) pada tahun 2006 pernah membatalkan Pasal 134 dan 136 KUHP tentang penghinaan kepala negara. MK beranggapan pasal tersebut bertentangan dengan Undang-Undang Dasar 1945. Lali pada tahun 2015, pasal ini kembali dimasukkan dalam RUU KUHP ke DPR RI untuk disetujui menjadi KUHP pada 5 Juni 2015.
Kini dalam RUKHP yang dibahas di Panja RKUHP, pasal penghinaan presiden dan wakil presiden kembali masuk. Ancaman pidananya yang diberikan yaitu maksimal selama 5 tahun atau denda paling banyak Rp 500 Juta. Dalam revisi UU KUHP, penghinaan presiden tertera di Pasal 262 hingga 264. Dikutip dari berita kumparan pada Rabu (30/5). Menurut Direktur Eksekutif Institute For Criminal Justice Reform (ICJR), Anggara menilai penerapan pasal tersebut tak relevan dalam revisi UU KUHP. Sebab draf KUHP lama yang berisi pasal penghinaan presiden berasal dari Belanda, padahal kondisi di Indonesia jauh berbeda dengan Belanda.
ADVERTISEMENT
Apakah nantinya rakyat tidak diperbolehkan mengkritik presiden jika presiden melakukan kesalahan? Padahal kritik itu sendiri nantinya akan menjadi jembatan antara rakyat dengan pemerintah untuk membantu kinerja pemerintah yang nantinya akan menuju ke arah yang lebih baik.
Pasal penghinaan presiden juga mungkin akan menciderai hak kebebasan berpendapat.
Ancaman Kebebasan Pers
Selain itu ada pula pasal penghinaan terhadap hakim yang menuai kontroversi karena ada kemungkinan laporan pidana terhadap wartawan yang memuat tulisan dan dianggap menghina pengadilan. Adapun pasal penghinaan terhadap hakim dimuat dalam pasal 329 yang berbunyi:
Dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun atau pidana denda paling denda paling banyak Kategori IV bagi setiap orang yang secara melawan hukum :
ADVERTISEMENT
a. Menampilkan diri untuk orang lain sebagai peserta atau sebagai pembantu tindak pidana, yang karena itu dijatuhi pidana dan menjalani pidana tersebut untuk orang lain;
b. Tidak mematuhi perintah pengadilan yang dikeluarkan untuk kepentingan proses peradilan.
c. Menghina hakim atau menyerang integritas atau sifat tidak memihak hakim dalam sidang pengadilan atau
d. Mempublikasikan atau memperbolehkan untuk dipublikasikan segala sesuatu yang menimbulkan akibat yang dapat mempengaruhi sifat tidak memihak hakim dalam sidang pengadilan.
Lantas bagaimana dengan hak kebebasan pers, karena Berdasarkan draf RKUHP versi rilisan 2 Februari 2018, ketentuan pidana yang berkaitan dengan pemberitaan terdapat pada pasal 285 ayat 1 dan 2 serta pasal 305 huruf (d). Ketentuan itu bertentangan dengan UU Pers yang bersifat khusus. Di dalam UU Pers sudah mengatur mekanisme mengenai penyelesaian masalah pemberitaan. Berdasarkan UU Pers, Dewan Pers berwenang untuk menentukan sebuah berita yang bisa dianggap memuat perbuatan pidana atau hanya pelanggaran kode etik jurnalistik, atau justru tidak bermasalah. Bahkan UU Pers juga mengatur hak jawab dan hak koreksi sebagai solusi penyelesaian sengketa pemberitaan. Lagi-lagi apakah pasal di RKUHP berpotensi mengancam kebebasan pers?
ADVERTISEMENT
Pasal Terkait Perzinaan
Permasalahan LGBT dan kumpul kebo masih menjadi perdebatan hingga saat ini. Banyak reaksi yang muncul terkait permasalahan ini, diduga ada kubu yang pro dan kontra terkait pasal LGBT dan kumpul kebo. Ada yang menentang pasal tersebut dan ada juga yang setuju dan mendukung pasal tersebut.
DPR mengusulkan perluasan pemidanaan bagi para LGBT, meminta agar perbuatan homoseksual atau pelaku LGBT antar orang dewasa juga dapat dipidana.
Dalam pasal 488 yang masuk dalam bagian perzinaan, setiap orang yang melakukan hidup bersama sebagai suami istri di luar perkawinan yang sah, akan dikenai pidana penjara paling lama 1 tahun atau denda paling banyak Rp 50 juta. Dalam perkembangannya, pasal kumpul kebo ini diusulkan menjadi delik aduan.
ADVERTISEMENT
Polemik pun muncul, publik menilai perluasan pasal ini berpotensi melanggar batasan ranah privat seseorang.
Terlepas dari pasal-pasal yang ada di revisi KUHP tersebut, semoga saja para dewan dapat membuat Undang-undang yang adil dan menjawab semua permasalahan hukum yang ada di Indonesia.