Konten dari Pengguna

Keberadaan Standar Ganda di Ruang Pendidikan

Gita Indah Cahyani Sudigno
Mahasiswi Pendidikan Guru Pendidikan Anak Usia Dini, Fakultas Ilmu Pendidikan, Universitas Negeri Jakarta.
10 November 2021 15:43 WIB
·
waktu baca 4 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Gita Indah Cahyani Sudigno tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ilustrasi pendidikan Photo by MD Duran on Unsplash
zoom-in-whitePerbesar
ilustrasi pendidikan Photo by MD Duran on Unsplash
ADVERTISEMENT
Pendidikan merupakan salah satu ruang berekspresi, menggali potensi, meraih prestasi dan sebagai media apresiasi. Selama ini, pendidikan sudah menjadi bagian dari hidup manusia. Karena, melalui pendidikan dapat membentuk manusia menjadi pribadi yang berkualitas, bermoral dan berintegritas tinggi. Faktor pendukung kualitas pendidikan di antaranya ialah media pembelajaran, sarana prasarana, tenaga pendidik dan lain lain.
ADVERTISEMENT
Bagi saya, memperhatikan keamanan dan kenyamanan ruang pendidikan merupakan hal yang tak kalah penting. Bagaimana jika pergerakan kita di batasi oleh suatu penilaian tak adil yang dilakukan suatu kelompok? Salah satu faktor pembatas ruang gerak dalam lingkup pendidikan adalah penerapan standar ganda.
Apa itu Standar Ganda?
Double standard atau standar ganda yaitu suatu aturan, prinsip atau penilaian tak adil diterapkan dengan cara yang berbeda kepada individu atau kelompok pada situasi yang serupa. Pemahaman mudahnya, jika seorang laki-laki menangis maka akan dianggap lemah. Sebaliknya jika perempuan mengekspresikan emosinya melalui tangisan maka dianggap sebagai hal yang normal.
Jika kita membahas lebih jauh, standar ganda identik dengan gender. Banyaknya perlakuan atau sikap yang berbeda terjadi di masyarakat terhadap laki-laki atau perempuan. Menurut Foschi, 1996, dalam teorinya ‘Double standards theory’ menunjukkan bahwa seseorang menggunakan standar yang berbeda untuk membuat kesimpulan tentang kemampuan orang lain berdasarkan status sosial kelompok mereka. Anggota kelompok berstatus lebih rendah (minoritas) seperti perempuan mungkin dinilai dengan standar yang lebih ketat.
ADVERTISEMENT
Tanpa kita sadari, standar ganda juga diberlakukan dalam beberapa aspek seperti sosial dan politik. Setelah saya telusuri melalui pengalaman-pengalaman pribadi, saya menyadari bahwa lingkungan pendidikan juga tak terhindar dari diberlakukannya standar-standar tak adil.
ilustrasi edukasi Photo by Sincerely Media on Unsplash.
Pendidikan merupakan suatu kebutuhan primer yang harus dipenuhi setiap manusia. Pendidikan seharusnya bersifat universal serta tidak memandang kelas sosial, jenis kelamin, dan etnis. Tetapi masih saja muncul standar ganda yang diberlakukan sehingga berkembang menjadi sebuah stigma.
Seperti penetapan standar antara laki laki dan perempuan dalam meraih pendidikan tinggi, bagi sebagian orang menganggap laki laki harus menempuh pendidikan setinggi tingginya. Sebaliknya jika seorang perempuan menempuh pendidikan tinggi, maka mereka akan mempertanyakan hal tersebut dan menganggap bahwa pencapaiannya selama ini tidak memiliki kontribusi. Pada umumnya, masyarakat berpendapat perempuan seharusnya dapat memulai sebuah keluarga baru lebih awal daripada laki-laki. Pemikiran inilah yang pada akhirnya mendorong seseorang untuk menormalisasikan standar tersebut.
ADVERTISEMENT
ilustrasi kesetaraan Photo by Markus Winkler on Unsplash
Namun, standar ganda juga terjadi berkenaan dengan suatu bidang studi seperti kejuruan keperawatan yang dianggap sebagai jurusan khusus diisi oleh kelompok sosial mayoritas seperti perempuan. Hal ini tentu menjadi penilaian yang sangat tak adil, sebab suatu lembaga pendidikan akan menilai peserta didik sesuai dengan kemampuan yang dimiliki. Tidak hanya itu, penilaian ini juga menimbulkan perasaan tidak percaya diri bagi seseorang berstatus kelompok minoritas.
Selain itu, kasus standar ganda juga tak jarang terjadi menyangkut agama. Siswa dengan kepercayaan selain agama mayoritas biasanya memiliki kesempatan lebih kecil untuk memimpin suatu organisasi. Bahkan kegiatan memimpin doa pun tak ramah bagi mereka. Padahal tidak ada salahnya memberikan kesempatan kepada agama minoritas untuk memimpin jalannya suatu kegiatan dengan doa sebagai bentuk menghormati agama lain.
ADVERTISEMENT
Menurut pendapat penulis, penerapan standar ganda di ruang lingkup pendidikan maupun di kehidupan bermasyarakat bukanlah suatu hal yang patut kita pertahankan. Karena, prinsip tersebut bertentangan dengan nilai Pancasila sila ke-5 yaitu, "Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia". Menjunjung tinggi keadilan sosial dan menghormati hak orang lain merupakan nilai-nilai yang harus kita amalkan dan realisasikan. Tentu, diimbangi dengan menghapuskan paham-paham yang tidak sejalan dengan Pancasila.
Lalu, bagaimana upaya menyikapi standar ganda?
Berperilaku adil dalam setiap hal juga terhadap semua orang termasuk kepada diri sendiri merupakan langkah awal yang cukup untuk menyikapi standar ganda. Jika standar tersebut masih diterapkan oleh seseorang, sebaiknya untuk mengajak mereka menilai sesuatu dari sudut pandang yang berbeda dan berdiskusi tentang hal-hal mengenai prinsip. Yang terpenting, untuk tidak membatasi pergerakan seseorang dengan penilaian yang kita buat.
ADVERTISEMENT
Penulis :
Gita Indah Cahyani
SMA Cenderawasih I Jakarta