Konten dari Pengguna

Akuntansi dan Kesadaran Akuntan

Gustamin Abjan
Alumni Magister Akuntansi Universitas Brawijaya
23 Februari 2021 19:33 WIB
clock
Diperbarui 23 Mei 2021 21:41 WIB
comment
2
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Gustamin Abjan tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Ilustrasi akuntan Foto: Shutterstock
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi akuntan Foto: Shutterstock
ADVERTISEMENT
Bila anda mendengar istilah Akuntansi pasti yang terpikirkan adalah uang, kalkulasi, laba-rugi, serta debit dan kredit. Mungkin tak ada lagi kosakata yang layak disematkan pada akuntansi kecuali dari terminologi ekonomi. Begitupun guyonan yang populer di kalangan pembelajar akuntansi “kita sering menghitung uang milyaran tetapi kita tidak punya uang, bahkan fisik uangnya gak kelihatan”. Lagi-lagi kata yang mencuat adalah uang dan hitung-menghitung. tidak main-main, hitung-hitungan yang dilakukan oleh mahasiswa akuntansi adalah transaksi perusahaan berskala nasional bahkan transnasional. Dari perusahaan yang berstatus CV hingga PT.
ADVERTISEMENT
Perusahaan itu juga bukan milik mahasiswa akuntansi, tetapi mereka begitu serius menghitungnya. Anehnya lagi, mahasiswa kadang frustasi bila hasil hitungannya tidak balance atau macet di tengah jalan. Kenapa itu terjadi? Mengapa kita melakukannya? Kalau itu merupakan kewajiban studi, lantas mengapa yang kerap dihitung adalah aktivitas bisnis korporasi? Apakah akuntansi hanya berlaku buat korporasi?
Untuk menelaah pertanyaan itu, saya coba mengorek standar akuntansi yang berlaku di Indonesia. mungkin dua standar yang familiar di telinga mahasiswa akuntansi, yakni SAK-ETAP (Standar Akuntansi Keuangan- Entitas Tanpa Akuntabilitas Publik) dan SAK IFRS (International Financial Reporting Standards). Selain itu, Standar Akuntansi EMKM (Entitas Mikro, Kecil dan Menengah), SAK Syariah dan SAP (standar Akuntansi Pemerintah) tetapi tidak populer di ruang kelas. bukan tidak islami, merakyat atau tidak cinta tanah air, namun itulah realitasnya. Akuntansi seolah milik korporasi dan standarnya adalah IFRS.
ADVERTISEMENT
Akuntansi dan Hegemoni
Semakin kokohnya penerapan standar akuntansi berbasis IFRS yang dilegitimasi oleh entitas pendidikan, mengingatkan saya pada konsep hegemoni dari filsuf Italia, Antonio Gramsci. Hegemoni merupakan terma yang ditawarkan Gramsci untuk mengidentifikasi praktek penindasan yang bersifat non fisik. Menurutnya, penindasan tidak sekadar kekerasan fisik atau represif. Melainkan, juga dapat melalui cara yang persuasif dengan menggunakan instrumen media, seni, pengetahuan dan piranti kebudayaan lainnya.
Usaha-usaha ini nampak dalam multisektor kehidupan masyarakat lewat propaganda, indroktrinasi, iklan-iklan dan institusi pendidikan. Kekuasaan masuk ke dalam individu sampai pada pola pikiran dan nilai-nilai masing-masing individu untuk menancapkan dominasinya (Takwin, 2016:72). Kekusaan mempolarisasi pikiran (Kognisi), daya kritis serta kemampuan afektif masyarakat agar selaras dengan kehendak kekuasaan. Usaha itu dilegitimasi melalui institusi birokrasi.
ADVERTISEMENT
Standar Akuntansi merupakan instrumen hegemoni yang mengoptasi pemikiran dan daya kritis akuntan agar selaras dengan kehendak kekuasaan (kapital). Sebab, IFRS yang merupakan produk dari International Accounting Standards Board (IASB) sebuah entitas yang diinisiasi oleh negara-negara adidaya (Prancis, Inggris, AS dsb) begitu mudah merasuki benak akuntan.
Hegemoni itu disponsori oleh institusi pendidikan melalui pembakuan kurikulum, di mana mata kuliah akuntansi sepenuhnya mengadopsi standar akuntansi berbasis IFRS. Sehingga yang kerap dikunyah oleh pembelajar akuntansi adalah aktivitas bisnis korporasi. hal itu membentuk karakter akuntan yang menghambah, menjadi homo economicus, berjarak dengan realitas masyarakat, tetapi begitu akrab dengan korporasi. tentunya di balik itu semua, tersembunyi aneka kepentingan bisnis Multinasional Company (MNC). Mulai dari ekspansi, Akumulasi kapital, hingga eksploitasi sumberdaya alam dan manusia, namun tidak disadari oleh Akuntan.
ADVERTISEMENT
Kesadaran Akuntan
Bila nominal transaksi yang dihitung oleh akuntan bukan miliknya, begitupun dengan penguasaan korporasi bukan sebagai pemilik, maka akuntan dikategorikan sebagai subjek pekerja (proletar). Sebab, akuntan bekerja untuk menghasilkan nilai lebih (Profit) bagi kapitalis. Di samping itu, pikiran dan kesadaran Akuntan didesain oleh pemilik modal agar sesuai dengan kehendak korporasi. hal demikian membuat Akuntan teralienasi (terasingkan) atau menjadi manusia yang subordinat.
Relasi produksi demikian dilanggengkan di ruang kelas. di mana Mahasiswa membuat siklus akuntansi, mencatat segala transaksi hingga laporan keuangan, akhirnya membuat ia bercita-cita mengabdi pada entitas korporasi. Lagi-lagi tak disadari oleh Akuntan. sebab, hal itu sudah dianggap biasa. Harbert Marcuse menyebut “desublimasi represif”. Akuntan diasingkan tetapi ia tidak merasa terasingkan.
ADVERTISEMENT
Berikutnya, pembelajar akuntansi sering mengimani Agency Theory sehingga menormalisasi posisinya sebagai subjek yang terksploitasi. Dengan kata lain, sebagai agen, Akuntan harus memenuhi kepentingan prinsipal (pemilik modal). Spirit agensi itu terinternaliasi pada akuntan sebagai pembelajar, dan hingga kini jarang digugat oleh pembelajar akuntansi.
Kembali ke masyarakat
Melirik ilustrasi di atas, terhidang aneka persoalan dalam akuntansi maka, pertanyaan kemudian, Ilmu Akuntansi untuk siapa? Dan pada siapa keberpihakan Akuntan? Untuk menjawab pertanyaan pertama, kita perlu melihat perkembangan dari ilmu pengetahuan. Di mana perkembangan ilmu pengetahuan saat ini selalu beradaptasi dengan kemajuan industri. Kurikulum pendidikan didesain untuk menjawab kebutuhan korporasi. Sehingga tak aneh bila akuntansi inheren dengan aktivitas bisnis korporasi. di sinilah letak ketidaknetralan ilmu akuntansi. Posisi tersebut menjadi magnet bagi pembelajar akuntansi untuk mengabdi pada korporasi. Lantas di mana relevansi akuntansi dengan kebutuhan masyarakat?
ADVERTISEMENT
Bila memasuki ruang kelas, memang agak sulit mencari titik temu antar akuntansi dan masyarakat. Sebab menu perkuliahan yang dihidangkan didominasi pencatatan transaksi korporasi besar (pembagian deviden, perhitungan obligasi, dsb). Padahal, di Indonesia, perekonomian masyarakat didominasi oleh sektor UMKM. Berdasarkan data kementrian Koperasi Usaha Kecil dan Menengah (KUKM) tahun 2018, jumlah pelaku UMKM adalah 64,2 juta atau 99,99% dari total pelaku usaha. sementara kontribusi terhadap PDB sebesar 61,1%. Artinya UMKM menjadi tonggak perekonomian Indonesia.
Maka seyogianya standar Akuntansi EMKM hadir tidak sebatas di ruang-ruang seminar atau pelatihan, selebihnya harus menjadi kewajiban bagi institusi pendidikan, pelajar dan mahasiswa untuk mendalaminya, agar kaum intelektual tidak skeptis terhadap keberpihakan ilmu akuntansi. pun standar akuntansi serta pengembangan teorinya bisa dinikmati oleh masyarakat akar rumput. Sebab, pelaku usaha kecil, petani dan nelayan sangat mendambahkan sentuhan hangat dari intelektual akuntansi.
ADVERTISEMENT