Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2025 © PT Dynamo Media Network
Version 1.98.1
Konten dari Pengguna
Kampus Merdeka dan Etika Kehidupannya
16 Maret 2021 14:11 WIB
Tulisan dari Gustamin Abjan tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan

ADVERTISEMENT
Kamis malam tepatnya pukul 20:00 WIB. Saya dan kawan-kawan berada di pojok salah satu warung kopi di kota Malang. Ya, kami kerap menunaikan ritus-ritus intelektual seperti membaca, berdiskusi dan menulis. Pertemuan kami malam itu secara spontan, tidak terjadwal sebelumnya. Kalaupun spontan, tetapi gelagat diskursus tetap ditunaikan. Di tengah kebisingan warung kopi, salah sahabatku dengan lantang berujar “saat ini kampus telah merdeka tetapi mahasiswanya tidak”. Kemerdekaan kita direnggut hanya untuk memenuhi hasrat korporasi, bukankah ini bentuk komersialisasi pendidikan? Lanjutnya dengan sebuah pertanyaan. Pertanyaan itu bak arus yang menggiring kita ke arena lautan dealektika yang lebih dalam.
ADVERTISEMENT
Oke, saya menjadi moderator, diskusi dimulai! Ucap temanku penuh semangat. Tidak ada moderator, tampik kawan di samping kiriku. Ini diskusi liar, ujarnya. Tidak seperti di kampus yang dibatasi oleh arogansi dosen, kurikulum, SKS dan silabus pembelajaran. Di sini (warkop) ruang yang bebas, kita setara dan sama-sama belajar. Kita harus mewujudkan merdeka belajar di sini, lanjutnya.
Sepintas dialog di atas nampaknya para mahasiswa menyoalkan konsep kampus merdeka. Sebagian dari mereka mengasosiasikan merdeka belajar sebagai wujud komersialisasi pendidikan. Sementara lainnya mengidentikkan merdeka belajar seperti iklim diskusi di warung kopi. Persilangan pemikiran itu hal yang biasa. Selagi di warung kopi, aneka pemikiran, unek-unek dan perasaan tak sungkan disalurkan. Para mahasiswa betul-betul merasakan kemerdekaan. Bagaimana dengan di kampus?
ADVERTISEMENT
Rocky Gerung pernah mengatakan; “ruang yang paling bebas di alam semesta adalah ruang kelas” baginya, ruang kelas adalah medium dealektika yang paripurna, sebab akal sehat dicetuskan tanpa ada penghalangan sedikitpun. Benarkah demikian? Di kesempatan yang berbeda Rocky justru meragukan kebebasan akademik di perguruan tinggi. Menurutnya, Universitas di Indonesia masih terkooptasi dengan kultur feodal. Menghamba pada kekuasaan. Sehingga nalar kritis Universitas terpenjara oleh kepentingan politik kekuasaan. Artinya, masih ada persoalan di dunia pendidikan, terutama di ruang Universitas.
Apakah konsep merdeka belajar bisa membebaskan Universitas dari kultur feodal? Oke. Kita telaah terlebih dahulu konsep dari Mas Menteri itu. Merdeka belajar merupakan konsep yang dicanangkan oleh Menteri Pendidikan dan Kebudayaan dengan tujuan mengarahkan Mahasiswa untuk mempunyai kecakapan yang komplet dari berbagai ilmu pengetahuan yang bermanfaat di dunia kerja.
ADVERTISEMENT
Mahasiswa diberikan kredit tiga semester untuk mengeksplor ilmu pengetahuan dari pelbagai bidang keilmuan. Intinya, kurikulum Universitas didesain agar memiliki link and match dengan dunia kerja. Kendati di dalam buku paduan kampus merdeka menggunakan frasa kemerdekaan, bebas dan tidak mengekang. Namun yang kerap digembar-gemborkan oleh Universitas adalah Industrial dan dunia kerja.
Tak tanggung-tanggung, sebagian Universitas, saat ini telah membangun kemitraan dengan korporasi sebagai wujud implementasi merdeka belajar. Mungkin itu yang dimaksud oleh sahabat saya di atas, merdeka belajar hanya memenuhi hasrat korporasi untuk mengakumulasi? Atau sebatas mendesain mahasiswa menjadi homo economicus (makhluk ekonomi) dan homo faber (makhluk kerja)? Universitas dimodifikasi untuk tunduk pada pasar.
Lantas apa yang perlu ditunaikan oleh kampus merdeka?
ADVERTISEMENT
Terlepas dari pernyataan Rocky Gerung menyangkut kultur feodal yang kian menghegemoni di Universitas. Sebenarnya masih terdapat aneka catatan kelam di Universitas yang perlu dibasmi oleh kebijakan kampus merdeka. Catatan itu saya rangkum dengan sebutan etika kehidupan kampus, istilah yang dikutip dari Sujana (2004).
Etika Kehidupan Kampus
Tujuan pendidikan nasional yang tertuang dalam UU No 20 Tahun 2003 adalah mengembangkan potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab.
Tujuan pendidikan nasional sangat penting untuk direnungkan. Sebab itu merupakan proses serta tujuan dari pendidikan. Namun, di Universitas tak lekang dari beberapa persoalan yang menodai Undang-Undang pendidikan. Setidaknya, terangkum dalam tiga persoalan mendasar.
ADVERTISEMENT
Pertama, Plagiarisme. Plagiat merupakan perilaku yang tercela di dunia pendidikan. Tindakan itu menyasar siapapun, tanpa memandang kelas, status ataupun jabatan akademik. Warga kampus kerap terjebak dalam kebohongan akademik “Hoax Academicus”. Terbaru, Rektor terpilih USU terbukti melakukan self Plagiarism (plagiasi diri sendiri) untuk kepentingan pangkat dan jabatan.
Kedua, Seksisme. Diskriminasi dan objektifikasi perempuan di Universitas masih terus terjadi. Kampus yang semestinya menjadi ruang aman bagi perempuan kini menjelma menjadi arena yang kerap mengobjektifikasi perempuan. Stigma dan stereotipe yang memandang perempuan sebagai objek seksual masih mengakar di kampus. Terbukti, kasus pelecehan seksual sering terjadi di perguruan tinggi. Mirisnya pelaku pelecehan adalah orang yang menduduki jabatan strategis di Universitas. Dan mereka dilindungi.
Ketiga, Otoriter. Kampus merupakan episentrum demokrasi. Artinya, di kampus, mahasiswa memiliki legitimasi untuk mengekspresikan pikiran dan perasaan. Namun hal demikian dilalaikan oleh kampus. Kadangkala pikiran kritis mahasiswa direspons dengan tindakan represif bahkan di drop out oleh kampus. Hal itu mereduksi kebebasan dan kultur kritis masyarakat kampus.
ADVERTISEMENT
Ketiga catatan kelam tersebut semestinya menjadi perhatian dan prioritas dari konsep kampus merdeka. Universitas harus bebas dan merdeka dari kebohongan akademik, seksisme, dan otoriter agar tujuan dan cita-cita pendidikan nasional bisa tercapai. Warga kampus akan beranjak ke tangga ketakwaan dan berakhlak mulia bila tindakan akademik dihiasi dengan sikap jujur. Begitupun paradigma kesetaraan dan kebebasan harus menjadi kiblat dalam menjalin relasi di dunia pendidikan agar terciptanya lingkungan yang kondusif bagi warga kampus.
Untuk mencapai orientasi itu, konsep kampus merdeka seharusnya mengobralkan tujuan pendidikan nasional sebagai basis penyelenggaraan aktivitas akademik serta kampus merdeka harus terlepas dari orientasi material dan pragmatisme ekonomi.