Menakar Relevansi Akuntansi Pertanian

Gustamin Abjan
Mahasiswa Pascasarjana Universitas Brawijaya
Konten dari Pengguna
25 Mei 2021 11:34 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Gustamin Abjan tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Ilustrasi Accounting. Foto: Shutterstock.com
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi Accounting. Foto: Shutterstock.com
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Perspektif akuntansi arus utama (konvensional) yang populer di ruang akademik begitu berjarak dengan realitas sosial terutama kehidupan kaum tani. Perspektif yang dikonstruk oleh International Financial Reporting Standards (IFRS) mengenai akuntansi itu kian mendominasi alam pikiran akademisi Akuntansi. Akuntansi adalah mencatat, mengindentifikasi, menganalisis, meringkas, mengklasifikasikan dan melaporkan aktivitas bisnis korporasi dalam bentuk laporan keuangan. Itulah definisi akuntansi arus utama.
ADVERTISEMENT
Akuntansi direduksi sebatas aktivitas teknis. Bahkan pemaknaan konsep dan praksisnya dimonopoli oleh kuasa korporasi. Lantas di mana letak relevansi akuntansi dengan realitas sosial masyarakat? Bukankah petani, nelayan, masyarakat pinggiran dan usaha kecil juga membutuhkan akuntansi? kenapa akuntansi yang dipelajari di ruang kelas sebatas mencatat laporan keuangan korporasi? sekali lagi, akuntansi tidak relevan, dong?
Pertanyaan tersebut hingga kini masih mengakar dalam isi kepala saya. Belum lagi keseharian saya kerap bersentuhan dengan kehidupan petani. Keluarga dan orang tua saya berlatar belakang petani. Perkumpulan sahabat-sahabat saya juga tak jarang berdiskusi soal kehidupan petani.
Kegelisahan itu kian memuncak dan terakumulasi tatkala membaca pustaka akuntansi arus utama. Lebih-lebih menyaksikan materi yang dipaparkan oleh dosen. Semuanya berjarak dengan kehidupan petani. Kalaupun menyentuh, tetapi penjabarannya masih berbasis dan terperangkap dalam kalkulasi material (manfaat-biaya) dan (untung-rugi).
ADVERTISEMENT
Namun keraguan saya mengenai relevansi akuntansi dan pertanian terselamatkan ketika mencicipi literasi tentang akuntansi pertanian dan ragam pustaka lain yang menyangkut kehidupan petani, diantaranya: Akuntansi Pertanian a Prophetic Legacy (Mulawarman: 2019) dan karya Henry Bernstein yang bertajuk Dinamika Kelas dalam Perubahan Agraria. Kendati pendekatan kedua buku tersebut berbeda, misalnya Mulawarman menggunakan pendekatan religius dengan konsep tazkiyah (penyucian) sementara Bernstein berlandaskan pada analisis kelas Marxisme. Kendati berbeda tetapi ulasan keduanya mengenai tarik ulur persoalan pertanian tidak lepas dari analisis perkembangan kapitalisme.
Peradaban Akuntansi Pertanian
Mulawarman (2019) mengulas Akuntansi dan Pertanian pada mulanya merupakan lumbung peradaban. Dalam sejarah perkembangan umat manusia, akuntansi dan pertanian dipandang bukan sekadar tumpuan ekonomis, tetapi yang paling utama, aktivitas akuntansi dan pertanian adalah manifestasi dari kehidupan religiositas (akuntabilitas ilahia). Angka dan tulisan diciptakan berjalin kelindaan dengan pencatatan surplus pertanian melalui token accounting system. Khusim atau administrator menggunakan pencatatatan akuntansi berbentuk Primitiv form of cost accounting untuk merekam aktivitas pertanian; dari produksi hingga pengolahan hasil panen.
ADVERTISEMENT
Koneksitas Akuntansi pertanian dengan kebudayaan masyarakat bisa diteropong dari aneka aktivitas petani di Desa. Gotong-royong dan kekeluargaan menjadi basis aktivitas pertanian. Hasil panen dirayakan dengan penuh rasa syukur. Pesta dan selamatan adalah amalia yang kerap ditunaikan. Misalnya di desa saya berasal, Desa Sabaleh, Provinsi Maluku Utara, setiap tahunnya ditunaikan ritus kebudayan (doa salamat) sebagai bentuk perayaan dan rasa syukur atas hasil panen (pala dan kenari) yang melimpah. Itu merupakan bentuk pertanggung jawaban atas rezeki yang diberikan oleh Allah.SWT (akuntabilitas ilahia).
Kapitalisme menumpas Akuntansi Dan Pertanian?
Eksistensi akuntansi dan pertanian yang berpusat pada masyarakat petani mulai bergeser ke kepentingan korporasi tatkala kapitalisme mendominasi. Petani, Akuntan dan masyarakat agrikultur tersubordinasi dari kepentingan kapitalisme. Proses itu merupakan konsekuensi logis dari komodifikasi pertanian. Hasil pertanian dijadikan komoditas yang diperjual-belikan di pasar demi menghasilkan surplus/laba.
ADVERTISEMENT
Dominasi kapitalisme dalam struktur pertanian dan akuntansi melalui akumulasi primitif atau pemisahan produsen langsung (petani) dari sarana produksi (lahan dan ruang hidup) dalam berntuk perampasan, pengkaplingan dan penggusuran setidaknya berdampak dalam dua hal.
Pertama, kapitalisme memangkas populasi dan ruang hidup kaum tani. Perampasan dan penggusuran lahan pertanian merubah pola hidup petani. Petani yang kehilangan lahan dan ruang hidup akhirnya menjadi tenaga kerja upahan di korporasi (proletarisasi). Kehidupan petani yang tradisonal bergeser menjadi moderenitas. Lebih-lebih kehidupan petani yang identik dengan solidaritas, egaliter, yang berbasis komunitas, kekerabatan juga turut dihilangkan.
Kedua, kapitalisme mengitegrasikan petani dengan kehidupan pasar. Artinya aktivitas pertanian tidak lagi berbasis kebudayaan, kearifan lokal maupun niliai-nilai religiositas. Mindset pertanian telah berubah. Kalkulasi ekonomi menjadi tumpuan sehingga kompetesi tak terelakkan. Petani menjadi produsen komoditas skala kecil (petty commodity production) yang energinya terkuras dalam industri pertanian berbasis agribisnis. Praktek demikian dilegitimasi dalam Pernyataan Standar Akuntansi Keuangan no 69 (PSAK 69) mengenai aset biologis yang kian memangkas kemerdekaan petani. Implikasinya, harga produk pertanian tidak ditentukan berdasarkan biaya dan tenaga yang membebani petani (dari pra-tanam hingga distribusi ke pasar) melainkan ditentukan oleh harga pasar produk pertanian yang berlaku saat itu. Kemerdekaan petani hilang dalam menentukan harga.
ADVERTISEMENT
Memurnikan Akuntansi dan Pertanian
Tercerabutnya nilai kesucian, kebudayaan dan kearifan lokal dalam akuntansi dan pertanian bukanlah sesuatu yang alamiah melainkan polarisasi dari sistem ekonomi kapitalis. Untuk menyatu dan mengutuhkan kembali akuntansi dan pertanian dengan kehidupan petani dibutuhkan kolaborasi antara berbagai elemen, terutama akademisi akuntansi, praktisi dan tentunya petani. Sebab Akuntansi dan pertanian sejatinya relevan dengan kehidupan petani manakala konsep, teoretis dan standar akuntansi pertanian berakar pada praksis nyata aktivitas petani. Artinya konstruksi teori yang dilahirkan oleh akademisi mesti berpijak pada basis ideologi yang berpihak pada kehidupan kaum petani. Begitupun dengan praktisi yang bernaung dalam asosiasi profesi akuntansi didorong untuk memproduksi standar dan regulasi akuntansi yang berpijak pada nilai agama, kebudayaan dan kearifan kaum tani.
ADVERTISEMENT