Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2025 © PT Dynamo Media Network
Version 1.98.1
Konten dari Pengguna
Republikanisme dan Perempuan Republikan
2 Agustus 2024 13:22 WIB
·
waktu baca 5 menitTulisan dari Gustamin Abjan tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan

ADVERTISEMENT
Hari itu langit tampak mendung. Matahari begitu kikir menyumbangkan cahaya pada pagi yang dingin. Embun berbaur dengan dedaunan bunga-bunga di beranda depan rumah. Tanah terlihat basah. “Apakah semalam hujan?” Pertanyaan itu sontak menuntun saya untuk mengingat apa yang terjadi semalam. “Gerimis”, sahut kawanku sembari menyantap pecel andalannya.
ADVERTISEMENT
Baru sekali santap, pikirannya sejenak terusik oleh satu istilah yang ia dengar pada diskusi pekan lalu. Ia lantas bertanya, “Apa itu republikanisme? Bagaimana republikanisme memandang perempuan?”
Sebagai mahasiswa yang pernah membaca teks-teks republikanisme, saya mempunyai beban moral untuk sigap merespons setiap pertanyaan yang ia lontarkan. Bak sebuah utang, pertanyaan itu harus segera dijawab. Saya cukup beruntung karena sempat membaca literatur yang beririsan dengan republikanisme. Pada bulan lalu saya menjejali satu artikel yang digarap oleh Sandrine Bergès (2019) yang bertajuk Revolution and Republicanism: Women Political Philosophers of Late Eighteenth-Century France and Why They Matter.
Artikel itu hadir di momen yang tepat di tengah dominasi maskulinitas pada diskursus republikanisme arus utama. Artikel tersebut mengungkapkan perspektif baru yang nyaris tidak terekam dalam karya-karya republikanisme kontemporer.
ADVERTISEMENT
Iseult Honohan, Jeremy Jennings, dan Philip Pettit adalah ilmuwan politik yang mendisiplinkan diri dalam menggarap pemikiran republikanisme namun karya yang mereka warisi tidak memilki preferensi pada perempuan atau pemikiran republikan perempuan.
Ketidakhadiran perempuan itu mengingatkan saya pada argumen feminis tentang kedudukan perempuan di ranah ilmu pengetahuan bahwa selama ini perempuan tidak pernah diakui atau mendapat pengakuan akademis atas karya dan penemuannya.
Republikanisme: Konstruksi laki-laki
Teman saya begitu fasih mengingat nama-nama pemikir republikanisme. Ia mengidolakan Aristoteles. Selain itu, ia kerap mengutip ujaran klasik dari Cicero, “Res publica res populi”, “republik untuk rakyat”. Pada kesempatan lain ia membandingkan keadaan republik ini, Indonesia, dengan pemikiran Rousseau dan James Madison.
Inilah parodi republik. Saat kawan saya merespons pandemi korupsi yang melanda republik ini, ia segera mengutip Macchiavelli. “Korupsi itu jahat bukan karena melanggar hukum, tetapi ia jahat karena merusak yang publik”.
ADVERTISEMENT
Di sini, ia tampak kagum dengan pemikiran para filsuf republikanisme. Kekagumannya itu perlahan mengikiskan sikap kritisnya atas pemikiran para filsuf republikanisme laki-laki yang sebenarnya seksis. “Lantas apa republikanisme? Bagaimana republikanisme seksis?”
Republikanisme merupakan filsafat politik yang tegas memisahkan antara yang privat dan yang publik. Privat adalah arena di mana kepentingan pribadi, keluarga, agama, ekonomi (keuntungan), dijalankan dan dipertahankan. Sementara publik merupakan wahana di mana pikiran tentang kebaikan bersama, keadilan dan kesejahteraan warga negara dipikirkan dan diwujudkan.
Jadi, jika Anda ingin kaya, memperjuangkan kepentingan golongan dan keluarga (anak, menantu dan keponakan) maka habitat Anda di privat, bukan di publik. Jika anda ingin mengubah dunia yang penuh keadilan, kesetaraan, dan kebaikan bersama, maka ranahnya di publik. “Kenapa di republik ini yang terjadi sebaliknya?”
ADVERTISEMENT
Pemikiran Yang Seksis
Argumen utama yang ditawarkan oleh republikanisme adalah bagaimana seharusnya menjadi warga. Warga adalah makhluk politik (zoon politicon), makhluk yang senantiasa berbagi pemikiran (zoon logon echon), dan makhluk yang selalu mengupayakan kebaikan bersama (eudaimonia) bisa diwujudkan. Eksistensi warga itu di ranah publik (polis/politik).
Tetapi, bagi Aristoteles, karakter warga seperti itu hanya dimiliki oleh laki-laki. Artinya, yang punya akal (logos) hanyalah laki-laki. Perempuan tidak punya akal, tidak bisa berpikir, ia setara dengan budak, dan dengan demikian ia tidak layak hidup di ranah publik (polis) tetapi di ranah privat; rumah tangga (oikos), dan melaksanakan kerja-kerja reproduksi.
Pemikiran ini adalah bagian dari fakta sejarah di mana ketimpangan gender, superioritas laki-laki terhadap perempuan, berikut patriarki dilegitimasi oleh filosofi. Oleh sebab itu, menurut Berges (2019), para feminis enggan terlibat dalam proyek pemikiran republikanisme karena dalam fakta sejarah republikanisme dipandang sebagai konstruksi politik oleh laki-laki dan untuk laki-laki.
Partisipasi warga merupakan hal yang prinsipil dalam republik. Tidak hanya laki-laki, tetapi perempuan juga turut menopang pondasi republik. Tetapi, menurut Jean-Jacques Rousseau, partisipasi perempuan dalam republik sebatas mengerjakan aktivitas reproduksi; mengabdikan diri di rumah dengan mendidik anak-anak untuk menjadi warga yang baik. Sementara laki-laki (ayah) selain melakukan bimbingan intelektual pada anak-anaknya, ia bertanggung jawab pada ranah publik, menyibukkan diri dalam politik. Suatu pembagian kerja yang seksis dalam tradisi pemikiran republikanisme.
ADVERTISEMENT
“Republik bisa kokoh jika warga punya kebebasan untuk partisipasi. Bagaimana jika yang berpartisipasi hanyalah warga laki-laki? Apakah keadilan dan kebaikan bersama bisa dicapai?” Inilah yang tidak hadir dalam alam pikiran filosof republikanisme laki-laki.
Perempuan Republikan
Perempuan turut terlibat dalam menggarap pemikiran republik. Mereka adalah Olympe de Gouges, Marie Jeanne Phlipon Roland, dan Sophie de Grouchy. Pemikiran mereka menggerus arus seksisme yang mengakar pada republikanisme. Menurut mereka, ajaran yang paling sahih dalam republik adalah kebebasan.
Kebebasan dalam republik bukanlah tentang apa yang bisa dan tidak bisa dilakukan oleh seseorang melainkan jenis hubungan yang dimiliki seseorang dengan orang lain. Budak, kaum miskin, dan perempuan adalah entitas yang tidak bebas dalam relasi sosial yang spesifik.
ADVERTISEMENT
Roland, Shopie, dan Grouchy menyatakan kebebasan berarti tidak ada dominasi (non domination). Mereka memikirkan kebebasan tidak hanya berfokus pada dominasi kaum miskin oleh golongan kaya atau rakyat oleh raja sebagaimana yang dipikirkan oleh filsuf republik arus utama, tetapi bagaimana membangun karakter perempuan untuk mengakhiri dominasi laki-laki dan masyarakat patriarki atas mereka. Republik akan kokoh jika kebebasan dirasakan secara menyeluruh baik laki-laki maupun perempuan.