Konten dari Pengguna

Peristiwa Gwangju 1980: Bentuk Pelanggaran Demokrasi dan Hak Asasi Manusia

Grace Awola
An undergraduate student in Udayana University
2 Juli 2024 6:39 WIB
·
waktu baca 5 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Grace Awola tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Source: Pexels
zoom-in-whitePerbesar
Source: Pexels
ADVERTISEMENT
Gwangju adalah salah satu kota di barat daya Semenanjung Korea yang menjadi lokasi dari peristiwa pemberontakan sipil dengan skala besar. Pemberontakan ini terjadi karena penindasan yang dilakukan secara tragis oleh junta militer pimpinan Mayor Jenderal Chun Doo-hwan pada tahun 1980. Peristiwa Gwangju ini merupakan tanda dari tahun-tahun awal gerakan demokrasi Korea Selatan.
ADVERTISEMENT
Kilas Balik Kronologi Peristiwa Gwangju 1980
Kekalahan Jepang di tahun 1945 menjadikan Semenanjung Korea terbagi menajadi 2 pemerintahan dengan ideologi yang berbeda, dimana utara memegang ideologi komunis sedangkan selatan anti-komunis dan pro barat. Pada tahun 1948, Korea dipimpin oleh seorang pemimpin anti-komunis yang memerintah dengan kontrol yang ketat dan otoriter, pemerintahannya berlangsung hingga 1960. Hal ini dikarenakan masyarakat merasa muak dengan tirani yang ada sehingga masyarakat menggelar aksi protes yang dikenal dengan Revolusi April. Akhirnya, dari peristiwa tersebut terciptalah pemerintahan demokratis yang disebut Republik Kedua. Namun, hal ini tidak berlangsung lama karena setahun kemudian tepatnya pada tahun 1961, militer di bawah Park Chun Hee melakukan kudeta militer.
Pada tahun 1961-1979, Korea Selatan berada dibawah rezim militer yang menjalankan industrialisasi dan memerintah dengan otoriter. Pemerintahan ini menciptakan kelas-kelas di kalangan pekerja. Jika terjadi konflik ataupun protes atas hal ini, maka akan dianggap sebagai antek dari komunis. Namun, karena sudah terlalu tertekan, gerakan mahasiswa yang menentang rezim Park Chung Hee menguat dan memanas. Ditengah situasi yang cukup tegang ini, terjadilah peristiwa yang akhirnya mengakhiri rezim dari Park Chung Hee.
ADVERTISEMENT
Peristiwa ini dimulai pada 26 Oktober 1979, dimana Presiden Park Chung Hee ditembak mati oleh Kim Jae Gyu, Direktur Intelijen Korea (KCIA). Meninggalnya Presiden yang menjabat saat itu menyebabkan penerapan darurat militer di Korea Selatan. Tak lama setelah kejadian mengenaskan itu, tepatnya pada 12 Desember 1979, militer di bawah pimpinan Chun Doo-hwan melancarkan aksi kudeta. Mahasiswa dan masyarakat lagi-lagi merasa muak dengan rezim militer yang ada, karena tumbangnya rezim militer yang lain ternyata memunculkan rezim militer yang baru. Rezim militer yang baru menerapkan keadaan darurat milter dimana kampus ditutup, aktivitas politik dilarang, pers dibatasi, dan ada jam malam di beberapa tempat dimana selalu ada tentara yang berpatroli.
Masyarakat Korea yang sangat menginginkan transisi yang demokratis merasa sangat kecewa pada saat itu. Kekecewaan itu dituangkan melalui demonstrasi dengan turun ke jalan. Pada 18 Mei 1980, mahasiswa dan masyarakat Gwangju turun ke jalan untuk melakukan protes dan perlawanan. Bentrokan antara demonstran dan militer tentu tidak dapat dihindarkan, bentrok yang pada awalnya hanya terjadi di depan kampus kini melebar hingga ke pusat kota. Pada hari pertama pemberontakan itu, seorang pemuda diketahui meninggal dunia akibat disiksa oleh tentara. Kematiannya memicu kemarahan dari rakyat Gwangju, namun hal ini tentu ditutup-tutupi oleh rezim militer yang ada.
ADVERTISEMENT
Sejak saat itu, demonstrasi menjadi semakin besar sehingga membuat polisi dan tentara menjadi lebih brutal. Tak hanya menyiksa, militer juga tak segan menembakan senjata. Yang menjadi hal paling miris dari peristiwa ini adalah tidak ada satupun media di Korea maupun dunia yang menyiarkan situasi mengenaskan yang terjadi di Gwangju. Hal ini mungkin disebabkan juga oleh Pemerintah yang memblokade seluruh akses keluar masuk ke Gwangju.
Pada intinya, peristiwa ini merupakan aksi pembantaian brutal yang dilakukan oleh rezim militer kepada rakyat sipil. Korban jiwa yang jatuh akibat peristiwa ini mencapai ribuan orang, dan orang hilang mencapai 300-an orang. Dan ada sekitar 17 perempuan yang menjadi korban pemerkosaan. Media merupakan kunci utama pada peristiwa ini, oleh karena itu para aktivis sangat berjuang untuk melindungi kantor media yang berada di Gwangju. Selain itu, supir-supir taksi juga turut mengambil peran karena membantu mengantarkan korban-korban ke rumah sakit.
ADVERTISEMENT
Pelanggaran Demokrasi dan Hak Asasi Manusia
Pemberontakan Gwangju merupakan contoh nyata pelanggaran demokrasi oleh rezim militer. Hak dasar warga untuk berkumpul dan menyampaikan pendapat ditindas dengan kekerasan yang brutal. Tindakan pemerintah yang membungkam suara prodemokrasi dan menindas kebebasan berekspresi menunjukkan ketakutan mereka terhadap perubahan dan keinginan untuk mempertahankan kekuasaan dengan cara apa pun. Pemerintah militer juga menggunakan kekuatan militer untuk menindas perbedaan pendapat, mengabaikan prinsip-prinsip demokrasi dan supremasi hukum. Contoh nyata lainnya adalah pembungkaman media. Rezim militer menutup segala akses keluar masuk kota Gwangju, sehingga apa yang terjadi di dalam kota tersebut tidak bisa disiarkan ke dunia luar. Media yang mencoba meliput akan dihancurkan oleh militer, hal ini tentu sudah melanggar hak dasar demokrasi yaitu kebebasan bergerak dan berbicara.
ADVERTISEMENT
Selain pelanggaran demokrasi, Pemberontakan Gwangju juga merupakan pelanggaran berat terhadap hak asasi manusia. Hak untuk hidup, bebas dari penyiksaan, dan mendapatkan perlindungan hukum diabaikan sepenuhnya oleh pemerintah. Penggunaan kekuatan mematikan terhadap demonstran yang tidak bersenjata, penahanan sewenang-wenang, dan penyiksaan tahanan menunjukkan penghinaan terhadap nilai-nilai kemanusiaan. Banyak keluarga korban yang tidak pernah mendapatkan keadilan atau kompensasi atas kehilangan yang mereka alami. Pemberontakan Gwangju meninggalkan luka yang mendalam dalam sejarah Korea Selatan.
Meskipun pemerintah berusaha menutupi kejadian tersebut, berita tentang kekejaman akhirnya menyebar dan memicu gerakan prodemokrasi yang lebih besar di tahun-tahun berikutnya. Pada 1987, gelombang protes besar-besaran akhirnya memaksa pemerintah militer untuk mengadakan pemilihan umum yang bebas dan adil, membuka jalan bagi demokrasi di Korea Selatan. Peringatan Pemberontakan Gwangju terus diadakan setiap tahun sebagai pengingat akan pentingnya demokrasi dan hak asasi manusia. Monumen dan museum didirikan untuk mengenang para korban dan mendidik generasi mendatang tentang pentingnya melawan ketidakadilan dan otoritarianisme.
ADVERTISEMENT
Pemberontakan Gwangju tahun 1980 adalah simbol pelanggaran demokrasi dan hak asasi manusia yang dilakukan oleh pemerintah militer Korea Selatan. Kejadian ini menyoroti pentingnya menjaga hak-hak dasar warga dan menentang segala bentuk penindasan. Meskipun penuh dengan kekerasan dan penderitaan, perjuangan rakyat Gwangju memberikan kontribusi penting dalam perjalanan Korea Selatan menuju demokrasi dan penghormatan terhadap hak asasi manusia. Peringatan akan tragedi ini mengingatkan kita semua tentang harga yang harus dibayar untuk kebebasan dan keadilan