Konten dari Pengguna

Ambisi Politik di Ethiopia Abaikan Hak Asasi Manusia

Grace Inka Putri
Saya merupakan seorang mahasiswa aktif jurusan hubungan internasional dari Universitas Lampung. Saya memiliki ketertarikan akan isu internasional seperti HAM, kesetaraan gender, dan perdamaian.
24 Februari 2022 12:48 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Grace Inka Putri tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Sanak sekalian, tentunya kita sudah biasa mendengar mengenai kata perang. Perang merupakan konflik bersenjata antardua pihak atau lebih. Tapi, apakah pernah terlintas di benak teman-teman mengenai konflik antara militer dengan masyarakat sipilnya sendiri? Demikianlah yang terjadi di Ethiopia, perang saudara yang terus berlanjut hingga saat ini.
ADVERTISEMENT
Perang saudara ini diawali dengan serangan militer Ethiophia terhadap Tigray. Pemerintahan Ethiophia sejak 1994 menganut sistem federal dimana kelompok etnis dapat menguasai wilayah. Salah satu partai politik kuat di Tigray dikenal dengan Front Pembebasan Rakyat Tigray (TPLF), menjalankan sistem pemerintahan tersebut. TPLF diakui membawa kemakmuran bagi Ethiopia tetapi tidak memperhatikan hak asasi manusia.
Sumber : Unsplash
zoom-in-whitePerbesar
Sumber : Unsplash
Akibat kekhawatiran akan hak asasi manusia, pemerintahan melakukan reshuffle dan memilih Abiy sebagai perdana menteri. Abiy dalam menjalani tugasnya juga memberhentikan pemimpin Tigray dengan tuduhan korupsi dan pelanggaran hak asasi manusia. Pemberhentian tersebut dipandang sebagai usaha Abiy untuk menghapuskan sistem federal di Ethiopia. Pada dasarnya, konflik antar keduanya didasari pada perbedaan orientasi sistem pemerintahan.
Konflik keduanya memanas setelah Abiy memutuskan untuk memberhentikan pemberian dana dan putus hubungan dengan Tigray yang mana hal ini dipahami sebagai upaya perang oleh Tigray. Abiy mengatakan bahwa pemerintah harus melakukan konfrontasi militer karena Tigray menyerang dan mencuri senjata militer.
ADVERTISEMENT
Terlepas dari dasar permasalahan, aktor konflik, yaitu pemerintah maupun Tigray, sama-sama melanggar hak asasi manusia. November 2020, perang saudara ini pecah dimana Abiy memerintahkan untuk menyerang wilayah Tigray Utara. Di sisi lain, kelompok Tigray melakukan pelanggaran hak asasi manusia seperti pelecehan,penjarahan, penyiksaan, dan pembunuhan yang menyebabkan 200 warga sipil etnis Amhara meninggal. Amnesti internasional menunjukkan bahwa guna membalas dendam militer Ethiopia, Tigray melakukan pemerkosaan dengan memasukan bayonet dalam kemaluan korban. Hal demikian menjadikan Ethiopia sebagai negara krisis kemanusiaan. Perang sendiri memiliki aturan yang harus dipenuhi dalam Konvensi Jenewa sebagai hukum internasional. Dalam Konvensi Jenewa jelas dikatakan bahwa warga sipil dan relawan kemanusiaan wajib dilindungi.
Dampak perang saudara ini tidak hanya dirasakan di Ethiopia, tetapi juga sampai ke daerah perbatasan Kenya dan Sudan Selatan. Kenya bagian Utara sendiri merupakan kamp bagi para pengungsi dari Ethiopia dan berupaya untuk memperketat sehingga tidak ada pengungsi baru pada tahun 2022. Berbeda dengan Kenya, Sudan Selatan mengalami lemahnya pelaksanaan kesepakatan dimana sebelumnya Ethiopia memegang peranan penting sebagai mediator fraksi Presiden Salva Kiir dan oposisi Riek Machar. Permasalahan Ethiopia tidak hanya memberikan dampak secara domestik tetapi juga internasional.
ADVERTISEMENT