Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.86.0
Konten dari Pengguna
Dilema Legalisasi Ganja Medis di Indonesia
7 Juli 2022 16:52 WIB
Tulisan dari Grace Inka Putri tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Sanak sekalian, ganja yang dalam bahasa latin Cannabis atau dalam Bahasa Indonesia dikenal dengan nama mariyuana merupakan salah satu jenis narkotika yang paling banyak disalahgunakan. Berdasarkan United Nations Office on Drugs and Crime (UNODC), sekitar 192 juta masyarakat dunia menggunakan ganja. Hasil survei Badan Narkotika Nasional (BNN) pada tahun 2019, sekitar 65,5% penyalahgunaan narkotika oleh penduduk Indonesia menggunakan ganja.
ADVERTISEMENT
Desember 2020, Perserikatan Bangsa - Bangsa memutuskan untuk melegalkan ganja dengan tujuan medis. Perserikatan Bangsa - Bangsa menyetujui rekomendasi dari World Health Organization (WHO) untuk menghilangkan ganja dari obat terlarang menjadi obat alternatif yang diperbolehkan untuk obat medis dengan segala turunannya yakni menghilangkan ganja dari daftar IV Single Convention on Narcotic Drugs 1961. Keputusan tersebut dilaksanakan dengan pemungutan suara oleh 53 negara anggota Commission on Narcotic Drugs (CND), dengan hasil 27 negara yang mendukung pencabutan ganja dari Single Convention on Narcotic Drugs 1961, 25 negara menolak, dan sisanya abstain. Legalisasi ganja tidak berarti setiap orang mampu mendapatkan ganja secara bebas, tetapi peredaran ganja harus diatur melalui kontrol undang - undang.
ADVERTISEMENT
Sebelum Perserikatan Bangsa - Bangsa melegalkan ganja, terdapat beberapa negara yang sudah terlebih dahulu melegalkan ganja, yakni Inggris, Kanada, Uruguay, Amerika Serikat, Jerman, Italia, Chile, Meksiko, Belanda, dan masih banyak lagi. Belanda secara khusus melegalkan ganja untuk digunakan oleh kedai – kedai kopi sebagai rekreasi sesuai dengan ketentuan pemerintah setempat.
Terdapat satu negara dengan mayoritas penduduk muslim yang kini melegalkan ganja, yakni Moroko. Moroko sendiri telah menjadi negara produsen ganja terbesar di dunia. Pelegalan ganja ini didukung dengan pembentukan undang – undang tahun 2021 yang secara legal mengizinkan penggunaan ganja untuk kepentingan kosmetik, medis, dan industri. Selain itu, dibentuk pula badan nasional untuk peraturan kegiatan ganja yang bertugas untuk mengawasi dan mengendalikan produksi ganja, mulai dari penanaman hingga ekspor dengan sertifikasi berstandar internasional. Meski dilegalkan, penggunaan ganja untuk keperluan bersenang – senang tetap tidak diizinkan.
ADVERTISEMENT
Tidak seperti negara lain, Indonesia masih melarang legalitas ganja, termasuk untuk kepentingan medis. Undang – Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika menjelaskan bahwa ganja masuk ke dalam golongan I. Narkotika golongan I merupakan jenis narkotika yang dilarang meski untuk kepentingan kesehatan tetapi boleh digunakan untuk kepentingan ilmu pengetahuan. Daun ganja memiliki karakteristik yang berbentuk jari dengan bunga kecil di ujung ranting. Secara geografis, terdapat satu wilayah di Indonesia, yakni Aceh, yang merupakan tempat paling banyak ditumbuhi tanaman ganja.
Ganja merupakan salah satu narkotika yang berdampak buruk dengan cepat karena THC (tetrahydrocanabinol) dalam ganja. THC dapat dengan cepat mempengaruhi kinerja otak manusia ketika asap ganja akibat pembakaran sampai di otak. Asap tersebut kemudian masuk ke paru - paru dan menyampur dengan darah. Berdasarkan National Institute of Drugs, darah yang terkontaminasi oleh THC akan menyebar ke organ tubuh lainnya sehingga mengganggu koordinasi tubuh, penglihatan, memori, keseimbangan, dan lainnya. Kondisi tersebut yang biasa kita kenal dengan kondisi high. Ganja yang digunakan secara berlebihan akan menyebabkan delusi atau bahkan gangguan jiwa.
ADVERTISEMENT
Di Indonesia sendiri belum ada regulasi mengenai penggunaan ganja sebagai obat medis, bahkan tertulis larangan dalam Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika. Namun, baru – baru ini muncul inisiasi pelegalan ganja untuk keperluan medis. Sebagai catatan, ganja medis berbeda dengan daun ganja dimana ganja medis merupakan produk turunan dari tumbuhan ganja. Kandungan senyawa kimia dalam ganja, cannabidiol, merupakan obat untuk penyakit epilepsy parah. Kandungan lainnya, yakni dronabinol, dapat digunakan untuk muntah dan mual yang merupakan efek samping dari kemoterapi kanker serta anoreksia. Kandungan THC dalam ganja medis rendah sehingga tidak menimbulkan perasaan high sedangkan kandungan CBD dalam ganja medis lebih tinggi, dimana kandungan ini tidak memabukkan, atau bersifat non-psychoactive.
ADVERTISEMENT
Inisiasi legalisasi ganja medis menuai pro dan kontra. Terdapat upaya pembatalan atau gugatan terhadap undang-undang tersebut pada November 2020 oleh Santi Wirastuti, seorang ibu yang memiliki anak perempuan pengidap cerebral palsy, gangguan kemampuan otot hingga koordinasi tubuh yang membutuhkan obat medis dengan kandungan cannabis oil (CBD) dimana kandungan tersebut terkandung dalam ganja medis. Dua tahun setelah gugatan tersebut belum menghasilkan keputusan yang diinginkan. Penyelenggarakan sidang akan gugatan tersebut telah dilakukan namun hanya untuk mendengarkan keterangan saksi ahli. Juni 2022, Santi kembali menuntut lanjutan dari sidang tersebut dengan membawa poster yang bertuliskan “tolong, anakku butuh ganja medis” di Car Free Day Bundaran HI.
Pihak yang pro terhadap isu ini menyatakan bahwa legalisasi ganja medis dinilai aman dan sangat membantu bagi masyarakat yang terdampak penyakit tertentu, secara khusus yang memerlukan kandungan senyawa yang berada dalam ganja medis. Sudah banyak pasien menderita penyakit epilepsy yang parah dapat diatasi dengan ganja medis. Meski demikian, pengamanan terhadap legalisasi ganja medis harus diperketat, misalnya harus melalui resep dokter dan pembuatan undang-undang berkenaan dengan hal tersebut agar terhindar dari pihak – pihak yang tidak bertanggung jawab.
ADVERTISEMENT
Namun, pihak yang kontra terhadap isu ini menyatakan bahwa manfaat serta risiko yang ditimbulkan dari penggunaan ganja medis belum dipertimbangkan. Mereka mengklaim bahwa masih banyak pilihan obat lainnya yang memiliki kandungan yang sama dan telah terbukti aman serta efektif. Dengan demikian, belum ada urgensi untuk melegalkan ganja medis di Indonesia.
Meski demikian, Wakil Presiden Indonesia, Maaruf Amin, sebagai Ketua Dewan Pertimbangan Majelis Ulama Indonesia (MUI) justru mendukung MUI untuk segera membuat fatwa tentang wacana penggunaan ganja untuk keperluan medis. Fatwa tersebut kemudian dapat digunakan sebagai pedoman bagi Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) untuk melakukan kajian lebih dalam tentang ganja medis. Argumen Maaruf Amin akan fatwa penggunaan ganja medis didasarkan atas kesehatan yang dapat dikategorikan sebagai pengecualian.
ADVERTISEMENT