Signifikansi Sosok Diplomat Perempuan bagi Indonesia

Grace Inka Putri
Saya merupakan seorang mahasiswa aktif jurusan hubungan internasional dari Universitas Lampung. Saya memiliki ketertarikan akan isu internasional seperti HAM, kesetaraan gender, dan perdamaian.
Konten dari Pengguna
12 Maret 2023 20:27 WIB
·
waktu baca 5 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Grace Inka Putri tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Diplomat Perwakilan Indonesia di PBB, Silvany Austin Pasaribu. Foto: Youtube/United Nation
zoom-in-whitePerbesar
Diplomat Perwakilan Indonesia di PBB, Silvany Austin Pasaribu. Foto: Youtube/United Nation
ADVERTISEMENT
Setiap tanggal 8 Maret diperingati sebagai Hari Perempuan Internasional. Perayaan ini dilatarbelakangi oleh peristiwa pada tahun 1908 ketika sekitar 15.000 perempuan berdemonstrasi di New York, Amerika Serikat terkait kondisi kerja yang memprihatinkan di mana perempuan menerima upah rendah. Perjuangan ini kemudian dilanjutkan oleh Clara Zetkin dengan mengajukan gagasan penetapan hari perempuan dalam skala internasional. Ide tersebut kemudian disepakati oleh 100 perempuan dari 17 negara dan ditetapkan pada 19 Maret 1911, sebagai perayaan hari perempuan internasional pertama di Austria, Jerman, Swiss, dan Denmark.
ADVERTISEMENT
Gerakan perempuan lainnya terjadi di Rusia terkait aksi damai menentang Perang Dunia I pada 8 Maret 1913. Setahun kemudian, aksi damai ini kembali dilakukan pada tanggal yang sama. Namun, ketika Perang Dunia II terjadi, 8 Maret diperingati sebagai upaya mengadvokasi kesetaraan gender. Hal ini kemudian diakui oleh PBB pada tahun 1975. Perayaan ini semakin diperkuat ketika mantan presiden Amerika Serikat, Barack Obama, menetapkan bulan Maret sebagai bulan sejarah perempuan.
Melalui ajang ini, perempuan menunjukkan bahwa keberadaannya sangat berpengaruh hingga mencapai skala internasional. Kesetaraan gender merupakan isu yang menjadi titik perjuangan perempuan. Kesetaraan ini mengacu pada berbagai aspek kehidupan. Pemikiran kuno tentang perempuan, salah satunya perempuan tidak perlu mengenyam pendidikan tinggi, sudah tidak relevan lagi saat ini. Banyak perempuan yang bisa menunjukkan prestasi khususnya di bidang pendidikan, dan merambah bidang lain seperti politik, sosial, dan lain-lain.
ADVERTISEMENT
Perempuan kini mulai melebarkan sayapnya ke berbagai sektor, salah satunya politik. Kehadiran perempuan dalam politik menunjukkan kesetaraan gender yang terpenuhi berdasarkan prinsip-prinsip good governance. Pada artikel kali ini, penulis akan membahas beberapa diplomat wanita Indonesia yang sangat berpengaruh di Indonesia dan dunia internasional. Yang pertama adalah Laili Roesad. Ia merupakan diplomat wanita pertama di Indonesia. Ia memulai karirnya di Kementerian Luar Negeri pada tahun 1949 dan sering mewakili Indonesia dalam pertemuan PBB. Dia kemudian ditugaskan sebagai duta besar untuk Belgia (1959-1964) dan duta besar untuk Austria (1967-1970) dan bahkan menerima bintang jasa dari pemerintah Belgia dan Luxemburg. Selama karirnya, ia sering menghadiri konferensi internasional, termasuk tentang hukum diplomatik, kekuatan atom di Wina, dan negosiasi tentang masalah Irian Barat.
Ilustrasi diplomat perempuan. Foto: Nattakorn_Maneerat/Shutterstock
Laili Roesad memberikan pandangannya tentang perempuan dengan menyadari bahwa ada 'dunia laki-laki'. Hal ini dimaknai bahwa apa yang dilakukan oleh laki-laki dapat dianggap wajar dan dapat diterima, namun jika dilakukan oleh perempuan, bisa saja bereaksi sebaliknya. Melalui realita ini, ia berpesan agar perempuan pandai mengatur diri dan berhati-hati dalam bertindak.
ADVERTISEMENT
Diplomat wanita Indonesia yang kedua adalah Supeni Pudjobuntoro. Karirnya dimulai saat bergabung dengan organisasi Fujinkai, organisasi perempuan bentukan Jepang yang menangani masalah kemanusiaan di Madiun, Jawa Timur. Ia kemudian aktif membantu korban perang revolusi melalui Perwari (Persatuan Wanita Republik Indonesia).
Pada tahun 1949, Supeni diangkat oleh Soekarno sebagai Dewan Partai Nasional Indonesia (PNI). Sejak saat itu, ia sering melakukan pekerjaan diplomasi dan berkesempatan mengabdi di luar negeri untuk belajar tentang pemilihan umum di India, sebagai pedoman dalam mempersiapkan pemilihan umum Indonesia tahun 1955. Supeni juga merupakan wanita pertama yang ditugaskan sebagai utusan Pemerintah Indonesia di beberapa negara Asia dan Afrika.
Karena kecerdasannya, Supeni diberi tugas menjadi Biro Irian oleh Ali Sastroamidjojo. Biro Irian adalah sebuah badan yang dibentuk pada tahun 1954 untuk menghidupkan kembali aksi pejuang Papua, Silas Papare, dalam upaya untuk mengambil alih Papua ke dalam wilayah kesatuan Republik Indonesia. Namun, dukungan Indonesia dalam isu Papua dari negara-negara Asia dan Afrika belum cukup untuk mendapatkan suara mayoritas di sidang PBB. Karena itu, Indonesia mengirimkan perwakilan untuk melakukan pendekatan khusus dan melobi negara-negara untuk mendukung Indonesia melalui Biro Irian, termasuk Supeni.
ADVERTISEMENT
Supeni aktif melakukan kunjungan kerja ke negara lain meskipun pada tanggal 9 Juni 1956 Biro Irian harus dibubarkan. Supeni yang menjabat sebagai duta besar semakin aktif melobi jelang sidang PBB soal Papua hingga tahun 1962. Lewat usahanya itu, ia dijuluki si Irian Lady. Prestasi Supeni lainnya yaitu dimana Supeni berhasil melobi Perancis untuk tidak menjadikan negara Aljazair dan Afrika Utara apartheid. Supeni melakukan lobi ini melalui perantaraan Pangeran Kamboja, Norodom Sihanouk, untuk disampaikan kepada Presiden Prancis, Charles de Gaulle.
Saat ini semakin banyak perempuan yang bekerja sebagai diplomat, yang sekaligus mematahkan stigma bahwa diplomasi adalah pekerjaan laki-laki. Keberadaan perempuan sebagai diplomat juga memegang peranan penting dimana perempuan memiliki sifat yang mengasuh dan melihat secara detail. Perempuan juga memiliki keunggulan dalam soft power diplomacy yang menggunakan pendekatan dialog dan negosiasi untuk menyelesaikan masalah. Diplomat perempuan juga menjadi garda terdepan dalam melindungi pekerja migran Indonesia yang mayoritas adalah perempuan. Dalam hal ini diplomat perempuan membantu perempuan migran Indonesia yang mengalami kekerasan, pelecehan seksual, dan sebagainya mengingat sesama perempuan akan lebih terbuka.
ADVERTISEMENT
Kita bisa belajar dari dua tokoh di atas bahwa sebagai perempuan kita bisa melakukan perubahan sesuai dengan kapasitas kita. Kita tidak perlu menjadi diplomat untuk melakukan perubahan. Tapi kita bisa mengambil bagian dalam profesi lain. Selain itu, upaya untuk mencapai kesetaraan bagi perempuan perlu lebih digalakkan. Kesetaraan di sini bukan berarti perempuan ingin menjadi 'lebih' dari laki-laki. Namun, perempuan ingin mendapatkan hak dan kesempatan yang sama dengan laki-laki. Perempuan dan laki-laki dapat saling melengkapi mengingat perempuan dan laki-laki memiliki karakteristik dasar yang berbeda.