Sri Lanka Cetak Sejarah Baru sebagai Negara Pertama yang Bangkrut Akibat Utang

Grace Inka Putri
Saya merupakan seorang mahasiswa aktif jurusan hubungan internasional dari Universitas Lampung. Saya memiliki ketertarikan akan isu internasional seperti HAM, kesetaraan gender, dan perdamaian.
Konten dari Pengguna
23 Mei 2022 13:08 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Grace Inka Putri tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Sumber : Unsplash
zoom-in-whitePerbesar
Sumber : Unsplash
ADVERTISEMENT
Sanak sekalian, baru-baru ini diketahui bahwa Sri Lanka mendeklarasikan bahwa negaranya mengalami kebangkrutan. Sri Lanka, negara yang terletak di Pesisir Tenggara India dengan nama resmi Republik Sosialis Demokrasi Sri Lanka diketahui mengalami kebangkrutan akibat ketidakmampuan untuk membayar utang yang sekaligus membuat Sri Lanka menjadi negara pertama yang mengalami hal tersebut.
ADVERTISEMENT
Sri Lanka telah melewati jatuh tempo pembayaran bunga utang (dalam 30 hari) sebesar US$51 juta yang dipertegas oleh Nandalal Weerasinghe, Gubernur Bank Sri Lanka, dengan pernyataan bahwa negara sedang berada dalam kondisi pre-empitive default. Hal ini mengakibatkan ketidakstabilan ekonomi dan politik domestik.
Krisis ini berdampak masif terhadap masyarakat Sri Lanka dimana mengakibatkan kelangkaan barang-barang vital seperti bahan bakar, gas, obat-obatan, makanan, pemadaman listrik dalam jangka waktu yang cukup lama , dan sebagainya. Harga pokok di Sri Lanka melonjak hingga 46,6% dari tahun lalu dan angka inflasi tinggi diperkirakan akan mencapai 40%. Hasil panen Sri Lanka pun menurun drastis pasca pelarangan impor pupuk kimia pada tahun 2021 oleh Presiden Gotabaya Rajapaksa dengan alasan kesehatan. Salah satu komoditas produksi yang sangat terasa yaitu produksi beras yang menurun hingga 50% menyebabkan kelangkaan pangan. Sejauh ini, tercatat bahwa krisis mengakibatkan 500.000 rakyat jatuh ke dalam lubang kemiskinan.
ADVERTISEMENT
Sri Lanka juga lebih banyak melakukan impor daripada ekspor yang mengakibatkan defisit dalam dua hal yaitu trade deficit dan budget deficit. Rasio utang dan pendapatan Sri Lanka mencapai 111% yang berarti bahwa pengeluaran negara lebih banyak daripada pendapatannya. Berkurangnya pendapatan negara juga disebabkan oleh pandemi Covid-19 dimana Sri Lanka menjadi salah satu negara yang cadangan devisanya bergantung pada sektor pariwisata. Diketahui bahwa sektor pariwisata setidaknya memberikan sumbangsih sebesar 13% bagi pendapatan nasional sehingga dengan adanya pandemi ini sangat memengaruhi pendapatan Sri Lanka.
Berkaitan dengan krisis Sri Lanka, terdapat satu nama keluarga yang digadang-gadang turut dalam penyebab krisis karena ketidakbecusannya dalam mengurus negara, yaitu Rajapaksa. Keluarga Rajapaksa diketahui telah menguasai negara selama dua dekade terakhir dan memonopoli politik nasional sehingga tuduhan tindakan korupsi mengarah pada keluarga ini, dan terlebih kursi kepresidenan saat ini dipegang oleh Gotabaya Rajapaksa. Terpilihnya ia sebagai presiden Sri Lanka dengan janji politik pengurangan pajak menjadi boomerang terhadap dirinya. Pengurangan pajak tersebut justru mengurangi pendapatan negara secara besar-besaran.
ADVERTISEMENT
Demonstrasi rakyat menuntut pengunduran diri keluarga Rajapaksa telah meluas ke berbagai wilayah. Salah satu tuntutan rakyat yaitu menginginkan agar Gota mundur dari jabatannya dengan seruan ‘Gota go home’. Meskipun demikian, tidak semua keluarga Rajapaksa mau mengundurkan diri, hanya tiga dari lima keluarga Rajapaksa sebagai anggota parlemen yang bersedia untuk melepas jabatannya.
Kegagalan Sri Lanka ini merusak reputasi negara yang telah dibangun sebelumnya serta menghancurkan kepercayaan internasional terhadap Sri Lanka terutama dalam sektor ekonomi yang mana menyebabkan banyak investor angkat kaki dari negara tersebut. Tak hanya internasional, hal ini juga merusak kepercayaan rakyat Sri Lanka terhadap pemerintahannya sendiri dimana Sri Lanka dikenal sebagai negara pengekspor komoditas teh terbesar kedua di dunia dan pemerintahannya tidak mampu memaksimalkan potensi sumber daya, justru salah langkah dalam mengurus keuangan negara.
ADVERTISEMENT