Konten dari Pengguna

Ketegangan di Pasifik Selatan: Bagaimana Kiribati Menavigasi Tekanan Cina dan AS

Grace Tesalonika
Mahasiswi Hubungan Internasional, Universitas Kristen Indonesia
24 Januari 2025 22:24 WIB
·
waktu baca 4 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Grace Tesalonika tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Sumber: Dokumen Pribadi
zoom-in-whitePerbesar
Sumber: Dokumen Pribadi
ADVERTISEMENT
Dalam beberapa tahun terakhir, kawasan Pasifik Selatan telah berubah menjadi medan persaingan geopolitik baru antara Cina dan Amerika Serikat. Salah satu negara kecil yang berada di tengah pusaran ini adalah Kiribati, sebuah negara kepulauan yang terancam oleh kenaikan permukaan laut tetapi kini juga menghadapi tekanan diplomatik dari dua kekuatan besar dunia.
ADVERTISEMENT
Kiribati, dengan populasi sekitar 120.000 orang, jarang mendapat perhatian dalam diskursus hubungan internasional. Namun, lokasinya yang strategis di tengah Samudra Pasifik menjadikannya pion penting dalam upaya Cina untuk memperluas pengaruhnya di wilayah ini, sementara Amerika Serikat dan sekutunya, termasuk Australia, berupaya mempertahankan dominasinya.
Pada tahun 2019, Kiribati secara kontroversial memutuskan hubungan diplomatik dengan Taiwan dan menjalin hubungan resmi dengan Cina. Keputusan ini memicu perdebatan global karena dianggap sebagai langkah strategis Beijing untuk menekan Taiwan dan memperkuat pengaruhnya di Pasifik. Dalam beberapa tahun terakhir, Cina telah menginvestasikan miliaran dolar dalam bentuk bantuan pembangunan, infrastruktur, dan pinjaman lunak di Pasifik Selatan, termasuk Kiribati.
Namun, keputusan Kiribati juga membawa konsekuensi bagi hubungannya dengan negara-negara Barat. Australia, yang selama ini menjadi donor utama di wilayah tersebut, mengkritik kebijakan Kiribati yang dianggap “menjual kedaulatan” kepada Beijing. Sementara itu, Amerika Serikat telah meningkatkan keterlibatannya di kawasan, termasuk dengan mendirikan kantor kedutaan baru di negara-negara Pasifik kecil untuk menandingi pengaruh Cina.
ADVERTISEMENT
Politik Bantuan atau Diplomasi Utang?
Cina menawarkan berbagai proyek infrastruktur di Kiribati, termasuk pembangunan jalan, pelabuhan, dan rencana renovasi landasan pacu di Pulau Kanton yang strategis. Proyek ini dianggap oleh Beijing sebagai bagian dari Inisiatif Sabuk dan Jalan (Belt and Road Initiative). Namun, para pengkritik, termasuk AS, mencurigai langkah ini sebagai upaya membangun pijakan militer di kawasan yang dapat mengancam kepentingan sekutu Barat.
Bagi Kiribati, keputusan ini bukan tanpa risiko. Dalam diplomasi bantuan Cina, sering kali ada kekhawatiran tentang "jebakan utang." Negara-negara kecil seperti Sri Lanka dan Djibouti telah menjadi contoh bagaimana pinjaman besar dari Beijing dapat berubah menjadi beban ekonomi yang sulit ditanggung. Kiribati, dengan sumber daya ekonomi yang terbatas, menghadapi tantangan serupa jika tidak berhati-hati.
ADVERTISEMENT
Perspektif Lokal: Antara Kedaulatan dan Survival
Sementara narasi global sering kali melihat Kiribati sebagai "korban" dari persaingan geopolitik, perspektif lokal menunjukkan cerita yang lebih kompleks. Bagi Kiribati, kerja sama dengan Cina menawarkan peluang nyata untuk pembangunan di tengah tantangan eksistensial seperti perubahan iklim.
Kenaikan permukaan laut telah menjadi ancaman serius bagi keberlanjutan Kiribati. Banyak penduduknya hidup di pulau-pulau dataran rendah yang menghadapi risiko tenggelam dalam beberapa dekade mendatang. Dalam konteks ini, Kiribati membutuhkan bantuan internasional yang tidak hanya bersifat simbolis tetapi juga konkret, baik dalam bentuk dana adaptasi iklim maupun proyek infrastruktur.
Namun, ketergantungan pada satu kekuatan besar, apakah itu Cina atau AS, dapat merusak kedaulatan Kiribati. Di bawah pemerintahan Presiden Taneti Maamau, Kiribati berusaha menyeimbangkan hubungan internasionalnya, tetapi tekanan dari kedua pihak semakin sulit untuk dihindari.
ADVERTISEMENT
Apa yang Bisa Dipelajari Dunia?
Kasus Kiribati menawarkan pelajaran penting tentang tantangan negara-negara kecil dalam sistem internasional. Dalam teori hubungan internasional, negara-negara kecil sering dianggap sebagai aktor pasif yang tunduk pada dinamika kekuatan besar. Namun, Kiribati menunjukkan bahwa negara kecil juga memiliki kapasitas untuk membuat keputusan strategis, meskipun konsekuensinya sangat berat.
Selain itu, kasus ini menyoroti kegagalan komunitas internasional, khususnya negara-negara maju, dalam memberikan dukungan yang memadai kepada negara-negara rentan seperti Kiribati. Jika negara-negara Barat ingin menandingi pengaruh Cina di kawasan, mereka perlu menawarkan alternatif yang lebih konkret dan relevan, terutama dalam menghadapi isu perubahan iklim.
Pilihan di Tengah Tekanan
Kiribati, seperti banyak negara kecil lainnya, berada di persimpangan jalan. Di satu sisi, mereka membutuhkan bantuan eksternal untuk bertahan hidup menghadapi tantangan global. Di sisi lain, mereka harus berhati-hati agar tidak terjebak dalam persaingan kekuatan besar yang dapat mengancam kedaulatan mereka.
ADVERTISEMENT
Bagi dunia, Kiribati adalah pengingat bahwa hubungan internasional bukan hanya tentang kekuatan besar, tetapi juga tentang aktor kecil yang berjuang untuk keberlanjutan dan martabat mereka. Di tengah badai geopolitik, Kiribati menunjukkan bahwa bahkan suara kecil di tengah samudra memiliki arti besar.