Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2025 © PT Dynamo Media Network
Version 1.103.0
Konten dari Pengguna
All Eyes on Papua: Rakyat Melawan Oligarki
21 Juni 2024 17:23 WIB
·
waktu baca 5 menitTulisan dari Gracia Eden Pijar Kembara tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Baru-baru ini, beredar beragam animasi berisi slogan “All Eyes on Papua” di media sosial, terutama Instagram stories. Hal tersebut merupakan kampanye penolakan deforestasi hutan adat masyarakat Suku Awyu dan Moi, Papua untuk perkebunan sawit. Masyarakat Suku Awyu dan Moi dikabarkan melakukan demo di kantor Mahkamah Agung untuk mempertahankan tanah adatnya yang akan dijadikan perkebunan sawit oleh PT. Indo Asiana Lestari. Bagi mereka, tanah itu adalah sumber kehidupannya. Unggahan “All Eyes on Papua” juga disertai dengan tautan petisi, supaya Mahkamah Agung mencabut izin PT. Indo Asiana Lestari dalam melakukan perluasan perusahaan sawit di hutan adat tersebut. Namun, perlu waktu yang cukup lama bagi rakyat Indonesia turut bersuara terhadap permasalahan yang dialami oleh masyarakat Papua. Hal ini menjadi ironis, sebab Papua adalah bagian dari Indonesia, tetapi sulit bagi mereka untuk mendapat dukungan dari rakyat Indonesia lainnya.
ADVERTISEMENT
Laporan dari Greenpeace Indonesia menyebutkan bahwa pada tahun 2019, ada sekitar 168 ribu hektar hutan alam yang telah dijadikan perkebunan sawit di Papua. Dalam kajian Greenpeace International terhadap 32 perusahaan di Papua, terdapat indikasi bahwa izin proyek yang diterbitkan melanggar hukum. Dilansir dari laman Greenpeace, Arie Rompas selaku Ketua
Tim Juru Kampanye Hutan Greenpace, menyebutkan bahwa ada dugaan keterlibatan elit politik dalam usaha perizinan lingkungan. Beberapa di antaranya ada yang menjabat sebagai anggota DPR RI, mantan kapolri atau jenderal polisi, mantan menteri, dan pengurus atau anggota partai politik. Mereka menduduki posisi yang berbeda, seperti pemegang saham, atau pun pengurus perusahaan. Selain itu, catatan Magdalene.co menyebutkan bahwa perizinan PT. Indo Asiana Lestari dilakukan dengan beberapa pelanggaran, seperti tidak memiliki dokumen amdal, pemalsuan tanda tangan pejabat, hingga tidak meminta izin pada masyarakat adat itu sendiri.
ADVERTISEMENT
Berdasarkan temuan dari Greenpeace tersebut, pihak yang paling dirugikan adalah masyarakat adat yang tinggal di sekitaran hutan sawit. Tim Greenpeace yang berada di Papua, khususnya Papua Barat, telah merekomendasikan pencabutan izin perkebunan, supaya dikembalikan menjadi kawasan hutan atau diberikan kepada masyarakat adat. Ini tentunya akan membantu dalam menyelamatkan hutan alam yang tersisa. Selain itu, Nico Wamafma, Juru Kampanye Hutan Papua Greenpeace mendesak pemerintah agar mengambil langkah serius terkait hal ini. Nico menginginkan agar pemerintah melarang adanya pembukaan lahan oleh perusahaan-perusahaan di hutan alam yang tersisa demi menyelamatkan hutan alam.
Namun, alih-alih melindungi masyarakat adat yang terdampak, DPR justru memilih untuk mengesahkan Undang-Undang Cipta Kerja yang dirancang untuk kepentingan oligarki. Peristiwa deforestasi hutan di Papua yang terjadi karena kendali atau kuasa bisnis atas politik sangat berpengaruh terhadap kehidupan masyarakat Indonesia, terutama masyarakat adat Papua. Praktik kolusi yang dilakukan untuk mendapatkan izin pembuatan hutan sawit di hutan adat Papua
ADVERTISEMENT
mendukung timbulnya konflik kepentingan. Elit politik dan pengusaha menjadi kelompok kepentingan tersendiri yang kemudian akan melanggengkan oligarki. Perizinan yang diberikan hanya memberi keuntungan bagi kelompok pengusaha, dalam hal ini PT. Indo Asiana Lestari sebagai pengelola perkebunan sawit di Papua.
Praktik oligarki tersebut tidak hanya merusak budaya politik Indonesia, tetapi juga berperan penting atas kerusakan lingkungan Indonesia. Selain merugikan masyarakat adat Papua, deforestasi hutan juga merugikan seluruh masyarakat Indonesia. Dilansir dari Magdalene, deforestasi hutan menyumbang lima persen dari proyeksi tingkat emisi karbon Indonesia pada 2030. Menurut Walhi Papua yang dikutip dari Magdalene.co, jika deforestasi hutan terjadi, peluang emisi karbon yang lepas akan sebesar 23 juta ton karbon dioksida.
Masyarakat Indonesia perlu memiliki kesadaran politik untuk turut berpartisipasi aktif dalam menyuarakan ketidakadilan akibat oligarki. Praktik oligarki sebenarnya sudah ada sejak masa pemerintahan Orde Baru. Bedanya, praktik oligarki pada masa reformasi jauh lebih mudah dideteksi, karena akses informasinya juga lebih mudah. Sama seperti manusia, oligarki juga beradaptasi dengan demokrasi pada masa sekarang. Hal itu juga didukung dengan berbagai ketimpangan sosial yang ada di Indonesia. Ketidakseimbangan ekonomi menjadi salah satu penyebab mudahnya masyarakat Indonesia dipengaruhi elit politik. Contoh yang paling sering dan pasti terjadi adalah serangan fajar menjelang pemilu. Ketimpangan tersebut kemudian akan merembet pada ketidakseimbangan kuasa. Elit politik biasanya menjalin hubungan yang erat dengan para pengusaha atau pemegang modal. Bahkan, elit politik itu sendiri bisa jadi merupakan pemegang modal. Sumber daya ekonomi yang cukup, bahkan lebih dari cukup memudahkan mereka untuk mengatur jalannya politik. Dalam kasus PT. Indo Asiana Lestari, ketidakseimbangan kuasa menjadi penyebab utama yang memengaruhi perizinan deforestasi hutan untuk perkebunan sawit. Hal itu terbukti dengan terlibatnya para elit politik dalam usaha perizinan lingkungan.
ADVERTISEMENT
Ramainya unggahan “All Eyes on Papua” di media sosial—sebagai dukungan bagi masyarakat adat Papua—merupakan salah satu upaya yang dapat dilakukan oleh masyarakat untuk menegur pemerintah terkait perizinan yang diberikan tanpa pertimbangan yang matang. Sebagai pemegang kekuasaan tertinggi, sudah seharusnya rakyat mengkritik pemerintah yang melenceng dari tugasnya melayani masyarakat. Berkembangnya teknologi, memudahkan masyarakat untuk menyampaikan kritik dan aspirasinya. Seperti halnya kampanye “All Eyes on Papua,” berbagai kritik dan aspirasi rakyat dapat dengan mudah disampaikan melalui sosial media. Masyarakat perlu menumbuhkan sikap dan pemikiran kritis, serta meningkatkan kesadaran politik untuk dapat terus bersuara, demi budaya politik Indonesia yang lebih baik.
Oligarki akan terus berkembang selama pemilik modal masih menguntungkan bagi para elit politik. Pemerintah sebagai pelayan publik perlu mendengarkan suara rakyat supaya tidak terjadi disfungsi pemerintah. Belajar dari kasus deforestasi hutan Papua, pemerintah perlu memperbaiki diri agar senantiasa mempertimbangkan dengan matang segala perizinan yang diajukan. Pemerintah harus memastikan segala keputusan dan kebijakan yang dibuat adalah untuk kesejahteraaan rakyat, bukan untuk kepentingan kelompok tertentu. Dengan demikian, pemerintah dapat menjalankan fungsinya sebagai pelayan publik.
ADVERTISEMENT